Jumat, 24 September 2010

MK Tolak Seluruh Permohonan Susno Duadji



Ekspresi para Kuasa Hukum Susno Duadji setelah sidang pembacaan Putusan.
Jakarta, MKOnline - Uji materiil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang dimohonkan oleh mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Susno Duadji ditolak seluruhnya oleh Mahkamah Konstitusi. Hal tersebut seperti dinyatakan dalam amar putusan dengan nomor perkara 42/PUU-VIII/2010.
“Menolak Permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD saat membacakan amar putusan yang dibacakan pada sidang pleno terbuka untuk umum, Jum’at (24/9), di ruang sidang pleno MKRI.
Sebelumnya, Pemohon, menyatakan bahwa Pasal 10 ayat (2) UU Perlindungan Saksi dan Korban bertentangan dengan konstitusi karena telah merugikan hak-hak konstitusionalnya. Pertentangan tersebut terjadi khususnya pada Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28G serta Pasal 28J Ayat (2). Adapun bunyi pasal yang diuji tersebut adalah “seorang saksi yang juga menjadi tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila dimaknai bahwa kedudukan sebagai tersangka ditetapkan terlebih dahulu sebelum saksi memberikan kesaksian dalam perkara tersebut”.
Namun terhadap dalil tersebut, Mahkamah berpendapat lain. Mahkamah menyatakan, ketentuan yang terdapat pada Pasal 10 ayat (2) UU 13 Tahun 2006 tersebut merupakan ketentuan yang dapat diartikan dengan sangat jelas dan tegas (expressis verbis) bahwa substansi normatifnya ialah memberikan penghargaan (reward) terhadap partisipasi saksi yang juga tersangka yang keterangannya telah membantu dalam pengungkapan tindak pidana dengan menjadikannya sebagai pertimbangan pengurangan pidana.
Berdasarkan ketentuan substantif itu, lanjut Mahkamah, negara melalui kekuasaan pembentuk undang-undang harus dianggap telah tidak mengabaikan partisipasi warga negara yang telah turut memberikan kontribusi dalam pengungkapan tindak pidana. Negara memberikan penghargaan berupa pengurangan pidana.
“Seberapa besar hal itu mengurangi pidananya diserahkan kepada kebijaksanaan hakim yang mengadilinya berdasarkan kontribusinya di dalam partisipasi mengungkap tindak pidana. Penghargaan merupakan pilihan cara menurut hukum (legal choice) yang dilakukan oleh negara dalam memberikan penghargaan kepada saksi yang juga tersangka, serta mendorong partisipasi masyarakat mengungkap tindak pidana,” ungkap salah satu Hakim Konstitusi saat membacakan pertimbangan hukum.
Selain itu, Mahkamah juga berpandangan bahwa sesuai dengan dengan nama UU 13 Tahun 2006 yaitu tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta judul bagian: Perlindungan dan Hak Saksi dan Korban, maka substansi norma Pasal 10 yang terdiri atas tiga ayat tersebut harus dimaknai sebagai ketentuan hukum untuk melindungi saksi, korban, dan pelapor, bukan saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama dan bukan pelapor yang tidak beritikad baik.
“Penghargaan oleh negara yang diberikan kepada saksi yang juga tersangka dimaksud harus dipandang sebagai keadilan karena di dalamnya terdapat keseimbangan (balancing) antara kontribusi pengungkapan kejahatan dan pengurangan pidana terhadap kesalahan. Oleh karena itu, tidak tepat bila ditafsirkan secara a contrario bahwa saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak mendapat perlindungan hukum, sehingga tidak mendapatkan apa-apa,” lanjutnya.
Kemudian, terkait dengan dalil bahwa pasal tersebut telah bertentangan dengan Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945, Mahkamah berpendapat, ketentuan Pasal 10 ayat (2) UU 13/2006 telah sejalan dengan semangat yang dikandung oleh konstitusi. “Ketentuan yang demikian bukan merupakan pembatasan, melainkan merupakan hal yang wajar berdasarkan keadilan dan merupakan prinsip yang dianut dalam sistem hukum pidana di Indonesia.” papar salah satu Hakim Konstitusi.
Pada putusan ini, Mahkamah juga menolak permohonan provisi Pemohon. Mahkamah memiliki tiga alasan. Salah satunya Mahkamah berpendapat, dalam Pengujian Undang-Undang (judicial review), putusan Mahkamah hanya menguji norma abstrak, tidak mengadili kasus konkret seperti penyidikan atau pencegahan dalam kasus pidana terhadap Pemohon. Oleh karena permohonan provisi Pemohon sudah masuk ke kasus konkret maka Mahkamah tidak dapat mengabulkannya.
Dalam putusan tersebut, seorang Hakim Konstitusi, Hamdan Zoelva, mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion). Menurut Hamdan, seharusnya Mahkamah memberikan putusan yang menyatakan pasal yang diuji adalah konstitusional bersyarat.(Dodi)

Sumber:

Senin, 20 September 2010

Terbukti Terjadi Pelanggaran, MK Perintahkan Pemungutan Ulang Pemilukada Merauke

Para pengunjung menyaksikan sidang Putusan melalui monitor yang disediakan di lobi ruang sidang pleno MK.
Jakarta, MKOnline - Mahkamah Konstitusi (MK) memerintahkan pemungutan suara ulang  pada 10 distrik dalam pemilihan umum kepala  daerah (pemilukada) Kabupaten Merauke. Demikian bunyi salah satu amar putusan Nomor 157/PHPU.D-VIII/2010 yang dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD didampingi oleh delapan Hakim Konstitusi, Senin (20/9), di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara ini dimohonkan oleh tiga pasangan calon peserta Pemilukada Kabupaten Merauke, yakni Frederikus Gebze dan Waryoto, Laurensius Gebze dan Acnan Rosyadi serta Daniel Walinaulik dan Omah Laduani Ladamay.
Mahfud menguraikan kesepuluh distrik tersebut, yakni Distrik Sota, Distrik Merauke, Distrik Naunkenjerai, Distrik Waan, Distrik Ilwayab, Distrik Kimaam, Distrik Tabonji, Distrik Muting, Distrik Semanga dan Distrik Kurik. “Selain itu, Mahkamah juga membatalkan berlakunya Berita Acara Rekapit7ulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilukada  di tingkat Kabupaten oleh KPU Kabuapten Merauke, tanggal 19 Agustus 2010,” jelasnya.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon mendalilkan telah terjadi praktik politik uang berupa pembagian uang, sembako, dan BBM yang dilakukan oleh Pihak Terkait sebagai pasangan calon nomor urut 4.
“Mahkamah mencermati dengan saksama keterangan Pemohon, Pihak Terkait, bukti tertulis Pemohon, serta keterangan saksi Pemohon, dan Pihak Terkait, sebagaimana diuraikan di atas, menurut Mahkamah berdasarkan fakta yang terungkap dalam persidangan, memang benar telah terjadi pembagian uang, sembako dan BBM yang dilakukan oleh Pasangan Calon Nomor Urut 4 di Distrik Muting, Distrik Merauke, Distrik Kimaam, Distrik Sota, Distrik Semangga, Distrik Kurik, maka telah cukup bagi Mahkamah untuk menilai bahwa telah terjadi praktik politik uang (money politic) yang dilakukan oleh Pasangan Calon Nomor Urut 4, sehingga menurut Mahkamah dalil permohonan a quo beralasan hukum,” jelas salah satu Hakim Konstitusi.
Mahkamah juga menilai adanya kesalahan dan ketidaksesuaian angka pada saat proses rekapitulasi di KPU Kabupaten Merauke, khususnya di Distrik Merauke, antara model DB1 KWK.KPU dan lampiran Model DB1-KWK-KPU, meskipun selisih suara yang dipersilihkan tidak terlalu signifikan mengubah hasil perolehan suara, namun tindakan penyelenggara yang tidak hati-hati tersebut dapat menimbulkan ketidakpercayaan kepada penyelenggara Pemilukada Kabupaten Merauke. Selain itu, dalam halaman kedua lampiran Model DB1-KWK-KPU, Mahkamah menemukan fakta bahwa Termohon telah salah menuliskan dalam kotak kolom tanda tangan saksi pasangan calon yang seharusnya Saksi Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tetapi tertulis Saksi Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden.
“Menurut Mahkamah tindakan tersebut menunjukan bahwa Termohon tidak hati-hati dalam menyusun Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di Tingkat Kabupaten Oleh Komisi Pemilihan Umum Merauke. Dengan demikian dalil a quo beralasan hukum,” ujar salah satu Hakim Konstitusi.
Kemudian, dalam persidangan juga terbukti bahwa Panwaslu Kabupaten Merauke beserta jajarannya tidak berperan aktif dan menjalankan tugasnya secara efektif yaitu dalam pengawasan penyelenggaraan Pemilukada Kabupaten Merauke sehingga terjadi pelanggaran-pelanggaran dan kecurangan-kecurangan yang signifikan pada tahapan penyelenggaraan Pemilukada Kabupaten Merauke. Ketidakefektifan Panwaslu Kabupaten Merauke ini mengakibatkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap kebenaran tahapan Pemilukada dan terhadap kepastian hasil Pemilukada Kabupaten Merauke.
“Mahkamah berpendapat demi kepastian dan keabsahan jumlah perolehan suara Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Merauke maka perlu dilakukan pemungutan suara ulang,” papar Hakim Konstitusi. (Lulu Anjarsari)

Pemilukada Sumbawa: MK Perintahkan Pemungutan Suara Ulang di 11 Kecamatan

Ketua MK, Moh. Mahfud MD.
Jakarta, MKOnline - Mahkamah Konstitusi (MK) memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Sumbawa untuk melakukan pemungutan suara ulang pada 11 kecamatan di Kabupaten Sumbawa. Demikian salah satu amar putusan Nomor 158/PHPU.D-VIII/2010 yang dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD dengan didampingi oleh delapan Hakim Konstitusi, Senin (20/9), di Ruang Sidang Pleno. Perkara ini dimohonkan oleh pasangan calon pemilukada Kabupaten Sumbawa nomor urut 1 Muh. Amin dan Nurdin Ranggabarani.

Mahfud menjelaskan pemungutan suara itu dilakukan di TPS-TPS, yakni Kampung Rinjani, Desa Labuhan, Kecamatan Labuhan Badas; Dusun Olat Rawa A, Desa Olat Rawa, Kecamatan Moyo Hilir; Dusun Perung, Desa Lunyuk, Kecamatan Lunyuk; Desa Maronge, Kecamatan Maronge; Dusun Selang Baru, Desa Karekeh, Kecamatan Unter Iwis; TPS 5 Desa Baru Kecamatan Alas; Desa Empang, Kecamatan Empang; Dusun Banda, Desa Banda, Kecamatan Tarano; Dusun Gelampar, Desa Usar Mapin, Kecamatan Alas Barat; Dusun Karang Anyar, Desa Pukat, Kecamatan Utan; Dusun Bajo, Desa Bajo, Kecamatan Utan. “Memerintahkan KPU Provinsi Nusa Tenggara Barat, Panwaslu Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Panwaslu Kabupaten Sumbawa, untuk mengawas  pemungutan suara ulang tersebut sesuai dengan kewenangannya serta melaporkan kepada Mahkamah hasil pemungutan suara ulang tersebut selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah putusan ini dibacakan,” jelas Mahfud.

Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva menjelaskan bahwa terhadap dalil Pemohon mengenai ditemukan kartu panggilan sebanyak 10 lembar sudah terpotong dan 5 lembar yang belum terpotong di rumah Anggota KPPS (Mastar), Mahkamah berkeyakinan bahwa telah terjadi penyalahgunaan kartu panggilan untuk digunakan oleh orang yang tidak berhak. “Seandainyapun benar nama orang yang tercantum dalam surat panggilan tersebut tidak ada di tempat, maka sebagaimana jawaban Termohon seharusnya kartu panggilan tersebut disimpan dan tidak dipotong. Pemotongan pada kartu panggilan merupakan bukti bahwa kartu panggilan tersebut telah digunakan oleh orang lain. Berdasarkan fakta dan penilaian hukum tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa dalil Pemohon terbukti dan beralasan menurut hukum,” urainya.

Sementara, terhadap dalil Pemohon mengenai pelibatan pejabat struktural dan PNS untuk mendukung Pihak Terkait serta mutasi, intimidasi serta pemecatan kepada PNS dan aparat pemerintahan. Hakim Konstitusi lainnya, Ahmad Fadlil Sumadi mengungkapkan walaupun Pihak Terkait telah memberikan alat bukti namun bukti terebut tidak relevan dan tidak dapat memberikan keyakinan kepada Mahkamah. “Berdasarkan fakta dan penilaian hukum tersebut Mahkamah berpendapat bahwa sepanjang dalil Pemohon mengenai pemecatan Kepala Dusun Banda, Desa Banda, Kecamatan Tarano (Hasanuddin Husain), pemecatan Kepala Dusun Gelampar (Safaruddin) dan Kepala Dusun Tamsi (Hasan Basri), pemecatan Kepala Dusun Karang Anyar, Desa Pukat, Kecamatan Utan, pemecatan Kepala Dusun dan Ketua RT Ketua RT 02 RW 01 Dusun Bajo (Kamarong dan Kaharuddin), serta pemecatan Ketua Rt.03, RW.01, Desa Empang, Kecamatan Empang (Syaharuddin AH) terbukti adanya hubungan antara pemecatan tersebut dengan Pemilukada,” paparnya.

Selain itu, lanjut Fadlil, Mahkamah berpendapat bahwa Pihak Terkait melakukan suatu perencanaan yang matang untuk melibatkan PNS dalam usaha memenangkan Pemilukada sebagai suatu pelanggaran yang sistematis dengan melibatkan struktur birokrasi. Namun demikian, Pemohon tidak dapat membuktikan bahwa pelanggaran tersebut dilakukan di seluruh daerah dan hanya dapat membuktikan pada daerah tertentu saja.

“Dengan demikian pemungutan suara ulang harus dilakukan di TPS di mana terbuktinya adanya pelanggaran dimaksud. Pelaksanaan putusan ini harus dengan pengawasan yang ketat oleh Komisi Pemilihan Umum Provinsi Nusa Tenggara Barat, Bawaslu, dan Panwaslu Kabupaten Sumbawa. Komisi Pemilihan Umum Provinsi Nusa Tenggara Barat, Bawaslu dan Panwaslu Kabupaten Sumbawa harus membuat laporan tentang temuan yang disampaikan kepada Mahkamah bersama laporan pelaksanaannya oleh Pihak Termohon. Selain itu penentuan jadwal pelaksanaan pemungutan suara ulang harus dimusyawarahkan oleh pihak-pihak yang terkait, sehingga tidak dapat ditetapkan secara sepihak oleh Termohon,” ujarnya.

Sementara untuk dalil lainnya seperti pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT, Mahkamah berpendapat dalil tersebut tidak beralasan hukum karena pemilih dapat memilih menggunakan KTP. Sedangkan, terhadap dalil Pemohon mengenai adanya praktik politik uang, Mahkamah menilai telah terjadi pelanggaran yang dapat dinilai memiliki kaitan untuk melakukan kecurangan. (Lulu Anjarsari)

Kamis, 02 September 2010

MK Putuskan Pemungutan dan Penghitungan Suara Ulang Pilkada Tomohon

Balkon lantai 3 Ruang Sidang Pleno MK, tampak dipenuhi Pengunjung pada saat berlangsungnya pembacaan putusan Sengketa Pemilukada Kota Tomohon, Kamis (2/9).
Jakarta, MK Online - Mahkamah Konstitusi (MK) menjatuhkan putusan sela dalam perkara permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (PHPU) Kota Tomohon, Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2010, yang diajukan oleh Linneke Syennie-Jimmy Stefanus Wawengkang, Kamis (02/09) di ruang Sidang Pleno MK.
Permohonan ini sebelumnya dimohonkan karena Pemohon menengarai telah terjadi kecurangan dan kesalahan dalam penerapan coblos tembus. Dalam pendapatnya, MK membuat kesimpulan bahwa demi validitas jumlah perolehan suara para Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kota Tomohon, perlu dilakukan penghitungan surat suara ulang pada setiap kotak suara di Kota Tomohon, kecuali di Kelurahan Wailan Kecamatan Tomohon Utara, dengan menerapkan Surat KPU Nomor 313/KPU/V/2010 bertanggal 25 Mei 2010.
Selain penghitungan ulang, MK juga memerintahkan KPU Kota Tomohon untuk melakukan pemungutan suara ulang di kelurahan Wailan.
“Terbukti ada pelanggaran yang dapat mempengaruhi perolehan suara para Pasangan Calon sehingga perlu dilakukan pemungutan suara ulang di seluruh TPS di Kelurahan Wailan Kecamatan Tomohon Utara,” ujar ketua MK, Mahfud MD dalam ruang sidang.
Kecurangan tersebut adalah berupa penyalahgunaan kekuasaan dengan mengkonsolidasikan perangkat kelurahan dan juga linmas. Terdapat bukti surat undangan pertemuan dan penekanan agar memilih pasangan Jefferson Rumajar-Jimmy Eman. Apabila tidak, maka ditegaskan juga melalui surat lurah kelurahan Wailan akan dievaluasi dan bahkan di-non aktifkan.
Dengan demikian, MK mengabulkan permohonan Linneke Syennie-Jimmy Stefanus Waengkang.
”Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum Kota Tomohon untuk melakukan pemungutan suara ulang Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kota Tomohon Tahun 2010 di seluruh Tempat Pemungutan Suara di Kelurahan Wailan Kecamatan Tomohon Utara. Melaporkan kepada MK hasil penghitungan surat suara ulang dan pemungutan suara ulang tersebut selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah putusan ini dibacakan,” tegas Mahfud. (RN Bayu Aji)