Kamis, 28 Juli 2011

Tidak Punya ”Legal Standing”, Uji Materi UU Bea Materai Tidak Dapat Diterima

Pemohon Prinsipal, Hagus Suanto saat mendengarkan pembacaan putusan uji materi Pasal 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai, Kamis (28/7) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK.
Jakarta, MKOnline – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pembacaan putusan uji materi Pasal 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai, Kamis (28/7). Ketua MK Moh. Mahfud MD membacakan langsung amar putusan Mahkamah yang menyatakan permohonan Pemohon Hagus Suanto tidak dapat diterima.

”Amar Putusan. Mengadili. Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” ujar Mahfud membacakan amar putusan Mahkamah yang teregistrasi dengan nomor 23/PUU-IX/2011 ini.

Sebelumnya, Mahfud yang juga membacakan konklusi putusan MK terhadap permohonan uji materi Pasal 6 UU Bea Materai bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan tersebut. Sebab itu, pokok permohonan Pemohon kemudian tidak dipertimbangkan lagi sesuai PMK (Peraturan Mahkamah Konstitusi) yang berlaku.

Di dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan dirinya sebagai warga negara Indonesia  yang juga sebagai nasabah kartu kredit Citibank telah dilanggar hak dan kewenangan konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 6 UU 13 Tahun 1985. Pasal tersebut sendiri berbunyi, “Bea Meterai terhutang oleh pihak yang menerima atau pihak yang mendapat manfaat dari dokumen, kecuali pihak atau pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain”.

Dengan berlakunya pasal tersebut, Pemohon menganggap Citibank mendapatkan dasar hukum untuk memungut pajak bea materai dalam setiap penagihan (billing statement) kartu kredit. Padahal, menurut Pemohon Citibank, selaku bank swasta asing yang berbadan hukum privat, tidak mempunyai kewenangan untuk memungut pajak, karena yang berwenang untuk memungut, menagih, dan membebankan pajak kepada Pemohon dan masyarakat lainnya adalah negara.

Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah dalam pertimbangan hukum yang dibacakan Wakil Ketua MK Achmad Sodiki menganggap ketentuan Pasal  6 UU 13 Tahun 1985 sesungguhnya tidak mengatur mengenai pemberian kewenangan kepada Citibank atau perusahaan lainnya untuk memungut pajak bea materai atas dokumen yang telah diterbitkan. ”Pasal  a quo mengatur mengenai pembebanan bea materai terutang kepada pihak yang mendapat manfaat dari dokumen. Pemungutan pajak bea materai oleh Citibank ataupun perusahaan  lainnya pelaksanaannya didasarkan kepada Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-13/PJ.5/2001 tentang Intensifikasi Bea Materai bertanggal 5 Juni 2001,” papar Sodiki.

Dengan demikian, Mahkamah menganggap tidak berarti pajak tersebut dibayarkan kepada Citibank melainkan dibayarkan kepada negara melalui Citibank yang menerbitkan surat tagihan (billing statement) untuk Pemohon sebagai penerima manfaatnya. ”Menimbang bahwa oleh karena Pemohon tidak memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 51 ayat (1) UU MK,  Mahkamah tidak perlu memeriksa dan  mempertimbangkan lebih lanjut pokok perkara atau substansi permohonan a quo,” tukas Sodiki. (Yusti Nurul Agustin/mh)

Tidak Punya ”Legal Standing”, Uji Materi UU Bea Materai Tidak Dapat Diterima

Pemohon Prinsipal, Hagus Suanto saat mendengarkan pembacaan putusan uji materi Pasal 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai, Kamis (28/7) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK.
Jakarta, MKOnline – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pembacaan putusan uji materi Pasal 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai, Kamis (28/7). Ketua MK Moh. Mahfud MD membacakan langsung amar putusan Mahkamah yang menyatakan permohonan Pemohon Hagus Suanto tidak dapat diterima.

”Amar Putusan. Mengadili. Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” ujar Mahfud membacakan amar putusan Mahkamah yang teregistrasi dengan nomor 23/PUU-IX/2011 ini.

Sebelumnya, Mahfud yang juga membacakan konklusi putusan MK terhadap permohonan uji materi Pasal 6 UU Bea Materai bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan tersebut. Sebab itu, pokok permohonan Pemohon kemudian tidak dipertimbangkan lagi sesuai PMK (Peraturan Mahkamah Konstitusi) yang berlaku.

Di dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan dirinya sebagai warga negara Indonesia  yang juga sebagai nasabah kartu kredit Citibank telah dilanggar hak dan kewenangan konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 6 UU 13 Tahun 1985. Pasal tersebut sendiri berbunyi, “Bea Meterai terhutang oleh pihak yang menerima atau pihak yang mendapat manfaat dari dokumen, kecuali pihak atau pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain”.

Dengan berlakunya pasal tersebut, Pemohon menganggap Citibank mendapatkan dasar hukum untuk memungut pajak bea materai dalam setiap penagihan (billing statement) kartu kredit. Padahal, menurut Pemohon Citibank, selaku bank swasta asing yang berbadan hukum privat, tidak mempunyai kewenangan untuk memungut pajak, karena yang berwenang untuk memungut, menagih, dan membebankan pajak kepada Pemohon dan masyarakat lainnya adalah negara.

Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah dalam pertimbangan hukum yang dibacakan Wakil Ketua MK Achmad Sodiki menganggap ketentuan Pasal  6 UU 13 Tahun 1985 sesungguhnya tidak mengatur mengenai pemberian kewenangan kepada Citibank atau perusahaan lainnya untuk memungut pajak bea materai atas dokumen yang telah diterbitkan. ”Pasal  a quo mengatur mengenai pembebanan bea materai terutang kepada pihak yang mendapat manfaat dari dokumen. Pemungutan pajak bea materai oleh Citibank ataupun perusahaan  lainnya pelaksanaannya didasarkan kepada Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-13/PJ.5/2001 tentang Intensifikasi Bea Materai bertanggal 5 Juni 2001,” papar Sodiki.

Dengan demikian, Mahkamah menganggap tidak berarti pajak tersebut dibayarkan kepada Citibank melainkan dibayarkan kepada negara melalui Citibank yang menerbitkan surat tagihan (billing statement) untuk Pemohon sebagai penerima manfaatnya. ”Menimbang bahwa oleh karena Pemohon tidak memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 51 ayat (1) UU MK,  Mahkamah tidak perlu memeriksa dan  mempertimbangkan lebih lanjut pokok perkara atau substansi permohonan a quo,” tukas Sodiki. (Yusti Nurul Agustin/mh)

Pengujian UU Koperasi: Permohonan Para Pemohon Ditolak


Pemohon Prinsipal Sani Abdullah dan Husien Djunaidi seusai sidang pembacaan Putusan perkara nomor 32/PUU-IX/2011 tentang Pengujian Undang-Undang (UU) No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian [Pasal 20 Ayat (1) huruf a dan Pasal 37], Kamis (28/7), di Ruang Sidang Pleno Gedung MK.
Jakarta, MKOnline - Permohonan Perkara Nomor 32/PUU-IX/2011 tentang Pengujian UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian yang di mohonkan oleh Muhammad Suryani, Sani Abdullah, Husien Djunaidi, dan Badriah ditolak oleh Mahkamah Konsitusi (MK) dalam Sidang Pleno Pengucapan Putusan, Kamis(28/7).
Dalam permohonannya, para Pemohon mengajukan pengujian dua pasal dalam UU 25/1995 tentang Perkoperasian yaitu Pasal 20 ayat (1) huruf a dan Pasal 37. Pasal 20 ayat (1) huruf a menyatakan, ”Setiap anggota mempunyai kewajiban: a. mematuhi Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga serta keputusan yang telah disepakati dalam Rapat Anggota.”
Sementara Pasal 37 menyatakan, ”Persetujuan terhadap laporan tahunan, termasuk pengesahan perhitungan tahunan, merupakan penerimaan pertanggungjawaban Pengurus oleh Rapat Anggota.” Kedua pasal tersebut menurut para Pemohon bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Terhadap dalil para Pemohon mengenai pengujian Pasal 20 ayat (1) huruf a UU 25/1992 yang menurut para Pemohon bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang mengatur persamaan kedudukan segala warga negara di dalam hukum dan pemerintahan dan kewajiban untuk menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya, tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 karena para pengurus adalah juga anggota koperasi yang memiliki kewajiban yang sama dengan anggota yang lain. Mahkamah tidak menemukan adanya relevansi antara Pasal 20 ayat (1) huruf a UU 25/1992 dengan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945, sehingga tidak relevan untuk dipertimbangkan.
Adapun terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal 20 ayat (1) huruf a UU 25/1992 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) 1945, Mahkamah menilai juga tidak ditemukan adanya perbedaan penafsiran yang menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil terhadap Pasal 20 ayat (1) huruf a UU 25/1992 karena baik anggota maupun pengurus sama-sama berkewajiban untuk menaati AD/ART maupun keputusan yang telah disepakati bersama.
Dalam hal pengujian Pasal 37 UU 25/1992 yang menurut para Pemohon bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena seolah-olah memberikan hak istimewa dan kekebalan hukum terhadap pengurus koperasi, Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 37 UU tersebut adalah mengatur tentang mekanisme pertanggungjawaban pengurus kepada seluruh anggota koperasi, yang apabila pertanggungjawaban tersebut diterima oleh rapat anggota membebaskan pengurus dari tanggung jawabnya dari tahun buku yang bersangkutan.
Hal tersebut, menurut Mahkamah,  merupakan konsekuensi logis dari mekanisme pertanggungjawaban yang telah disepakati dan dimuat di dalam AD/ART, karena rapat anggota adalah pemegang kekuasaan tertinggi di dalam koperasi. Apabila ternyata terdapat tindak pidana yang dilakukan oleh pengurus/para pengurus, penerimaan pertanggungjawaban tersebut tidak menyebabkan hapusnya pertangungjawaban pidana pengurus/para pengurus yang bersangkutan. Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon bahwa Pasal 37 UU 25/1992 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tidak beralasan menurut hukum. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, “Mahkamah menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Mahfud MD. (Shohibul Umam/mh)

MK Tolak Permohonan Wakil Ketua DPRD Kupang

Pemohon Prinsipal, Anthon Melkianus Natun yang Wakil Ketua DPRD Kabupaten Kupang dalam sidang pembacaan Putusan Pengujian Undang-Undang (UU) No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD [Pasal 354 ayat (2)]. Dalam Amar Putusannya Mahkamah Konstitusi menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya karena dalil permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum, Kamis (28/7), di Ruang Sidang Pleno Gedung MK.
Jakarta, MKOnline - Permohonan  yang diajukan oleh Wakil Ketua DPRD Kabupaten Kupang Anthon Melkianus Natun dinyatakan ditolak untuk seluruhnya oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Pembacaan putusan dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD dengan didampingi oleh delapan hakim konstitusi pada Kamis (28/7), di Ruang Sidang Pleno MK.
“Menyatakan dalam Provisi,  menolak permohonan provisi Pemohon. Dalam Pokok Permohonan, Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Mahfud membacakan Putusan Nomor 21/PUU-IX/2011 tersebut.

Dalam pokok permohonannya, Pemohon mendalilkan Pasal 354 ayat (2) UU 27/2009 tersebut multitafsir sehingga bertentangan dengan asas kepastian hukum dan asas non-retroactive (larangan berlaku surut) serta tidak memenuhi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi menyatakan bahwa   Pasal 354 ayat (2) UU 27/2009 yang menentukan bahwa Pimpinan DPRD berasal dari partai politik (Parpol) berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPRD kabupaten/kota, menurut Mahkamah maksudnya sudah jelas dan terang, tidak dapat ditafsirkan lain.

“Mahkamah menilai ketentuan tersebut sama sekali tidak melanggar asas kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum bagi pimpinan DPRD yang telah ditetapkan sebagai pimpinan yang kemudian karena terjadi pemekaran sebagai aspirasi dari rakyat yang berdaulat, harus berakhir jabatannya sebagai pimpinan karena urutan perolehan kursi Parpolnya menjadi berkurang. Kepastian hukum dari peraturan tersebut justru terletak pada ketentuan bahwa jikalau urutan perolehan kursi Parpol berubah berhubung dengan pemekaran daerah, atas aspirasi rakyat yang berdaulat, maka komposisi jabatan pimpinan harus juga berubah,” jelas Fadlil.

Menurut Mahkamah, lanjut Fadlil, ketentuan Pasal 354 ayat (2) UU 27/2009 justru sesuai dengan kepastian hukum yang adil, sekaligus perlakuan yang sama di hadapan hukum. Ketentuan a quo, sambung Fadlil menyebutkan bahwa parpol yang sebelum pemekaran daerah urutan perolehan kursinya kurang dari Parpol lainnya tetapi kemudian sebab adanya pemekaran daerah urutan perolehan kursinya menjadi lebih banyak berhak menduduki jabatan pimpinan DPRD. “Sebaliknya Parpol yang urutan perolehan kursinya menjadi berkurang dan tidak lagi menempati urutan perolehan kursi terbanyak harus diberhentikan dari jabatan pimpinan DPRD. Hal tersebut bersesuaian pula dengan ketentuan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 yang memberikan kepada  setiap warga negara kesempatan yang sama dalam pemerintahan,” urainya.

Sementara itu, mengenai dalil Pemohon bahwa Pasal 354 ayat (2) UU 27/2009 bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, khususnya hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. Menurut Mahkamah seperti yang diungkapkan Hakim Konstitusi Muhammad Alim, dalam hal pemberhentian pimpinan DPRD yang sebelumnya urutan perolehan kursi Parpolnya terbanyak karena pemekaran daerah, makna kata-kata “tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut” adalah berlaku mutlak di bidang hukum pidana karena hal itu bertentangan dengan asas legalitas. “Adapun dalam hubungan dengan permohonan Pemohon, pemberhentian dari jabatan, bukan dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, melainkan berdasarkan perubahan urutan perolehan kursi Parpol Pemohon karena adanya perpindahan kursi anggota DPRD Parpol Pemohon sehingga perolehan kursi Parpol Pemohon tidak lagi menempati urutan terbanyak,” ujar Alim.

Alim menambahkan semua anggota DPRD, mewakili para pemilih yang memilih mereka. Jikalau para pemilih yang berdaulat sudah tidak lagi termasuk dalam wilayah daerah induk, melainkan telah termasuk dalam wilayah daerah pemekaran, maka anggota DPRD yang masih tetap di wilayah daerah induk sudah tidak mewakili Pemilih yang sudah termasuk wilayah daerah pemekaran. “Dengan demikian, setiap ada pemekaran daerah dan ada pemindahan kursi DPRD ke daerah pemekaran akan mengubah konfigurasi dukungan pemilih yang berdaulat kepada Parpol tertentu. Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum yang diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat dalil permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” ujar Alim.

Dalam putusan tersebut, terdapat tiga hakim konstitusi yang memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati, Hamdan Zoelva, dan  Anwar Usman. Ketiganya menyatakan seharusnya Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon dengan menyatakan Pasal 354 ayat (2) UU 27/2009 adalah inkonstitusional bersyarat  (conditionally unconstitutional),  yaitu inkonstitusional sepanjang tidak ditafsirkan:  “komposisi pimpinan DPRD tidak berubah walaupun terjadi perubahan komposisi jumlah kursi masing-masing partai politik akibat pengisian anggota DPRD daerah pemekaran dari kabupaten/kota yang terjadi setelah penetapan pimpinan DPRD kabupaten/kota induk berdasarkan hasil pemilihan umum”. Dari berbagai ketentuan, jelas Hamdan, hukum memberi jaminan masa jabatan pimpinan DPRD adalah lima tahun dan tidak ada mekanisme untuk memberhentikannya di tengah masa jabatan kecuali berdasarkan ketentuan Pasal 42 PP 16/2010.  Oleh karena itu, alasan yang digunakan untuk mengganti posisi salah satu pimpinan DPRD Kabupaten Kupang yang dijabat oleh Pemohon dengan alasan jumlah kursi Partai HANURA berkurang setelah pengalihan sebagian anggota ke DPRD Kabupaten Sabu Raijua akibat pengisian anggota DPRD di daerah pemekaran adalah tidak adil bagi Pemohon karena menyalahi ketentuan mengenai alasan-alasan pemberhentian pimpinan DPRD di tengah masa jabatan.

Hamdan mengemukakan tidak ada satupun mekanisme hukum yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk memberhentikan pimpinan DPRD karena perubahan komposisi jumlah kursi akibat pemekaran daerah, sehingga hukum harus memberi jaminan bagi seseorang yang sudah diangkat menjadi pimpinan DPRD untuk masa jabatan lima tahun dan tidak dapat diberhentikan dalam masa jabatannya tanpa alasan yang sudah diatur dengan jelas.  Mekanisme penentuan pimpinan DPRD bukanlah persoalan konstitusional, tetapi persoalan  legal policy dan politik hukum pembentuk Undang-Undang.

“Artinya, apakah pimpinan DPRD ditentukan berdasarkan peringkat perolehan kursi partai politik ataukah peringkat jumlah kursi di DPRD atau pemilihan oleh anggota DPRD hanyalah cara dan pilihan politik semata-mata dan bukan persoalan konstitusi. Oleh karena itu, dalam kasus ini persoalan legal policy tidak boleh mengorbankan hak konstitusional warga negara untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil yang dijamin oleh konstitusi  in casu hak seseorang yang telah diangkat untuk menduduki jabatan pimpinan DPRD selama 5 tahun yang telah dijamin oleh hukum yang telah ada sebelumnya.  Oleh karena itu, untuk mencegah pelanggaran prinsip kepastian hukum yang adil  yang dijamin konstitusi, maka penafsiran Pasal 354 ayat (2) UU 27/2009 tersebut perlu dibatasi dan ditegaskan oleh Mahkamah,” urai Hamdan. (Lulu Anjarsari/mh)
 

Senin, 25 Juli 2011

Permohonan Pengujian KUHAP Tidak Dapat Diterima

Rachmat Jaya selaku pemohon prinsipal dalam sidang putusan perkara nomor 17/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Senin (25/7) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK.
Jakarta, MKOnline - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan para advokat yaitu Muh. Burhanuddin dan Rachmat Jaya selaku pemohon dalam Perkara Nomor 17/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Senin (25/7).  
Dalam perkara tersebut, para Pemohon menguji konstitusionalitas frasa “kecuali terhadap putusan bebas” dari Pasal 244 UU 8/1981, yang selengkapnya menyatakan, “Terdapat putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, Terdakwa atau Penuntut Umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas”. Frasa tersebut menurut para Pemohon bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Terhadap permohonan para Pemohon tersebut, Mahkamah menilai bahwa tidak terdapat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dialami oleh para Pemohon. Dikarenakan syarat-syarat kerugian konstitusional para Pemohon sebagai perseorangan Advokat dalam pengujian konstitusionalitas, Mahkamah telah menjatuhkan putusan dalam permohonan Nomor 10/PUU-VIII/2010 pada tanggal 15 Desember 2010. Dalam putusan tersebut, kualifikasi para Pemohon dan batu uji konstitusionalnya adalah sama, kecuali Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
“Oleh karena itu, Mahkamah perlu mengutip pertimbangan hukum dalam Putusan Nomor 10/PUU-VIII/2010 tanggal 15 Desember 2010,”  Ucap Hamdan Zoelva saat membacakan putusan tersebut.
Menurut mahkamah, ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang didalilkan oleh Pemohon sebagai sumber hak konstitusionalnya, ketentuan tersebut tidak terkait dengan hak-hak konstitusional pemohon sebagai seorang warga negara yang berprofesi sebagai advokat, tetapi terkait dengan prinsip umum dalam penyelenggaraan negara dan prinsip-prinsip dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman.
Sedangkan, terkait dengan Undang-Undang yang membatasi permohonan peninjauan kembali hanya untuk satu kali merugikan hak konstitusionalnya baik sebagai pribadi maupun sebagai advokat, Menurut Mahkamah, benar Pemohon sebagai warga negara yang berprofesi sebagai advokat memiliki hak-hak konstitusional yang diberikan UUD 1945, tetapi Mahkamah tidak menemukan adanya kerugian spesifik maupun aktual dan “Jikapun ada kerugian, tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian,” ucap Hamdan Zoelva.
Lebih lanjut Mahkamah berpendapat bawa dalil-dalil Pemohon dalam permohonan ini, lebih mempersoalkan kerugian konstitusionalnya dalam menjalankan profesi advokat dari pada sebagai pribadi yang langsung dirugikan oleh berlakunya norma Undang-Undang tersebut. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, tidak ada kerugian konstitusional Pemohon dengan berlakunya Undang-Undang tersebut.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, mahkamah memutuskan bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan dalam perkara tersebut. “Oleh sebab itu, pokok permohonan tidak dipertimbangkan, dan menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,”ucap Ketua Sidang Pleno Moh. Mahfud MD. (Shohibul umam/mh)

Permohonan Kabur, Uji Materi KUH Perdata dan UU Kekuasaan Kehakiman Tidak Diterima


Pemohon Prinsipal Tjahjadi Nugroho dan Aryanto Nugroho, Komisaris dan Direktur Utama PT. Tlaga Reksa Jaya, Semarang, Jawa Tengah, saat sidang pembacaan Putusan Pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Pasal 616, 617, 618, 619, 620, dan 1918) dan Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Pasal 1, 23, 28, dan 33). Dalam Amar Putusannya Mahkamah Konstitusi (MK) tidak menerima permohonan keduanya, Senin (25/7) di Ruang sidang Pleno Gedung MK.
Jakarta, MKOnline – Tjahjadi Nugroho dan Aryanto Nugroho, masing-masing sebagai Komisaris dan Direktur Utama PT. Tlaga Reksa Jaya, Semarang, Jawa Tengah, harus berlapang dada, setelah Mahkamah Konstitusi (MK) tidak menerima permohonan keduanya dalam sidang pengucapan putusan pada Senin (25/7/2011).

“Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua Pleno Hakim MK, Moh. Mahfud MD saat membacakan amar putusan perkara 4/PUU-IX/2011 mengenai Uji Materi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata  (KUH Perdata) dan UU 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Permasalahan hukum yang diajukan oleh Pemohon adalah mengenai pengujian materiil terhadap materi muatan Pasal 616, Pasal 617, Pasal 618, Pasal 619, Pasal 620, dan Pasal 1918 KUH Perdata; Pasal 19 Peraturan Pemerintah (PP) 10/1961 tentang Pendaftaran Tanah; Pasal 1 Peraturan Menteri Agraria 14/1961 tentang Permintaan dan Pemberian Izin Pemindahan Hak atas Tanah; Pasal 23 dan Pasal 37 ayat (1) PP 24/1997; Pasal 1, Pasal 23, Pasal 28, dan Pasal 33 UU 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, terhadap UUD 1945.

Mahkamah dalam pendapatnya yang dibacakan Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati menyatakan, Pemohon mendalilkan diri sebagai badan hukum publik dan badan hukum privat sekaligus. “Namun Mahkamah berpendapat bahwa para Pemohon hanya memenuhi kualifikasi sebagai badan hukum privat, sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) huruf c UU MK,” kata Maria.

Permohonan Kabur
 
Menurut Mahkamah, meskipun Pemohon memenuhi kualifikasi sebagai badan hukum privat dalam pengujian UU terhadap UUD 1945, namun Pemohon tidak menjelaskan kerugian yang dialaminya. Padahal Mahkamah dalam sidang pendahuluan tanggal 17 Januari 2011 telah melakukan pemeriksaan permohonan dan memberikan nasihat-nasihat supaya Pemohon memperbaiki dan melengkapi permohonan paling lama 14 hari. Namun, Pemohon tidak memperbaiki permohonan, sedangkan tenggang waktu perbaikan telah terlampaui.

Oleh karena itu, Mahkamah memeriksa permohonan Pemohon yang telah diregistrasi tersebut tanpa perubahan. Mahkamah menilai substansi permohonan kabur. “Terhadap substansi permohonan Pemohon, Mahkamah menilai materi permohonan Pemohon kabur (obscuur libel),” lanjut Maria.

Mahkamah menyatakan tidak perlu lagi memeriksa dan mempertimbangkan pokok permohonan karena substansi permohonan Pemohon kabur dan tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud oleh Pasal 51 ayat (1) dan ayat (2) UU MK. Dengan demikian, menurut Mahkamah, Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing). (Nur Rosihin Ana/mh)

Kamis, 21 Juli 2011

Hasil Pemungutan Suara Ulang Pemilukada Tebo Ditetapkan, Pasangan Suka-Hamdi Melenggang


Pemohon Prinsipal Pasangan Sukandar-Hamdi (Suka-Hamdi) sujud syukur setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutus perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi, Kamis (21/7) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK.
Jakarta, MKOnline – Pasangan Sukandar-Hamdi (Suka-Hamdi) akhirnya berhasil melenggang ke kursi Bupati-Wakil Bupati Tebo, Provinsi Jambi, setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutus perkara  Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada Tebo). MK dalam amar putusan perkara Nomor 33/PHPU.D-IX/2011 yang dibacakan pada Kamis (21/7/2011) menetapkan hasil perolehan suara dari masing-masing pasangan calon dalam pemungutan suara ulang (PSU) Pemilukada Tebo Tahun 2011. Mahkamah juga memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kab. Tebo untuk melaksanakan putusan ini.

Berdasarkan berita acara rekapitulasi hasil penghitungan suara yang ditetapkan KPU Tebo tanggal 10 Juni 2011, hasil perolehan suara masing-masing calon dalam PSU yaitu: pasangan calon nomor urut 1, Sukandar-Hamdi meraih 78.754 suara. Pasangan calon nomor urut 2, Ridham Priskap-Eko Putro memperoleh 5.836. Sedangkan pasangan calon nomor urut 3, Yopi Muthalib-Sri Sapto Eddy (Yopi-Sapto) mendapatkan 72.656 suara.

Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah menyatakan berdasarkan putusan MK Nomor 33/PHPU.D-IX/2011 bertanggal 13 April 2011, KPU Tebo telah melaksanakan PSU di seluruh TPS se-Kabupaten Tebo pada 5 Juni 2011. KPU Tebo juga telah melaksanakan rekapitulasi terhadap perolehan suara dan menetapkan hasil PSU tanggal 10 Juni 2011. Kemudian melaporkan hasil PSU tersebut kepada Mahkamah tanggal 14 Juni 2011.

Terhadap hasil PSU tersebut, Panitia Pengawas Pemilukada (Panwaslukada) Tebo telah menyampaikan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada 27 Juni 2011. Panwaslukada Tebo juga telah memberikan keterangan secara lisan dalam persidangan Mahkamah pada 30 Juni 2011 dan keterangan tambahan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada 7 Juli 2011.

Hasil pemeriksaan saksi dan bukti-bukti di persidangan, Mahkamah menemukan adanya praktik politik uang (money politic). Akan tetapi, bukti-bukti yang diajukan tidak mengarah pada pelanggaran secara terstruktur, sistematis, dan masif. Dengan demikian, dalil-dalil keberatan pasangan Yopi-Sapto tidak terbukti dan tidak beralasan hukum. Sehingga menurut Mahkamah, tidak relevan mempertimbangkan lebih lanjut keberatan permohonan Yopi-Sapto terhadap hasil PSU yang dilaksanakan oleh KPU Tebo berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PHPU.D-IX/2011 tanggal 13 April 2011. (Nur Rosihin Ana/mh)
Sumber:

Kamis, 07 Juli 2011

PHPU Kepala Daerah Kab. Flores Timur: MK Tolak Seluruh Permohonan Pemohon

Jakarta, MKOnline - Mahkamah Konstitusi menyatakan menolak dua permohonan dalam perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU Kepala Daerah Kabupaten Flores Timur (Flotim) 2011, Kamis (7/7) di Ruang Sidang Pleno MK. ”Pokok Permohonan Pemohon tidak beralasan hukum,” ungkap Ketua MK Moh. Mahfud MD.

Permohonan tersebut dimohonkan oleh Pasangan Calon Nomor Urut 6, Simon Hayon-Fransiskus Diaz Alffi (perkara No. 72/PHPU.D-IX/2011) dan Pasangan Calon Nomor Urut 1, Felix Fernandez-M.Ismail Arkiang (perkara nomor 73/PHPU.D-IX/2011).

Dalam permohonannya, para Pemohon mengungkapkan berbagai kecurangan dan pelanggaran yang telah dilakukan oleh Pihak Terkait, Pasangan Calon Nomor Urut 2, Yoseph Lagadoni Herin-Valentinus Tukan. Diantaranya adalah keterlibatan pegawai negeri sipil, khususnya Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Frans Lebu Raya, dan pengerahan sekelompok mahasiswa untuk mendukung Pihak Terkait, serta politik uang.

Terhadap dalil adanya Forum Mahasiswa Untuk Sonata (slogan Pihak Terkait) yang beranggotakan mahasiswa dari Kabupaten Flores Timur dengan melibatkan para PNS yang bertujuan untuk memenangkan Pihak Terkait, menurut Mahkamah, tidak terbukti secara hukum.

Mahkamah berpendapat, memang benar adanya Forum Mahasiswa asal Flores Timur tersebut, namun Forum mahasiswa itu hanyalah sebuah forum perkumpulan mahasiswa yang membicarakan masalah perkembangan pembangunan daerah asal para mahasiswa tersebut yang meminta dukungan dari Gubernur NTT. ”Dan bukan untuk membicarakan masalah Pilkada dengan tujuan memenangkan salah satu pasangan calon tertentu. Kalaupun forum mahasiswa tersebut menyatakan dukungannya pada salah satu pasangan calon Pemilukada Kabupaten Flores Timur, hal itu bukanlah merupakan pelanggaran Pemilukada,” ujar Mahkamah.

Selain itu, Mahkamah berpandangan, Pemohon tidak dapat membuktikan dalilnya mengenai adanya pelanggaran politik uang yang telah dilakukan oleh Pihak Terkait. ”Jika pelanggaran yang dikemukakan Pemohon terbukti adanya, quod non, menurut Mahkamah pelanggaran tersebut tidak bersifat terstruktur, sistematis dan masif,” ujar Mahkamah. ”Dengan demikian, dalil Pemohon tidak terbukti dan tidak beralasan hukum.”

Mahkamah pun berkesimpulan, pelanggaran-pelanggaran yang didalilkan oleh Pemohon jikapun ada, tidak terbukti bersifat masif, sistematis, dan terstruktur, yang signifikan dapat memengaruhi hasil Pemilukada yang menentukan keterpilihan pasangan calon. ”Sehingga permohonan Pemohon tidak terbukti secara hukum,” tegas Mahkamah. (Dodi/mh)

Selasa, 05 Juli 2011

Putusan Uji UU Parpol: Tidak Miliki Kedudukan Hukum, Permohonan PKNU Tidak Diterima

Jakarta, MKOnline – Permohonan Choirul Anam dan Tohadi dari PKNU (Partai Kebangkitan Nasional Ulama) yang merasa dirugikan karena terancam tidak bisa mengikuti Pemilu 2014 tidak dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (4/7). Pemohon dianggap tidak memiliki kedudukan hukum.

Pemohon Perkara Nomor 18/PUU-IX/201, Choirul Anam dan Tohadi, mengajukan permohonan untuk pengujian Pasal 51 ayat (1), Pasal 2 Ayat (1) dan Ayat (1a), Pasal 3 Ayat (2) huruf c dan huruf d, Pasal 4, Pasal 47 ayat (1) Pasal 51 Ayat (1a), Ayat (1b), ayat (1c) dan Ayat (2) UU No.2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dengan UUD 1945.

Pemohon menganggap pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”

Berlakunya pasal-pasal yang dimohonkan dalih Pemohon sangat berpotensi menyebabkan PKNU tidak mendapatkan jaminan kesamaan dan kesempatan dalam hukum dan pemerintahan serta perlindungan terhadap perlakuan diskriminatif. Pasalnya, sesuai Pasal 8 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 8 ayat (2) UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, PKNU tetap memiliki badan hukum yang sah dan sudah dapat menjadi peserta Pemilu berikutnya tanpa ada kewajiban melakukan verifikasi sebagai badan hukum.

Terhadap permohonan Pemohon tersebut, Mahkamah dalam pertimbangan hukum yang dibacakan Hakim Konstitusi Harjono, menimbang Pemohon tidak memenuhi syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat.

Kelima syarat itu, yaitu a) adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945, b) hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohon pengujiannya, c) kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, d) adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, e) adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalikan tidak akan atau tidak lagi terjadi.

”Menimbang bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas Pemohon tidak lagi dirugikan hak konstitusionalnya sejak ada Putusan Mahkamah Nomor 15/PUU-IX/2011, bertanggal 4 Juli 2011, atau tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing) dan oleh karenanya permohonan tidak dapat diterima,” ujar Harjono membacakan pertimbangan hukum Mahkamah.

Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan dalam pertimbangan hukum tersebut, Ketua MK, Moh. Mahfud MD kemudian membacakan konklusi putusan Mahkamah. Dalam konkulusi yang dibacakan Mahfud, Pemohon dinyatakan tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan tersebut. Sebab itu, pokok permohonan tidak dipertimbangkan.

“Amar Putusan. Mengadili. Menyatakan, permohonan Pemohon tidak dapat diterima. Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi,” tutup Mahfud. (Yusti Nurul Agustin/mh)

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=5548

Senin, 04 Juli 2011

MK Nyatakan Frasa ”Kewajiban Mengikuti Verifikasi” UU Parpol Inkonstitusional

Jakarta, MKOnline - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan Pemohon dalam perkara Nomor 15/PUU-IX/2011. Mahkamah menyatakan Pasal 51 ayat (1), Pasal 51 ayat (1a) sepanjang frasa ”Verifikasi Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”, Pasal 51 ayat (1b), dan Pasal 51 ayat (1c) Undang-Undang No. 2/2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Demikian dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi dalam sidang pembacaan putusan, Senin (4/7), di Ruang Sidang Pleno MK. “Permohonan para Pemohon beralasan hukum,” tegas Ketua MK, Moh Mahfud MD, saat membacakan konklusi putusan.
MK berpendapat bahwa pengaturan status badan hukum partai politik, baik oleh UU 2/2008 tentang Partai Politik maupun UU 10/2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, telah tepat dan benar. “Oleh karena partai politik masih tetap diakui berstatus badan hukum maka status badan hukum tersebut haruslah tetap mendapat perlindungan konstitusional oleh Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945,” ungkap Hakim Konstitusi Muhammad Alim.
Dalam hal ini MK sependapat dengan para Pemohon bahwa adanya frasa ”tetap diakui keberadaannya dengan kewajiban melakukan penyesuaian terhadap undang-undang ini dengan mengikuti verifikasi” yang terdapat dalam Pasal 51 ayat (1) UU 2/2011 adalah tidak jelas maksudnya. Frasa ”kewajiban mengikuti verifikasi”, menurut MK, mempunyai akibat hukum terhadap eksistensi para Pemohon sebagai partai politik yang berbadan hukum, yaitu apakah hasil verifikasi dapat secara langsung memengaruhi eksistensi partai politik dalam hal ini para Pemohon. Artinya, sebagai partai politik para Pemohon akan kehilangan status badan hukumnya karena tidak lolos verifikasi.
Mahkamah berpendapat, hal tersebut akan melanggar kepastian hukum terhadap para Pemohon yang oleh Undang-Undang sebelumnya telah dijamin keberadaannya sebagai partai politik yang berbadan hukum. “Pembuat Undang-Undang seharusnya membedakan antara tata cara pembentukan atau pendirian partai politik dengan aturan tentang syarat-syarat yang dibebankan kepada partai politik agar sebuah partai politik dapat mengikuti pemilihan umum, serta ketentuan yang mengatur tentang kelembagaan DPR,” ujar Alim.
Manurut MK, partai politik dalam sistem UUD 1945 mempunyai fungsi yang sangat penting karena UUD 1945 secara eksplisit memberikan hak konstitusional kepada partai politik, terutama dalam Pasal 6A ayat (2), Pasal 8 ayat (3), dan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945. Oleh karena itu, partai politik harus mendapatkan kepastian hukum untuk menjamin hak konstitusionalnya termasuk para Pemohon sebagai partai politik yang telah mempunyai kedudukan sebagai badan hukum.
“Terjaminnya kelangsungan eksistensi partai politik yang berbadan hukum yang gagal menempatkan wakilnya dalam lembaga perwakilan dalam suatu masa pemilihan umum, akan terhindar pula adanya musim pendirian partai politik pada setiap menjelang pelaksanaan Pemilu,” tulis MK dalam putusan setebal 53 halaman.
Pemohon dalam perkara ini terdiri dari 14 partai politik. Diantaranya adalah Partai Persatuan Daerah (PPD), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI), Partai Patriot, Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia (PNBK Indonesia), Partai Pelopor, dll. (Dodi/mh)


Minggu, 03 Juli 2011

MK tolak Permohonan Empat Pasangan Calon Walikota-Wakil Walikota Ambon

Jakarta, MKOnline - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak untuk seluruhnya permohonan yang diajukan oleh empat pasangan calon dalam Pemilukada Kota Ambon. Amar putusan Nomor 68/PHPU.D-IX/2011 tersebut dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD dengan didampingi oleh delapan hakim konstitusi pada Selasa (27/6). Para pemohon , di antaranya Daniel Palapia-La Suriadi, Ferry Watimurry-Hi. Awath Ternate, Hesina J. Huliselan- Machfud Walilulu, serta Paulus Kastanya-Hansidi.

“Dalam Eksepsi, menolak eksepsi Pihak Terkait. Dalam Pokok Permohonan, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Mahfud di Ruang Sidang Pleno MK.

Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi, Pemohon mendalilkan adanya berbagai pelanggaran dan kecurangan yang dilakukan oleh Pihak Terkait dan terjadi pembiaran oleh Termohon. Pelanggaran tersebut di antaranya, jelas Fadlil, berupa mobilisasi massa, pembagian undangan kepada yang tidak berhak, serta pemilihan yang dilakukan anak di bawah umur dan orang yang tidak berhak, serta pencoblosan ganda. Fadlil menjelaskan, Mahkamah menilai dalil-dalil Pemohon a quo tidaklah dapat menunjukkan adanya signifikansi atas perolehan suara masing-masing pasangan calon dan tidak terbukti.

“Umumnya dalil-dalil a quo secara faktual bermuara pada pemilihan dan proses penghitungan suara, dengan isu, apakah ada pemilihan oleh orang yang tidak berhak memilih. Pada kenyataannya bukti-bukti yang ditunjukkan Pemohon dalam bentuk rekapitulasi di tingkat TPS, juga tidak memuat adanya keberatan terhadap rekapitulasi tersebut, padahal para saksi pasangan calon tertera menandatangani rekapitulasi suara. Terlepas dari itu, menurut Mahkamah, pembuktian faktual oleh Pemohon mengenai adanya pemilih ganda atau pemilih yang tidak berhak mencoblos sebagai muara dalil-dalilnya yang lain tidaklah terbukti,” ujar Fadlil.

Mengenai dalil adanya politik uang (money politic), Fadlil memaparkan Mahkamah menilai Pemohon tidak cukup memberikan bukti yang dapat meyakinkan Mahkamah. “Sehingga dalil Pemohon a quo tidak terbukti menurut hukum. Selain itu, seandainya pun benar, quod non, dalil Pemohon a quo, kejadian yang ditunjukkan hanya merupakan kejadian yang sifatnya sporadis belaka,” katanya.

Selain itu, Pemohon mendalilkan terdapat pelanggaran dan kecurangan yang dilakukan oleh Termohon selaku penyelenggara pada saat pemungutan suara dan penghitungan suara berupa pelanggaran pada saat penghitungan suara dan terjadi perbedaan hasil rekapitulasi penghitungan suara berdasarkan Formulir DA-KWK.KPU dengan hasil rekapitulasi penghitungan suara berdasarkan Formulir DB-KWK.KPU yang dilakukan Termohon. Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar, Mahkamah menilai keberatan-keberatan sebagaimana didalilkan Pemohon didasari pernyataan keberatan dalam Model DA-KWK.KPU telah nyata dan faktual ditindaklanjuti oleh Termohon berdasarkan rekomendasi Panwascam dan Panwaslukada Kota Ambon. “Dengan demikian, bantahan Termohon beralasan hukum dan dalil Pemohon a quo tidak terbukti,” paparnya.

Akil menuturkan Pemohon mendalilkan adanya petugas KPPS yang mengusir saksi pasangan calon, saksi Pemohon tidak diberikan berita acara penghitungan suara di tingkat TPS, dan banyak pelanggaran Pihak Terkait tidak ditindaklanjuti oleh Panwaslukada Mahkamah menilai, bantahan Termohon beralasan hukum dan dalil Pemohon a quo tidak terbukti. “Selain itu, dalil Pemohon a quo tidak pula terbukti memiliki signifikansi perolehan suara masing-masing pasangan calon untuk dapat mengubah kedudukan pasangan calon, mengingat selisih terdekat Pihak Terkait dan Pemohon sejumlah 31.093, sehingga dalil a quo harus dikesampingkan,” tuturnya.

Sementara itu, mengenai dalil adanya pelanggaran yang dilakukan Termohon dalam penetapan DPT, Wakil Ketua MK Achmad Sodiki, terdapat pemilih ganda pada DPT, pemilih menggunakan identitas pemilih yang sudah meninggal, terdapat nama pemilih yang tanggal dan bulan lahirnya sama, banyak pemilih ganda yang terdaftar dalam DPT melakukan pencoblosan. Mahkamah menilai, sambung Sodiki, permasalahan dalam DPT merupakan permasalahan yang tidak dapat semata-mata ditimpakan kepada KPU karena terkait dengan administrasi kependudukan. Dalam kasus a quo, Sodiki menjelaskan Mahkamah berpendapat Termohon telah berusaha untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dengan itikad baik. Selain itu, apabila ada pemilih yang tidak dapat menggunakan haknya karena permasalahan tersebut, maka tidak dapat dipastikan pemilih tersebut akan memilih pasangan calon yang mana. Sehubungan dengan kecurigaan adanya penyalahgunaan atas permasalahan DPT tersebut berupa pemilihan oleh orang yang tidak berhak memilih. “Dengan demikian, dalil Pemohon a quo harus dikesampingkan. Terhadap bukti-bukti dan keterangan saksi lainnya yang menjelaskan kemungkinan terjadinya pelanggaran yang bersifat administratif dan pidana, Mahkamah menilai, hal demikian hanyalah dugaan-dugaan pelanggaran yang sifatnya sporadis semata dan tidak menunjukkan terjadinya pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif, sehingga harus dinyatakan dalil tersebut tidak terbukti menurut hukum,” tandasnya. (Lulu Anjarsari/mh)

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=5531