Rabu, 02 Maret 2011

MK Menolak Permohonan Pengujian UU Otsus Papua

Jakarta, MKOnline - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pleno pembacaan putusan Pengujian UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua), Rabu (2/3). Pada sidang kali ini Mahkamah memutuskan menolak untuk seluruhnya permohonan para Pemohon.
Permohonan ini sebagaimana diketahui, diajukan oleh John Ibo, selaku Ketua DPR Papua periode 2009-2014 dan Yoseph Yohan,  Roberth Melianus Nauw, dan Jimmy Demianus Ijie dalam kapasitas sebagai Pimpinan DPR Papua periode 2008-2014. Para Pemohon selama persidangan didampingi kuasanya Bambang Widjojanto dkk.

Dalam pertimbangan hukum, pendapat Mahkamah yang dibacakan Ketua MK, Moh. Mahfud MD, bahwa tidak ditemukan bukti yang meyakinkan bahwa pemilihan gubernur dan wakil gubernur Provinsi Papua adalah merupakan kekhususan provinsi Papua yang berbeda dengan Provinsi lainnya di Indonesia. Pemilihan gubernur dan wakil gubernur oleh DPR Papua, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a, UU 21/2001, tidak memenuhi kriteria kekhususan atau keistimewaan yang melekat pada daerah yang bersangkutan. Pasalnya, Provinsi Papua tidak memenuhi kriteria untuk dapat dikatakan sebagai provinsi khusus.

Pemilihan gubernur dan wakil gubernur Provinsi Papua menurut Mahkamah, dilakukan selayaknya provinsi lainnya di Indonesia. “Pemilihan gubernur dan wakil gubernur oleh DPRP (Pasal 7 ayat (1) huruf a UU 21/2001), serta tata cara pemilihan yang harus diatur dalam Perdasus (Pasal 11 ayat (3) UU 21/2001) adalah seiring dengan mekanisme pemilihan oleh DPRD yang diberlakukan di daerah lainnya di Indonesia sebagaimana diatur dalam UU 22/1999 yang berlaku pada saat itu,” ujar Mahfud saat membacakan keputusan.

Hanya saja, tetap ada perbedaan dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur di Papua dibanding daerah lain di Indonesia. Perbedaan atau kekhususan dalam pemilihan Gubernur dan wakil Gubernur papua terletak pada calon gubernur dan calon wakil gubernur yang harus orang asli Papua dan telah mendapat pertimbangan dan persetujuan MRP (Majelis Rakyat Papua).

Kemudian terjadi perubahan cara pemilihan gubernur dan wakil gubernur Papua secara langsung seperti yang dimaksud dalam UU 35/2008. Di dalam UU tersebut memang tidak digambarkan mengenai perubahan pemilihan gubernur dan wakil gubernur secara langsung oleh rakyat, namun Mahkamah menganggap penghapusan Pasal 7 ayat (1) huruf a UU 21/2001 berdasarkan Pasal I angka 2 UU 35/2008 (Permohonan Pemohon), tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Lebih lanjut, Mahkamah, menganggap ratio legis lahirnya Pasal 7 ayat (1) huruf a Undang-Undang a quo dapat dipahami,  karena pemilihan gubernur oleh DPRP tidak termasuk kekhususan Provinsi Papua yang berbeda dengan provinsi lainnya di Indonesia. “Dengan demikian, pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Papua oleh DPRP atau langsung oleh rakyat adalah pilihan kebijakan hukum pembentuk Undang-Undang yang tidak bertentangan dengan konstitusi. Demikian juga, tidak adanya evaluasi terlebih dahulu atas pelaksanaan otonomi khusus Papua sebelum dilakukan perubahan UU 21/2001 sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang a quo, tidak dengan sendirinya berakibat norma Pasal I angka 2 UU 35/2008 yang menghapus Pasal 7 ayat (1) huruf a UU 21/2001 bertentangan dengan UUD 1945,” jelas Mahfud.

Dan dalam pertimbangan terakhir, Mahkamah mengatakan permohonan para Pemohon tidak memiliki alasan konstitusional yang cukup untuk menyatakan Pasal I angka 2 UU 35/2008 yang menghapus Pasal 7 ayat (1) huruf a UU 21/2001 bertentangan dengan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945.

Akhirnya, dalam amar putusan, Mahkamah menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. (Yusti Nurul Agustin/mh)

Sumber:
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=5072