Jumat, 15 Oktober 2010

Permohonan Achmad Dimyati Natakusumah Ditolak Karena Tak Beralasan Hukum

Plt. Panitera MK, Kasianur Sidauruk menyerahkan salinan putusan nomor 152/PUU-VII/2009 mengenai pengujian UU 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, usai persidangan Jum'at (15/10).
Setiap jabatan publik atau jabatan dalam pemerintahan dalam arti luas, baik yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan, maupun melalui cara lain, menuntut syarat kepercayaan masyarakat karena jabatan publik adalah jabatan kepercayaan. Oleh karena itu, dalam rekruitmen jabatan publik maupun dalam mekanisme pemberhentiannya dibuat persyaratan-persyaratan tertentu agar pejabat yang terpilih adalah pejabat yang benar-benar bersih, berwibawa, jujur, dan mempunyai integritas moral yang tinggi.
Demikian pendapat Mahkamah terhadap dalil Pemohon yang menyatakan pemberhentian sementara bertentangan UUD 1945 yang tidak mengenal istilah pemberhentian sementara.

Sidang dengan agenda pengucapan putusan perkara nomor 152/PUU-VII/2009 mengenai pengujian UU 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD ini digelar pada Jum'at (15/10) bertempat di ruang Pleno gedung MK. Dalam amar putusan, Mahkamah menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya.
Permohonan ini diajukan oleh Achmad Dimyati Natakusumah, Anggota DPR RI periode 2009-2014. Pada 14 Desember 2009, Dimyati memohonkan pengujian Pasal 219 UU 27/2009 ke MK. Saat itu Dimyati sedang dihadapkan sebagai terdakwa di Pengadilan Negeri Pandeglang.
Mantan Bupati Pandeglang ini mendalilkan bahwa ketentuan yang mengatur tentang pemberhentian sementara terhadap Anggota DPR karena menyandang status terdakwa sebagaimana diatur dalam Pasal 219 UU 27/2009, bertentangan dengan prinsip persamaan di hadapan hukum dan pemerintahan (equality before the law) sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.
Mahkamah tidak menemukan alasan hukum yang cukup kuat terhadap potensi terjadinya pelanggaran atas hak-hak konstitusional Pemohon yang dijamin dan dilindungi oleh UUD 1945, sehingga Mahkamah berpendapat permohonan provisi harus dikesampingkan.
Meskipun Pasal 22B UUD 1945 tidak secara expressis verbis mengatur mengenai pemberhentian sementara, tetapi tidak mengurangi hak pembentuk UU untuk mengatur lebih lanjut mekanisme pemberhentian suatu jabatan publik sesuai dengan kebutuhan yang menjadi tuntutan bagi jabatan publik yang bersangkutan serta dengan memperhatikan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
Apabila hanya norma dalam Pasal 213 UU 27/2009 ayat (2) huruf c UU 27/2009 yang menjadi dasar argumentasi Pemohon, yakni diberhentikan setelah memperoleh putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, maka justru mengandung ketidakadilan dan ketidakpastian hukum.
Mahkamah sependapat dengan keterangan pemerintah dalam persidangan yang menyatakan bahwa pasal yang dimohonkan pengujian justru memberikan kemudahan bagi anggota DPR, DPD, dan DPRD ketika menghadapi proses hukum tidak mengganggu tugas-tugas konstitusional sebagai anggota dewan.
Apabila ada seorang anggota DPR harus menjalani proses peradilan, sementara yang bersangkutan juga harus melaksanakan tugas-tugas konstitusionalnya dan menerima hak-hak sesuai dengan jabatannya, justru akan merendahkan kedudukan lembaga dewan di mata rakyat karena tidak dapat menjaga kredibilitas dan moralitas anggotanya. Sementara apabila ternyata putusan pengadilan menyatakan yang bersangkutan tidak bersalah, sudah ada mekanisme hukum untuk mengembalikan harkat dan martabatnya di hadapan hukum.
Memang benar Presiden/Wakil Presiden dan Anggota DPR dipilih secara langung oleh rakyat melalui Pemilu, tetapi kedudukan hukumnya berbeda. Perbedaan kedudukan hukum dan tugas konstitusional sebagaimana diatur dalam UUD 1945 menyebabkan karakter kedua jabatan tersebut berbeda sehingga wajar dan proporsional pula apabila ada pembedaan dalam mekanisme pemberhentian dari jabatannya.
Begitu pula terhadap Hakim Agung dan Hakim Konstitusi sebelum dilakukan pemberhentian, juga dapat diberhentikan sementara dari jabatannya sebagaimana diatur dalam Pasal 13 UU 3/2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU 14/1985 tentang MA dan Pasal 24 ayat (1) UU 24/2003 tentang MK.
Mahkamah berkesimpulan bahwa Kerugian yang didalilkan Pemohon disebabkan oleh pelaksanaan Undang-Undang bukan karena konstitusionalitas dari norma yang dimohonkan pengujian sehingga dalil-dalil Pemohon tidak berdasar dan tidak beralasan hukum.
Sidang Pleno terbuka untuk umum ini dilaksanakan oleh tujuh Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD., sebagai Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, M. Akil Mochtar, Harjono, Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, dan Hamdan Zoelva, masing-masing sebagai Anggota. (Nur Rosihin Ana)

Sumber:

Rabu, 13 Oktober 2010

UU Pengamanan Barang Cetakan Melanggar Konstitusi

Kuasa Pemohon sedang mendengarkan putusan pengujian Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Barang-Barang Cetakan yang dibacakan oleh Majelis Hakim Konstitusi, (13/10).
Jakarta, MKOnline - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Barang-Barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Demikian amar putusan MK Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010 ini dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD didampingi delapan hakim konstitusi, Rabu (13/10), di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan ini diujikan oleh  10 Pemohon baik perseorangan maupun lembaga, yakni Darmawan, Muhammad Chozzin Amirullah, Adhel Setiawan, Eva Irma Muzdalifah, Syafrimal Akbar Dalimunthe, Muhiddin M. Dahlan, Institut Sejarah Sosial Indonesia, I Gusti Agung Ayu Ratih, dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri.

Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Wakil Ketua MK Achmad Sodiki,  Mahkamah berpendapat penyitaan barang-barang cetakan yang dilakukan oleh Kejaksaan, Kepolisian, dan alat negara lain yang mempunyai wewenang memelihara ketertiban umum, seperti ketentuan Pasal 6 UU No.4/PNPS/1963, tanpa ada izin dari ketua pengadilan negeri setempat, merupakan suatu ketentuan yang bertentangan dengan Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). ”Sehingga antara ketentuan Pasal 6 UU Nomor 4/PNPS/1963 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menimbulkan ketidakpastian hukum yang melanggar ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” ujarnya.

Selain itu, lanjut Sodiki, penyitaan buku-buku sebagai salah satu barang cetakan tanpa melalui proses peradilan, sama dengan pengambilalihan hak milik pribadi secara sewenang-wenang yang amat dilarang oleh Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Menurut Mahkamah, tindakan pengambilalihan barang cetakan tanpa prosedur yang benar menurut hukum, terutama tanpa melalui proses peradilan, merupakan suatu eksekusi tanpa peradilan (extra judicial execution) yang sangat ditentang dalam suatu negara hukum yang menghendaki due process of law. “Adapun seperti penyitaan buku berjudul “Enam Jalan Menuju Tuhan” karangan Darmawan (Pemohon perkara Nomor 6/PUU-VIII/2010), menurut Mahkamah merupakan kasus konkret yang berdasarkan due process of law, penegak hukum harus menindaklanjutinya melalui instrumen hukum yang sudah tersedia seperti Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama dan/atau KUHP,” urainya.
 
Mengenai kasus jika adanya suatu barang cetakan yang isinya melanggar suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku, misalnya seperti penyitaan buku berjudul, “Enam Jalan Menuju Tuhan sebagaimana disebutkan di atas, aparatur negara yang berwenang dapat saja melakukan penyitaan setelah mendapat izin dari ketua pengadilan negeri setempat atau menyita terlebih dahulu dalam hal yang mendesak. Lalu, lanjut Sodiki, meminta izin persetujuan penyitaan dari ketua pengadilan negeri setempat dilanjutkan dengan penyidikan, penuntutan dan penyidangan oleh instansi yang berwenang. Semua penegakan hukum pada akhirnya ditentukan dalam putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. “Tak hanya bisa melarang, menyita, menahan, memenjarakan bahkan menjatuhkan pidana mati sekalipun diperbolehkan asal melalui proses peradilan, bukan melalui keputusan Jaksa Agung,” jelasnya.
 
Sodiki juga menjelaskan  karena permohonan para Pemohon tentang Pasal 1 sampai dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 dikabulkan dan pasal-pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, maka Pasal 10 yang menyatakan, “Semua ketentuan yang isinya bertentangan atau telah diatur dalam Penetapan ini dinyatakan tidak berlaku lagi” dan Pasal 11 yang menentukan, “Penetapan Presiden ini mulai berlaku pada hari diundangkannya,” menjadi tidak bermakna sehingga keseluruhan Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
 
Oleh karena itu, dalam amar putusan yang dibacakan Ketua MK Moh. Mahfud MD, Mahkamah menyatakan tidak dapat menerima pengujian formil para Pemohon. “Dan mengabulkan permohonan pengujian materiil oleh para Pemohon dikabulkan untuk sebagian,” ujarnya.
 
Sementara itu, Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva menyatakan dissenting opinion. Hamdan berpendapat  perampasan kemerdekaan seseorang adalah melanggar hak asasi manusia. Akan tetapi untuk kepentingan umum penahanan terhadap seseorang dibenarkan asal diperintahkan oleh undang-undang. Demikian juga pembatasan-pembatasan kebebasan individual dalam keadaan darurat dimungkin berdasarkan ketentuan undang-undang (Lihat UU Nomor 23 Prp Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya). Demikianlah halnya dengan hak dan kebebasan untuk mengeluarkan pendapat, hak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan segala informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia, serta jaminan atas hak milik pribadi dapat dibatasi untuk kepentingan keamanan dan ketertiban umum. “Akan tetapi untuk menghindari penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan oleh pemerintah, pembatasan demikian harus dengan undang-undang,” jelasnya.
 
Apalagi, jelas Hamdan, dalam konteks masyarakat Indonesia yang sangat plural, ancaman atas keamanan dan ketertiban umum  yang ditimbulkan oleh suku, ras dan agama masih menjadi persoalan yang belum bisa diatasi dengan baik. Akibat  sebuah tulisan dari barang cetakan yang menyinggung perasaan suku, agama dan ras atau kelompok tertentu dapat menimbulkan perkelahian, perang antar suku dan agama yang pasti mengancan keamanan dana ketertiban umum. Pemerintah yang memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk menjalankan public order tidak dapat diamputasi kewenangannya dalam menjalankan fungsinya menjamin keamanan dan ketertiban umum, karena alasan-alasan melanggar kebebasan individual. “Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, pelarangan peredaran barang cetakan yang mengganggu ketertiban umum berdasarkan perintah undang-undang dalam rangka fungsi pemerintah menjalankan  public order sebagimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 adalah norma yang tidak bertentangan dengan konstitusi,” tandasnya. (Lulu Anjarsari/mh)