Senin, 31 Januari 2011

MK Batalkan UU Hak Angket DPR Versi UUDS 1950

Majelis Pleno Hakim saat pembacaan putusan perkara pengujian materiil UU tentang Penetapan Hak Angket DPR, Senin (31/1) di Ruang Sidang Pleno MK.
Jakarta, MK Online - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk mengabulkan permohonan para Pemohon dalam pengujian materiil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1954 tentang Penetapan Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat. Demikian amar putusan Nomor 8/PUU-VIII/2010 yang dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD dengan didampingi tujuh hakim konstitusi, Senin (31/1), di Ruang Sidang Pleno MK.
“Menolak permohonan para pemohon dalam pengujian formil. Menyatakan UU No.6 Tahun 1954 tentang Penetapan Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ujar Mahfud.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi, Mahkamah menimbang dalam permohonan a quo, para Pemohon menyatakan mengajukan pengujian materiil UU 6/1954, namun apabila dicermati dalam dalil permohonan, para Pemohon mempersoalkan mengenai legalitas dan dasar hukum UU 6/1954 yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (UUDS 1950). Fadlil menjelaskan bahwa penilaian Mahkamah terhadap kepentingan para Pemohon dalam pengujian formil UU 6/1954 harus mengaitkan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, di mana para Pemohon sebagai salah satu pemegang kedaulatan telah memberikan mandatnya melalui pemilihan umum kepada wakil-wakilnya yang duduk di lembaga legislatif dan eksekutif.
“Rakyat sebagai pemegang kedaulatan yang berhak mengontrol atau mengawasi jalannya pemerintahan negara, akan kehilangan hak konstitusionalnya, apabila tidak diberi kedudukan hukum (legal standing) karena, dalam perkara a quo, karena pembentuk Undang-Undang telah ternyata tidak melakukan koreksi terhadap produk hukum yang telah dibuatnya. Berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah berpendapat, para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan pengujian UU 6/1954 terhadap UUD 1945,” jelasnya.
Sementara itu Hakim Konstitusi Harjono memaparkan dalam mempertimbangkan pokok permohonan Mahkamah meneliti dasar hukum UU 6/1954, karena pasal-pasal yang dituangkan di dalam dasar hukum merupakan landasan pembentukan peraturan perundang-undangan. Dasar hukum (pada bagian “Mengingat”) UU 6/1954, lanjut Harjono, adalah “Pasal 70 dan Pasal 90 ayat (2) juncto Pasal 89 Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia”. Pasal 70 UUDS 1950 mengatur dasar hukum pembentukan UU 6/1954. Pasal 90 ayat (2) dan Pasal 89 UUDS 1950 mengatur mengenai lembaga yang berwenang membuat Undang-Undang a quo. Undang-Undang a quo telah ternyata dibentuk oleh Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan pasal-pasal tersebut.
“Dengan demikian, maka pembentukan UU 6/1954 adalah konstitusional karena sesuai dengan ketentuan-ketentuan UUDS 1950 yang berlaku ketika itu. Meskipun pembentukan Undang-Undang a quo konstitusional pada saat itu, namun oleh karena ternyata Pemohon pada hakikatnya mempersoalkan materi muatan Undang-Undang a quo, maka Mahkamah perlu mempertimbangkan materinya,” papar harjono.
Harjono memaparkan bahwa pembentukan UU 6/1954 mengacu kepada sistem pemerintahan parlementer berdasar UUDS 1950 yang dimaksudkan, antara lain untuk memberikan perlindungan/kepastian hukum terhadap panitia angket, jikalau Presiden membubarkan DPR yang diatur dalamPasal 28 UU 6/1954. Ketentuan demikian, lanjut Harjono, jelas berbeda atau tidak sejalan dengan UUD 1945 yang menganut sistem pemerintahan presidensiil. Dalam sistem pemerintahan presidensiil, presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR.
“Dengan demikian, meskipun berdasarkan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945, segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD 1945, namun menurut Mahkamah, UU 6/1954 termasuk Undang-Undang yang tidak dapat diteruskan keberlakuannya karena terdapat perbedaan sistem pemerintahan yang dianut dari kedua konstitusi yang mendasarinya, sehingga materi muatan Undang-Undang a quo bertentangan dengan UUD 1945,” paparnya.
Selain itu, Harjono juga menjelaskan bahwa  tata cara pembentukan dan mekanisme kerja panitia angket yang diatur dalam UU 6/1954 telah diatur juga dalam UU 27/2009. Apabila UU 6/1954 tetap dipertahankan akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang justru bertentangan dengan UUD 1945. “Untuk menyempurnakan Undang-Undang hak angket sebagai akibat inkonstitusionalitas dari UU 6/1954 ini, pembentuk Undang-Undang perlu mengantisipasi untuk membentuk Undang-Undang sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 20A ayat (4) UUD 1945 dengan tetap memperhatikan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 yang terkait dengan hak-hak DPR dan anggota DPR,” jelasnya. (Lulu Anjarsari)

Sumber:
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=4966