Kamis, 24 Februari 2011

12 Tahun, Batas Usia Pidana Anak


Panitera Mahkamah Konstitusi, Kasianur Sidauruk menyerahkan salinan Putusan kepada Pihak Pemerintah yang diwakili oleh Mualimin Abdi dari Kementerian Hukum dan HAM, Kamis (24/2/11)
Jakarta, MKOnline - Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya menyatakan batas usia anak yang bisa dimintai pertanggungjawaban pidana adalah 12 tahun. Mahkamah berpendapat, batas umur minimal 12 tahun lebih menjamin hak anak untuk tumbuh berkembang dan mendapatkan perlindungan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945.
Batas umur 8 tahun bagi anak untuk dapat diajukan ke persidangan dan belum mencapai umur 8 tahun untuk dapat dilakukan pemeriksaan oleh penyidik, secara faktual relatif rendah. Penjelasan UU Pengadilan Anak menentukan batas umur 8 tahun secara sosiologis, psikologis, pedagogis anak dapat dianggap sudah mempunyai rasa tanggung jawab. Mahkamah berpendapat fakta hukum menunjukkan adanya beberapa permasalahan dalam proses penyidikan, penahanan, dan persidangan, sehingga menciderai hak konstitusional anak yang dijamin dalam UUD 1945.
Demikian antara lain pendapat Mahkamah dalam sidang pengucapan putusan yang dibacakan pada Kamis (24/2/2011). Dalam amar putusannya, Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan. Perkara nomor 1/PUU-VIII/2010 mengenai uji UU Pengadilan Anak ini dimohonkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Medan (YPKPAM). KPAI dan YPKPAM menguji konstitusionalitas Pasal 1 angka 2 huruf b, Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 22, Pasal 23 ayat (2) huruf a, Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak terhadap Pasal 28B ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.
Usia Bertanggung jawab
Mahkamah berpendapat, keberadaan UU Pengadilan Anak ini seharusnya ditujukan untuk memberikan perlindungan terbaik pada anak untuk dapat menjamin hak hidup (rights to life), hak kelangsungan hidup (rights to survival), dan hak tumbuh kembang anak (rights to develop). Keberadaan UU Pengadilan Anak secara khusus ditujukan bagi kepentingan terbaik bagi anak adalah bentuk dari affirmative action bagi Anak.
Setelah mencermati seluruh ketentuan tentang Pengadilan Anak, Mahkamah memandang terdapat substansi atau materi UU Pengadilan Anak yang perlu diperbaiki, seperti Pasal 23 ayat (2) huruf a UU yang menyatakan, “Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah: a. Pidana penjara; b. Pidana kurungan; c. Pidana denda; atau d. Pidana pengawasan”. Sistematika rumusan tersebut seharusnya mendahulukan pidana pengawasan dan yang terakhir barulah pidana penjara.
Berdasarkan pandangan hukum dari ahli Pemerintah, Dr. Mudzakkir, S.H., M.H., ahli Pemohon, Dr. Surastini, S.H., M.H., Fentiny Nugroho, M.A., Ph.D, Prof. Bismar Siregar, Hj. Aisyah Amini, dan Adi Fahrudin, Mahkamah memandang batasan umur telah menimbulkan pelbagai penafsiran dan kontroversi pemikiran sehingga perlu ada batasan usia yang serasi dan selaras dalam pertanggungjawaban hukum bagi anak yang terdapat dalam UU Pengadilan Anak dengan mendasarkan pada pertimbangan hak-hak konstitusional anak. Mahkamah menemukan adanya perbedaan antara batas usia minimal bagi anak yang dapat diajukan dalam proses penyidikan, proses persidangan, dan pemidanaan.
Pasal 4 ayat (1) UU Pengadilan Anak menyatakan batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak adalah sekurang-kurangnya 8 tahun. Selanjutnya, Pasal 5 ayat (1) menyatakan dalam hal anak belum mencapai umur 8 tahun dapat dilakukan penyidikan. Sedangkan Pasal 26 ayat (3) dan ayat (4) UU Pengadilan Anak menyatakan apabila anak nakal belum mencukupi umur 12 tahun melakukan tindak pidana yang diancam hukuman mati atau seumur hidup maka terhadap anak nakal hanya dapat dijatuhkan tindakan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1) UU Pengadilan Anak tidak dapat dilakukan apabila belum mencapai umur 12 tahun.
Penetapan umur minimal 12 tahun sebagai ambang batas umur pertanggungjawaban hukum bagi anak telah diterima dalam praktik sebagian negara-negara sebagaimana juga direkomendasikan oleh Komite Hak Anak PBB dalam General Comment, 10 Februari 2007. Dengan batasan umur 12 tahun maka telah sesuai dengan ketentuan tentang pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak dalam Pasal 26 ayat (3) dan ayat (4). Penetapan batas umur tersebut juga dengan mempertimbangkan bahwa anak secara relatif sudah memiliki kecerdasan emosional, mental, dan intelektual yang stabil serta sesuai dengan psikologi anak dan budaya bangsa Indonesia, sehingga dapat bertanggung jawab secara hukum karena telah mengetahui hak dan kewajibannya. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat, batas umur minimal 12 tahun lebih menjamin hak anak untuk tumbuh berkembang dan mendapatkan perlindungan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945.
Meskipun yang dimohonkan pengujian hanya Pasal 4 ayat (1) sepanjang frasa, “...sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun...” dan Pasal 5 ayat (1) sepanjang frasa, “...belum mencapai umur 8 (delapan) tahun...”, namun Mahkamah sesuai dengan kewenangan konstitusionalnya, tidak akan membiarkan adanya norma dalam UU yang tidak konsisten dan tidak sesuai dengan amanat perlindungan konstitutional yang dikonstruksikan oleh Mahkamah. Oleh karena itu, norma-norma pasal yang lain dalam Undang-Undang ini, yaitu Pasal 1 angka 1 dan penjelasan UU Pengadilan Anak sepanjang mengandung frasa sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) UU Pengadilan Anak harus dinyatakan inkonstitusional bersyarat.
Dalam konklusinya, Mahkamah menilai dalil-dalil Pemohon terbukti menurut hukum untuk sebagian. Alhasil dalam amar putusan, Mahkamah mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. Mahkamah menyatakan frasa,”... 8 (delapan) tahun...,” dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1), dan Pasal 5 ayat (1) UU 3/1997 tentang Pengadilan Anak beserta penjelasannya khususnya terkait dengan frasa “...8 (delapan) tahun...” bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional), artinya inkonstitusional, kecuali dimaknai “...12 (dua belas) tahun...”.
Selanjutnya, menyatakan frasa dalam pasal-pasal beserta penjelasannya dalam UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat (conditionally unconstitutional), artinya inkonstitusional, kecuali dimaknai “...12 (dua belas) tahun...”. Terakhir, menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.
Beda Pendapat
Putusan ini tidak diambil secara bulat oleh sembilan hakim konstitusi dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar mengambil posisi berbeda dalam berpendapat (dissenting opinion) terhadap Pasal 1 angka 2 huruf b UU 3/1997 sepanjang frasa ” ...maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan”,.
Menurut Akil, seharusnya Mahkamah menyatakan Pasal 1 angka 2 huruf b UU 3/1997 tentang Pengadilan Anak sepanjang frasa tersebut, bertentangan dengan UUD 1945. (Nur Rosihin Ana/mh)

Sumber:
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=5049

Pengaturan Penyadapan dengan Peraturan Pemerintah Inkonstitusional


Majelis Hakim Konstitusi saat sidang pengucapan putusan uji materi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang dibacakan pada Kamis (24/2/2011). Dalam amar putusannya, Mahkamah mengabulkan seluruh permohonan.
Jakarta, MKOnline - Penyadapan (interception) merupakan bentuk pelanggaran terhadap rights of privacy yang bertentangan dengan UUD 1945. Rights of privacy merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dapat dibatasi (derogable rights), namun pembatasan atas rights of privacy ini hanya dapat dilakukan dengan UU, sebagaimana ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Demikian pendapat Mahkamah dalam sidang pengucapan putusan uji materi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang dibacakan pada Kamis (24/2/2011). Dalam amar putusannya, Mahkamah mengabulkan seluruh permohonan.
Permohonan Nomor 5/PUU-VIII/2010 mengenai uji materi UU ITE ini diajukan oleh Anggara, Supriyadi Widodo Eddyono, dan Wahyudi. Pemohon meminta kepada Mahkamah agar mencabut Pasal 31 ayat (4) UU 11/2008 yang menyatakan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Pemohon mendalilkan bahwa ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
Ketentuan tata cara penyadapan menurut Pemohon tidak seharusnya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah melainkan harus diatur melalui UU. Sebab pengaturan penyadapan dalam Peraturan Pemerintah tidak akan cukup menampung artikulasi pengaturan mengenai penyadapan.
Selain itu, dalil Pemohon, menyatakan penyadapan oleh aparat hukum atau institusi resmi negara tetap menjadi kontroversial karena merupakan praktik invasi atas hak-hak privasi warga negaranya yang mencakup privasi atas kehidupan pribadi, kehidupan keluarga maupun korespondensi. Ketidakjelasan pengaturan mengenai penyadapan, akan berpotensi pada penyalahgunaan yang berdampak pada pelanggaran HAM para Pemohon maupun masyarakat pada umumnya.
Mahkamah dalam pendapatnya mengatakan, dalam perkembangannya penyadapan seringkali digunakan untuk membantu proses hukum tertentu, seperti penyelidikan kasus-kasus kriminal dalam mengungkap aksi teror, korupsi, dan tindak pidana narkoba. Penyadapan yang diperbolehkan ini dikenal juga sebagai lawful interception (penyadapan yang legal/sah di mata hukum)
Kewenangan penyadapan merupakan hal yang sangat sensitif karena di satu sisi merupakan pembatasan HAM namun di sisi lain memiliki aspek kepentingan hukum. Oleh karena itu, pengaturan (regulation) mengenai legalitas penyadapan harus dibentuk dan diformulasikan secara tepat sesuai dengan UUD 1945.
Mahkamah menilai hingga saat ini belum ada pengaturan secara komprehensif mengenai penyadapan. Di beberapa negara pengaturan mengenai penyadapan diatur dalam KUHP, antara lain di Amerika Serikat, Belanda, dan Canada. Sedangkan di Indonesia, pengaturan mengenai penyadapan tersebar di beberapa peraturan perundang-undangan. Tidak ada pengaturan yang baku mengenai penyadapan, sehingga memungkinkan terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya. Sinkronisasi ini hanya dapat dilakukan oleh peraturan setingkat UU dan bukan dengan Peraturan Pemerintah.
Oleh karena itu, perlu adanya sebuah UU khusus yang mengatur penyadapan pada umumnya hingga tata cara penyadapan untuk masing-masing lembaga yang berwenang. UU ini amat dibutuhkan karena hingga saat ini masih belum ada pengaturan yang sinkron mengenai penyadapan sehingga berpotensi merugikan hak konstitutional warga negara pada umumnya.
Sedangkan Peraturan Pemerintah tidak dapat mengatur pembatasan HAM. Bentuk Peraturan Pemerintah hanya merupakan pengaturan administratif dan tidak memiliki kewenangan untuk menampung pembatasan atas HAM.
Alhasil dalam amar putusan, Mahkamah mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Mahkamah menyatakan Pasal 31 ayat (4) UU 11/2008 tentang ITE bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (Nur Rosihin Ana/mh)

Sumber: