Rabu, 29 Juni 2011

pilkada lembata

Tak Miliki Legal Standing, Permohonan Tiga Bakal Calon Bupati Lembata Tidak Dapat Diterima


Jakarta, MKOnline – Permohonan perselisihan hasil pemilukada Kab. Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang diajukan 3 (tiga) pasangan bakal calon (balon), diputuskan hari ini. Mahkamah Konstitusi (MK) dalam amar putusan yang dibacakan pada Senin (27/6/2011) malam, menyatakan tidak dapat menerima permohonan pasangan Lukas Lipataman-Muhidin Ishak (permohonan perkara nomor 65/PHPU.D-IX/2011), pasangan Petrus Tawa Langoday-Akhmad Bumi (perkara nomor 66/PHPU.D-IX/2011) dan pasangan Paulus Doni Ruing-Johanis Kia Poli (perkara nomor 67/PHPU.D-IX/2011). Mahkamah menilai para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan.

KPU Lembata menyatakan Lukas Lipataman tidak lulus syarat kesehatan. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan fakta-fakta serta bukti yang diajukan oleh pasangan Lukas-Muhidin dan KPU Lembata, Mahkamah berpendapat KPU Lembata telah melaksanakan tahapan Pemilukada sesuai jadwal.

Fakta dalam persidangan, saksi KPU Lembata, Dr. Andreas N.F. Lewai, Sp.PD dan Dr. Achmad Ichsan, Sp.S, menerangkan Lukas Lipataman mengalami gangguan fungsi executive (fungsi manajerial). Menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 16 ayat (4) Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2010 adalah bersifat final dan tidak mungkin dilakukan pemeriksaan yang sama di rumah sakit yang sama atau di rumah sakit yang lain sebagai pembanding. Akan tetapi, sesuai bukti yang dihadirkan, Lukas Lipataman melakukan pemeriksaan yang sama di rumah sakit lain, yaitu di RS Dr. Soetomo Surabaya dan RS Pertamina Centra Hospital Jakarta. Menurut Mahkamah, tindakan Lukas tersebut tidak sesuai dengan Pasal 16 ayat (4) Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2010.

Sedangkan permasalahan hukum pasangan Petrus Tawa Langoday-Akhmad Bumi dan pasangan Paulus Doni Ruing-Johanis Kia Poli adalah adanya dukungan ganda partai politik pengusung pasangan calon. Kedua pasangan ini menganggap KPU Lembata tidak melakukan verifikasi administrasi terhadap dukungan partai.

Berdasarkan fakta dan bukti di persidangan, Mahkamah tidak menemukan terjadinya pelanggaran-pelanggaran serius terhadap hak-hak perseorangan untuk menjadi calon (right to be candidate). Mahkamah juga tidak menemukan bukti KPU Lembata menghalang-halangi terpenuhinya syarat pasangan balon Lukas-Muhidin, pasangan balon Petrus-Akhmad dan pasangan balon Paulus-Johanis dalam penyelenggaraan Pemilukada Lembata. (Nur Rosihin Ana/mh)

Senin, 27 Juni 2011

Permohonan Pemohon Ne Bis In Idem, Uji UU Peradilan Tidak Diterima

Jakarta, MKOnline - Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya memutuskan Pengujian UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama - Perkara No. 30/PUU-IX/2011 – tidak dapat diterima. “Amar putusan mengadili, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” demikian dibacakan  Majelis Hakim yang diketuai Moh. Mahfud MD pada sidang Pleno MK, Senin (27/6) sore.  

Seperti diberitakan sebelumnya, Pemohon adalah Suryani, seorang buruh asal Serang, Banten. Pemohon menganggap sebagai warga negara yang beragama Islam yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya Pasal 49 Ayat (1) UU Peradilan Agama karena merasa dibatasi kebebasannya untuk melaksanakan ajaran Islam secara menyeluruh dan lengkap.

Sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah mengutip Pasal 54 UU MK yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada MPR, DPR, DPD, dan/atau Presiden.” Karena pasal tersebut menggunakan kata “dapat” maka Mahkamah tidak harus mendengar keterangan MMPR, DPR, DPD, dan/atau Presiden dalam melakukan pengujian atas suatu Undang-Undang. 

Dengan kata lain Mahkamah dapat meminta atau tidak meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada MPR, DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden, tergantung pada urgensi dan relevansinya. Oleh karena permasalahan hukum dalam permohonan  a quo  sudah jelas, maka Mahkamah memandang tidak ada urgensi dan relevansinya untuk meminta keterangan dan/atau risalah rapat dari MPR, DPR, DPD, dan/atau Presiden, sehingga Mahkamah langsung memutus permohonan a quo.

Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama permohonan Pemohon, ternyata norma yang dimohonkan pengujian dalam permohonan  a quo,  alasan-alasan Pemohon, pasal-pasal UUD 1945 yang dijadikan batu uji, juga Pemohonnya persis sama dengan permohonan yang telah diputus oleh Mahkamah dalam putusan  No.19/PUU-VI/2008, bertanggal 12 Agustus 2008, yang amarnya menolak permohonan untuk seluruhnya; 

Selanjutnya, menimbang bahwa Pasal 60 UU MK menyatakan, “Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali”, dan Pasal 42 Ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi No.06/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Pengujian Undang-Undang (PMK 06/2005) yang menyatakan, “Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali”, maka permohonan a quo adalah menguji norma yang sama, alasan-alasan yang sama, batu uji yang sama, bahkan Pemohon yang sama.  

Menurut Mahkamah, memang ketentuan Pasal 42 Ayat (2) PMK 06/2005 yang menyatakan, “Terlepas dari ketentuan ayat (1) di atas, permohonan pengujian UU terhadap muatan ayat, pasal, dan/atau bagian yang sama dengan perkara yang pernah diputus oleh Mahkamah dapat dimohonkan pengujian kembali dengan syarat-syarat konstitusionalitas yang menjadi alasan permohonan yang bersangkutan berbeda“ memungkinkan pengujian kembali terhadap norma atau pasal yang diuji dengan syarat ada alasan konstitusional baru. Namun karena dalam permohonan a quo ternyata tidak terdapat alasan konstitusional yang baru, sebagaimana dipertimbangkan di atas maka permohonan a quo harus dinyatakan ne bis in idem.(Nano Tresna A.)
 

MK Putuskan UU Kesehatan Inskonstitusional Bersyarat

Jakarta, MKOnline - Dokter, dokter gigi, bidan, dan perawat kini bisa melakukan tugasnya dalam keadaan darurat yang mengancam keselamatan jiwa pasien dan diperlukannya tindakan medis segera untuk menyelamatkan pasien tanpa perlu takut mengenai adanya sanksi pidana. Hal tersebut berlaku setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Pasal 108 ayat (1) UU 36/2009 tentang Kesehatan adalah inkonstitusional bersyarat, Senin (27/6), di Ruang Sidang Pleno MK. Pembacaan Putusan Nomor 12/PUU-VIII/2010 ini dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD dengan didampingi oleh delapan hakim konstitusi dengan dihadiri oleh Pemohon, yakni sembilan Pemohon yang merupakan tenaga kesehatan yang berasal dari Provinsi Kalimantan Timur.

“Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. Pasal 108 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063) sepanjang kalimat, ‘... harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa tenaga kesehatan tersebut adalah tenaga kefarmasian, dan dalam hal tidak ada tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan tertentu dapat melakukan praktik kefarmasian secara terbatas, antara lain, dokter dan/atau dokter gigi, bidan, dan perawat yang melakukan tugasnya dalam keadaan darurat yang mengancam keselamatan jiwa dan diperlukan tindakan medis segera untuk menyelamatkan pasien,” urai Mahfud membacakan amar putusan.

Dalam pertimbangan hukum, Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva menjelaskan Mahkamah berpendapat bahwa dalam perspektif pengkaidahan, ketentuan pokok dalam Pasal 108 ayat (1) UU 36/2009 yang dalam preskripsinya mengharuskan pembuatan dan pengelolaan obat dan obat tradisional dilakukan oleh Tenaga Kefarmasian yang mempunyai keahlian dan kewenangan tidaklah dapat dianggap bertentangan dengan ketentuan konstitusional manapun dalam UUD 1945 karena ketentuan tersebut mengimplementasikan prinsip mendudukkan seseorang pada posisi dan fungsi yang sesuai dengan kompetensi dan profesionalitasnya (the right man on the right place).

“Hal demikian merupakan salah satu dari implementasi prinsip keadilan. Sebaliknya, mendudukkan seseorang pada posisi dan fungsi yang tidak sesuai dengan kompetensi dan profesionalitasnya, terlebih lagi dalam praktik kefarmasian yang mengandung risiko sangat tinggi, maka dampaknya bukan saja akan mengganggu kesehatan, bahkan dapat juga berakibat pada kematian. Berdasarkan pertimbangan tersebut Mahkamah berpendapat, bahwa sepanjang mengenai ketentuan pokok Pasal 108 ayat (1) UU 36/2009 adalah konstitusional atau secara khusus tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” jelasnya.

Mengenai Penjelasan Pasal 108 ayat (1) UU 36/2009 yang di dalamnya terdapat ketentuan pengecualian dari ketentuan yang terdapat di dalam pasalnya, terang Hamdan, Mahkamah berpendapat bahwa penempatan ketentuan pengecualian dalam bagian Penjelasan merupakan penempatan yang tidak tepat, karena ketentuan tersebut juga masih termasuk kategori penormaan, bukan semata-mata menjelaskan. Hamdan memaparkan terlebih lagi penormaan yang terdapat di dalam penjelasan tersebut telah ternyata dapat berimplikasi dikenakannya sanksi pidana terhadap pelanggarnya, meskipun untuk ketentuan sanksi tersebut terdapat di pasal yang lain.

“Norma seharusnya ditempatkan dalam pasal. Mahkamah juga berpendapat, di samping penempatan norma yang tidak tepat, ketentuan pengecualian tersebut di lapangan, sebagaimana didalilkan oleh Pemohon, menimbulkan keadaan yang dilematis. Karena, di satu sisi petugas kesehatan dengan kewenangan yang sangat terbatas harus menyelamatkan pasien dalam keadaan darurat, sedangkan di sisi lain untuk memberikan obat atau tindakan medis yang lain ia dibayangi oleh ketakutan terhadap ancaman pidana bila ia melakukannya. Hal yang terakhir ini bahkan telah dialami oleh Pemohon. Sementara itu, peraturan perundang-undangan apapun dibuat oleh negara adalah untuk manusia, untuk hidup dan kesejahteraannya. Adanya ketentuan pengecualian yang sangat terbatas demikian, menurut Mahkamah, tidak memberikan perlindungan kepada pasien dalam keadaan darurat, dan tidak pula memberikan perlindungan kepada tenaga kesehatan. Dengan demikian maka Mahkamah dapat membenarkan dalil para Pemohon tersebut,” papar Hamdan. (Lulu Anjarsari/mh)

MK Nyatakan Pengujian UU Advokat Ne Bis In Idem

Jakarta, MKOnline - Tiga permohonan judicial review terhadap Undang-Undang No. 18/2003 tentang Advokat diputus oleh Mahkamah Konstitusi, Senin (27/6) di Ruang Sidang Pleno MK. Tiga perkara tersebut adalah perkara  No. 66/PUU-VIII/2010, 71/PUU-VIII/2010, dan 77/PUU-VIII/2010. Terhadap perkara 66, MK menyatakan bahwa permohonan para Pemohon sebagian ne bis in idem dan sebagian tidak terbukti. Dalam amar putusannya MK menyatakan, permohonan para Pemohon sepanjang mengenai pengujian Pasal 28 ayat (1) dan Pasal 32 ayat (4) UU Advokat tidak dapat diterima. ”Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya,” ujar Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD.


Sedangkan terhadap dua perkara lainnya, perkara 71 dan 77, MK menyatakan, tidak dapat diterima. ”Permohonan para Pemohon ne bis in idem untuk seluruhnya,” tegas Mahfud. Untuk diketahui, ne bis in idem adalah asas hukum yang menyatakan bahwa perkara yang sama yang telah diputus dan berkekuatan hukum tetap tidak dapat diperkarakan kembali.


Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah berpendapat, Pengujian konstitusionalitas atas Pasal 28 ayat (1) dan Pasal 32 ayat (4) UU Advokat telah dimohonkan pengujiannya dan telah diputus dalam putusan MK No. 014/PUU-IV/2006, tanggal 30 November 2006. ”Sepanjang mengenai pasal-pasal yang telah diuji mutatis mutandis dengan batu uji yang sama menjadi pertimbangan pula dalam putusan a quo,” tulis MK dalam salah satu pertimbangannya. Dalam putusan tersebut, MK menyatakan permohonan para Pemohon ditolak untuk seluruhnya.


Sedangkan terkait pengujian Pasal 30 ayat (2) UU Advokat yang menyatakan, “Setiap Advokat yang diangkat berdasarkan Undang-Undang ini wajib menjadi anggota Organisas Advokat”, menurut Mahkamah, merupakan konsekuensi logis dari ketentuan Pasal 28 ayat (1) UU Advokat. ”Sehingga pengujian norma ini harus dinyatakan tidak beralasan hukum,” tegas MK.


Mengenai pengujian Pasal 32 ayat (4) UU Advokat, MK berpendapat, pasal ini juga telah pernah dimohonkan pengujian dan telah diputus oleh MK dalam putusan yang sama. Pada putusan bertanggal 30 November 2006 tersebut, dalam salah satu pertimbangan hukumnya MK menyatakan, “Bahwa Pasal 32 ayat (3) dan ayat (4) UU Advokat sesungguhnya merupakan pasal yang sudah selesai dilaksanakan dengan telah berlalunya tenggat dua tahun dan dengan telah terbentuknya PERADI sebagai Organisasi Advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat, sehingga tidak relevan lagi untuk dipersoalkan konstitusionalitasnya.”


Begitu pula terhadap perkara No. 71/PUU-VIII/2010, yang menguji Pasal 28 ayat (1), Pasal 30 ayat (2) dan Pasal 32 ayat (4) UU Advokat dengan batu uji yakni Pasal 28, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 28J ayat (1) UUD 1945. Menurut MK, selain batu uji Pasal 28 UUD 1945, juga telah digunakan dan diputus MK dalam putusan No. 014/PUU-IV/2006 dan No. 66/PUUVIII/2010. ”Sehingga berdasarkan Pasal 60 UU MK seharusnya tidak dapat diajukan permohonan lagi, sebab pada hakikatnya diajukan berdasarkan alasan pokok yang sama,” ujar salah satu Hakim Konstitusi.


Terkait belum disumpahnya kandidat Advokat Kongres Advokat Indonesia (KAI) oleh Pengadilan Tinggi sehingga mengakibatkan tidak diperkenankannya mengikuti acara di pengadilan, menurut MK, hal tersebut tidak berkaitan dengan konstitusionalitas norma yang dimohonkan pengujian. ”Melainkan masalah penerapan dari Pasal 4 ayat (1) UU Advokat yang telah dipertimbangkan dan diputus dalam putusan Mahkamah Nomor 101/PUU-VII/2009, tanggal 30 Desember 2009,” tulis MK. Berdasarkan pertimbangan ini, akhirnya MK memutuskan untuk mengeyampingkan permohonan para Pemohon.


Berkaitan dengan konstitusionalitas frasa “satu-satunya” yang menurut para Pemohon bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1) UUD 1945, MK berpendapat, wadah tunggal Organisasi Advokat, pada intinya, sama sekali tidak menghalangi setiap orang untuk mengembangkan diri memenuhi kebutuhan dasarnya. ”Frasa ’satu-satunya’ juga tidak menyebabkan perlakuan yang bersifat diskriminatif,” tegas MK. ”Menjadi Advokat yang secara sadar dipilih oleh para Pemohon adalah pilihan menurut hati nurani, sehingga secara sadar pula harus terikat dengan ketentuan yang bertalian dengan profesi pilihan tersebut yaitu menjadi anggota dari satu-satunya Organisasi Advokat.” 


Para Pemohon dalam perkara ini terdiri dari para advokat secara perorangan maupun yang mewakili beberapa organisasi advokat yang ada di Indonesia. Untuk perkara 66, diantaranya dimohonkan oleh Frans Hendra Winarta, Maruli Simorangkir, Nursyahbani Katjasungkana, dkk (Peradin). Untuk perkara 71, oleh H.F. Abraham Amos, Togar Efdont Sormin, Harisan Aritonang, dkk. Sedangkan perkara 77, dimohonkan oleh para advokat KAI yang belum disumpah, diantaranya: Husen Pelu, Andrijana,  Abdul Amin Monoarfa, dkk. (Dodi/mh)
 

Jumat, 24 Juni 2011

Akhirnya, Bonaran-Syukran Melenggang Jadi Bupati-Wabup Tapanuli Tengah

 Jakarta, MKOnline – Pasangan Raja Bonaran Situmeang-Sukran Jamilan Tanjung akhirnya menghirup nafas lega, lebur dalam suka-cita kemenangan yang sempat tertunda dalam Pemilukada Kabupaten Tapanuli Tengah (Tapteng), Sumatera Utara. Jalan panjang menembus ilalang menuju kursi empuk Bupati-Wakil Bupati Tapteng, kini berubah menjadi hamparan karpet merah yang sudah menanti di depan mata.
Mahkamah Konstitusi (MK) dalam amar putusan yang dibacakan pada Jum’at (24/6/2011) menyatakan menolak seluruh permohonan yang diajukan pasangan Albiner Sitompul-Steven P.B. Simanungkalit (perkara nomor 31/PHPU.D-IX/2011) dan pasangan Dina Riana Samosir-Hikmal Batubara (perkara nomor 32/PHPU.D-IX/2011). Putusan ini menandai berakhirnya perkara perselisihan hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Tapteng Tahun 2011.
Mahkamah menilai, hasil verifikasi dan klarifikasi KPU Tapteng terhadap Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) yang dinyatakan memenuhi syarat untuk mendukung Albiner-Steven tidaklah benar. Sebab berdasarkan fakta-fakta di persidangan dan pemeriksaan bukti-bukti, ternyata Partai Hanura tidak memberikan dukungan kepada Albiner-Steven, melainkan kepada Bonaran-Sukran.
Setelah menghitung suara dukungan gabungan partai politik (parpol) terhadap pasangan Albiner-Steven, berdasarkan penghitungan KPU Tapteng yaitu sejumlah 19.704 suara, kemudian dikurangi suara dukungan Partai Hanura sejumlah 2.325 suara, menjadi 17.379 suara. Mahkamah menyatakan Albiner-Steven tidak memenuhi syarat dukungan partai politik pendukung/ pengusung untuk menjadi pasangan calon Bupati-Wakil Bupati Tapteng Tahun 2011. Sebab, syarat minimal dukungan parpol/ gabungan parpol, yaitu 19.370 suara.
Mahkamah berpendapat, bakal pasangan Albiner-Steven dan bakal pasangan Muhammad Armand Effendy Pohan-Hotbaen Bonar Gultom tidak memenuhi syarat. Sedangkan bakal pasangan Dina Riana Samosir-Hikmal Batubara dan bakal pasangan Raja Bonaran Situmeang-Sukran Jamilan Tanjung, memenuhi syarat sebagai pasangan calon.
“Pemohon tidak memenuhi syarat menjadi pasangan calon dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2011,” tegas Ketua MK Moh Mahfud MD atas perkara yang dimohonkan bakal pasangan calon Albiner Sitompul-Steven P.B. Simanungkalit.
Sementara itu, atas dalil bakal pasangan Dina-Hikmal yang menyatakan Raja Bonaran Situmeang dapat didiskualifikasi sebagai calon bupati karena berdasarkan Putusan Nomor 13/PID-B/TPK/2010/PN.JKT.PST bertanggal 31 Agustus 2010 pada perkara terdakwa Anggodo Widjoyo melakukan perbuatan “bersama-sama” “dengan maksud untuk mencegah atau merintangi proses penyidikan tersangka Anggodo Widjoyo”, Mahkamah menilai, putusan demikian tidak serta merta membuat Raja Bonaran Situmeang kehilangan haknya menjadi calon bupati. Sebab putusan tersebut ditujukan kepada terdakwa Anggodo Widjoyo. Selain itu, Selama proses pencalonan Pihak Terkait, tidak ada bukti yang menunjukkan Raja Bonaran Situmeang, S.H., M. Hum pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Mahkamah kemudian berpendapat terhadap bukti-bukti dan keterangan saksi lainnya yang menjelaskan kemungkinan terjadinya pelanggaran yang bersifat administratif dan pidana. “Mahkamah menilai, hanyalah merupakan dugaan-dugaan pelanggaran yang sifatnya sporadis semata dan tidak menunjukkan terjadinya pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif, sehingga harus dikesampingkan,” jelas hakim konstitusi.

Putusan ini merupakan akhir dari perkara PHPU Tapteng. Sebelumnya, pada Senin (11/4/2011) lalu, MK menjatuhkan Putusan Sela perkara yang diajukan Albiner-Steven dan Dina-Hikmal. Dalam Putusan Sela, MK memerintahkan kepada KPU Tapteng untuk melakukan verifikasi dan klarifikasi terhadap empat bakal pasangan calon Pemilukada Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2011 yang didukung/diusung partai politik.
Keempat bakal pasangan calon tersebut adalah pasangan Dina Riana Samosir-Hikmal Batubara; pasangan Albiner Sitompul-Steven P.B. Simanungkalit; pasangan Muhammad Armand Effendy Pohan-Hotbaen Bonar Gultom; dan pasangan Raja Bonaran Situmeang-Sukran Jamilan Tanjung. Menurut Mahkamah saat itu, KPU Tapteng terbukti tidak melakukan verifikasi faktual menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Nur Rosihin Ana/mh)

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=5511

Kamis, 16 Juni 2011

PUU LLAJ: Mahkamah Nyatakan Tidak Dapat Diterima

Jakarta, MKOnline - Mahkamah Konstitusi menyatakan tidak dapat menerima permohonan Pemohon dalam perkara No. 43/PUU-VIII/2010. Perkara terkait pengujian Undang-Undang No. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) ini dimohonkan oleh M. Husain Umajohar. Dalam permohonannya, Pemohon menguji Pasal 7, Pasal 96, Pasal 262 ayat (1) huruf f, dan Pasal 263 ayat (3).

“Menimbang bahwa oleh karena Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) maka pokok permohonan tidak perlu dipertimbangkan,” ungkap Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati, dalam sidang pleno pembacaan putusan, Kamis (16/6) di ruang sidang Pleno MK.

Menurut Mahkamah, Pemohon sama sekali tidak menyebutkan adanya pasal dan/atau ayat mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945 yang dianggap dirugikan oleh berlakunya UU LLAJ. “Pemohon sama sekali tidak menjelaskan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi,” lanjut Maria.

Selain itu, Mahkamah berpendapat, berdasarkan ketentuan dalam pasal-pasal yang diajukan pengujian tersebut, ternyata tidak semua yang didalilkan oleh Pemohon adalah berkaitan dengan hak konstitusional yang dijamin dalam UUD 1945. “Karena Pemohon juga mengajukan pengujian pasal-pasal dalam UU LLAJ a quo terhadap Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; Pasal 18 ayat (2) dan Pasal 18 ayat (5) UUD 1945; Pasal 27 ayat (1) UUD 1945; serta fungsi dan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diatur dalam Pasal 30 ayat (4) UUD 1945,” ujar Maria.

Pemohon juga tidak dapat menjelaskan adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang diderita Pemohon dengan berlakunya pasal-pasal dalam UU LLAJ. “Pemohon tidak dapat menjelaskan adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan a quo, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi,” tulis Mahkamah dalam putusan setebal 44 halaman itu. (Dodi/mh)

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=5481

Putusan PHPU Pekanbaru: Permohonan Pasangan Andry Muslim - Marbaga Tampubolon Tak Diterima

Jakarta, MKOnline – Skorsing persidangan perselisihan hasil Pemilukada Kota Pekanbaru, Provinsi Riau, dicabut. Mahkamah Konstitusi (MK) kembali membuka sidang, Kamis (16/6/2011) sore pukul 16.30 WIB. Sidang mengagendakan pengucapan putusan perkara nomor 64/PHPU.D-IX/2011 yang diajukan bakal pasangan calon perseorangan, Andry Muslim-Marbaga Tampubolon.

Berdasarkan eksepsi KPU Pekanbaru dan Pihak Terkait pasangan Firdaus-Ayat Cahyadi yang menyatakan bahwa pasangan Andry Muslim-Marbaga Tampubolon, bukan pasangan calon peserta Pemilukada Kota Pekanbaru Tahun. Mahkamah dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Anwar Usman mengutip bunyi Pasal 1 angka 7 dan Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) 15/2008. Pasal 1 angka 7 dinyatakan: “Pasangan Calon adalah pasangan calon peserta Pemilukada”. Kemudian Pasal 3 ayat (1): “Para pihak yang mempunyai kepentingan langsung dalam perselisihan hasil Pemilukada adalah: a. Pasangan Calon sebagai Pemohon; b. KPU/KIP provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota sebagai Termohon. Pasal 3 ayat (2): Pasangan Calon selain Pemohon dapat menjadi Pihak Terkait dalam perselisihan hasil Pemilukada”.

Terganjal Legal Standing

Berdasarkan ketentuan dalam PMK tersebut, yang dapat menjadi Pemohon dalam perkara perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah “pasangan calon peserta Pemilukada”. Sedangkan pasangan Andry Muslim - Marbaga Tampubolon, adalah bukan pasangan calon peserta Pemilukada Kota Pekanbaru Tahun 2011. Sehingga menurut Mahkamah, pasangan Andry Muslim-Marbaga Tampubolon, tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) selaku Pemohon.

Mahkamah berpendapat eksepsi Termohon dan Pihak Terkait beralasan hukum, sehingga pokok permohonan tidak dipertimbangkan lebih lanjut. Walhasil dalam, dalam amar putusan, Mahkamah menyatakan permohonan pasangan Andry Muslim-Marbaga Tampubolon tidak dapat diterima. “Mengabulkan Eksepsi Termohon dan Pihak Terkait, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua Pleno Hakim Moh. Mahfud MD. (Nur Rosihin Ana/mh)

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=5480

MK Tolak Permohonan Pasangan “Serasi”

Jakarta, MKOnline - Oleh karena dalil-dalil tidak beralasan hukum, Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya memutuskan menolak untuk seluruhnya permohonan yang diajukan Subhan Tambera - Abdul Aziz Baking (Serasi). Demikian amar putusan perkara PHPU Kabupaten Bombana yang dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD dengan didampingi enam hakim konstitusi pada Rabu (15/6).

Dalam pendapat Mahkamah, Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi menjelaskan Pemohon mendalilkan sejumlah pelanggaran yang dilakukan KPU Kabupaten Bombana sebagai Termohon. Pelanggaran tersebut, lanjut Fadlil, di antaranya pemberian surat undangan memilih kepada pemilih  yang tidak terdaftar DPT, membiarkan keterlibatan Pegawai Negeri Sipil (PNS), penambahan perolehan suara untuk Pasangan Calon Nomor Urut 2 sejumlah 628 suara, membiarkan terjadinya pencoblosan surat suara oleh wajib pilih yang tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT), serta intimidasi terhadap semua pegawai harian tidak tetap (PHTT) di lingkungan Pemerintah Kabupaten Bombana. Atas permasalahan hukum tersebut, Mahkamah setelah memperhatikan fakta yang terungkap di persidangan, bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon, Termohon, dan Pihak Terkait, berpendapat bahwa adanya pelanggaran-pelanggaran yang didalilkan oleh Pemohon tidak dijelaskan secara rinci bagaimana pelanggaran tersebut terjadi sehingga mengakibatkan berubahnya perolehan suara yang pada akhirnya secara signifikan mengubah hasil Pemilukada.

“Menurut Mahkamah, pelanggaran-pelanggaran yang didalilkan oleh Pemohon tidak mempunyai relevansi dengan penambahan perolehan suara yang menguntungkan Pihak Terkait. Lagi pula tidak ada bukti yang menunjukkan adanya pelanggaran-pelanggaran tersebut. Jika pun ada, tidak dilakukan oleh Termohon dengan sengaja untuk menguntungkan Pihak Terkait. Dengan demikian, menurut Mahkamah dalil Pemohon a quo tidak terbukti dan tidak beralasan hukum,” urai Fadlil.

Kemudian, lanjut Fadlil, mengenai dalil adanya pengurangan suara,  Mahkamah menjelaskan pelanggaran-pelanggaran yang didalilkan oleh Pemohon tidak mempunyai relevansi dengan pengurangan suara yang merugikan Pemohon. Lagi pula, terang Fadlil,  tidak ada bukti yang menunjukkan adanya pelanggaran-pelanggaran tersebut. “Jika pun ada, tidak dilakukan oleh Termohon dengan sengaja untuk merugikan Pemohon. Dengan demikian, menurut Mahkamah dalil Pemohon  a quo tidak terbukti dan tidak beralasan hukum,” terangnya.

Selain itu, Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva menjelaskan mengenai adanya dugaan pelanggaran administrasi oleh Termohon berupa penundaan Pemilukada yang dilakukan sebanyak 5 kali. Atas permasalahan hukum tersebut, papar Hamdan, Mahkamah setelah memperhatikan fakta di persidangan, bukti-bukti yang diajukan Pemohon dan Termohon berpendapat, bahwa benar telah terjadi penundaan Pemilukada Kabupaten Bombana Putaran Kedua, namun berdasarkan fakta hal tersebut terjadi karena tidak tersedianya anggaran untuk Pemilukada Putaran Kedua, sebab memang tidak dianggarkan untuk Pemilukada Putaran Kedua. “Dengan demikian, menurut Mahkamah penundaan Pemilukada Kabupaten Bombana Putaran Kedua telah dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-udangan yang berlaku. Di samping itu, berdasarkan fakta di persidangan tertundanya Pemilukada Putaran Kedua akibat ketidaktersediaan anggaran dalam APBD, meskipun telah dilakukan APBD Perubahan dan dianggarkan juga dalam APBD Tahun 2011. Oleh karena itu, dalil Pemohon a quo tidak terbukti dan tidak beralasan hukum,” jelasnya.

Mengenai pelanggaran-pelanggaran lainnya, terang Hamdan, Mahkamah berpendapat dalil Pemohon tersebut tidak dibuktikan dengan bukti yang meyakinkan pelanggaran tersebut terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif yang secara signifikan memengaruhi perolehan suara Pemohon sehingga melampaui perolehan suara Pihak Terkait. “Oleh karena itu, menurut Mahkamah, dalil Pemohon tidak terbukti dan tidak beralasan menurut hukum. Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” ujarnya.

Dalam konklusi yang dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD, Mahkamah menyimpulkan eksepsi Termohon dan Pihak Terkait tidak beralasan menurut hukum dan pokok permohonan tidak beralasan dan tidak terbukti menurut hukum. “Menyatakan dalam eksepsi, menolak eksepsi Termohon dan Pihak Terkait untuk seluruhnya. Dalam pokok permohonan, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” tandas Mahfud membacakan amar putusan. (Lulu Anjarsari/mh)

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=5477