Kamis, 24 November 2011

Calon Perseorangan Tidak Bertentangan dengan UUD 1945 dan MoU Helsinki

Sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Aceh yang diajukan oleh Ir. H.T.A. Khalid, M.M. (bakal calon Gubernur Aceh) dan Fadhlullah (bakal calon Bupati Pidie) memasuki tahap pengucapan putusan di Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (24/11/2011) sore. Dalam amar putusan perkara Nomor 108/PHPU.D-IX/2011, Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan. “Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian,” kata Pleno Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD, didampingi Anggota Panel Achmad Sodiki, Harjono, Muhammad Alim, M. Akil Mochtar, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, dan Hamdan Zoelva.

Putusan ini Menguatkan Putusan Sela Mahkamah Konstitusi Nomor 108/PHPU.D-IX/2011 bertanggal 2 November 2011. Mahkamah dalam amar putusan juga memerintahkan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh dan KIP Pemilihan Kab./Kota melanjutkan pelaksanaan tahapan, program, dan jadwal penyelenggaraan pemilihan umum Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota dalam daerah Provinsi Aceh.

Selain itu, putusan Mahkamah juga menyatakan calon perseorangan dalam Pemilukada Aceh tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak melanggar butir 1.2.2 Memorandum of Understanding between the Government of the Republic of Indonesia and the Free Aceh Movement (Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka). Kemudian Mahkamah menyatakan berwenang mengadili sengketa hasil Pemilukada di Provinsi Aceh. Terakhir, menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.

Pangkal persoalan yang melatarbelakangi sengketa Pemilukada Aceh ini menyangkut tiga hal yaitu mengenai calon perseorangan; kedudukan KIP Aceh dan Qanun; dan terakhir mengenai penyelesaian sengketa Pemilukada. Mengenai calon perseorangan, Pasal 256 UU 11/2006 dan Pasal 33 Qanun Nomor 7 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua Atas Qanun Nomor 2 Tahun 2004 tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Qanun 7/2006) menyatakan perseorangan dapat mengajukan diri atau mencalonkan diri sebagai pasangan bakal calon kepala daerah di Aceh. Sementara itu, menurut Pasal 59 UU 32/2004, pasangan calon kepala daerah hanya dapat diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik.

Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 5/PUU-V/2007 bertanggal 23 Juli 2007, menegaskan calon perseorangan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Putusan tersebut didasarkan, antara lain, pada pertimbangan praktik di Aceh yang memperbolehkan calon perseorangan, sehingga Pasal 56 ayat (2) UU 32/2004 dan pasal serta ayat terkait, yang membatasi bahwa calon kepala daerah hanya dapat diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik, adalah bertentangan dengan UUD 1945.

Berdasarkan putusan tersebut tampak tegas diperbolehkannya perseorangan menjadi calon dalam Pemilukada untuk daerah lain di Indonesia, yang justru belajar dari masyarakat Aceh yang bertujuan, antara lain, untuk meningkatkan nilai demokrasi dalam pemilihan kepala daerah. Selanjutnya sebagai implementasi dari putusan tersebut, pada tahun 2008 diundangkan UU 12/2008 yang antara lain memuat materi mengenai calon perseorangan.

Meskipun UU 11/2006 maupun Qanun 7/2006 membatasi calon perseorangan hanya untuk Pemilukada tahun 2006 saja, hal ini tidak berarti bahwa rakyat Aceh hanya berhak satu kali saja untuk mengusung calon perseorangan dalam Pemilukada. Dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-VIII/2010 bertanggal 30 Desember 2010, calon perseorangan yang semula diperbolehkan hanya satu kali saja, yaitu pada Pemilukada tahun 2006, menjadi diberlakukan untuk pemilihan-pemilihan kepala daerah setelahnya.

Memperkuat MoU Helsinki

Mahkamah berpendapat putusan tersebut tidak bertentangan dengan kehendak masyarakat Aceh sebagaimana telah dituangkan dalam Memorandum of Understanding between the Government of the Republic of Indonesia and the Free Aceh Movement (Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka) yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005 (MoU Helsinki). Mou Helsinki justru memperkuat kehendak masyarakat Aceh, karena MoU Helsinki menyatakan bahwa, ”The parties commit themselves to creating conditions within which the government of the Acehnese people can manifested through a fair and democratic process within the unitary state and constitution of the Republic of Indonesia (Para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia)”.

Dengan demikian menurut Mahkamah, tidak benar pendapat yang menyatakan bahwa MoU Helsinki bagi calon perseorangan untuk semua Pemilukada di Aceh hanya berlaku satu kali. Sebab dari dua butir kesepahaman MoU Helsinki tampak jelas bahwa calon perseorangan diperbolehkan. Hak rakyat Aceh untuk memilih calon perseorangan diberikan untuk pemilihan bulan April 2006 dan setelahnya (thereafter), tidak hanya untuk satu kali saja.

Berpedoman Qanun

Mengenai KIP Aceh, kedudukan KIP Aceh dan KIP Kabupaten/Kota sama dengan penyelenggara Pemilu di daerah lainnya di Indonesia, yaitu mempunyai sifat tetap, memiliki hubungan hierarkis dengan penyelenggara pemilihan umum nasional (KPU), serta dalam melaksanakan tugasnya bersifat mandiri, independen, non partisan, dan bebas dari pengaruh kekuasaan apapun. Perbedaannya terletak pada penyebutan dan adanya pengaturan dalam Qanun. Sehingga tata cara pelaksanaan tahapan Pemilukada di Aceh berpedoman pada Qanun.

Kendati demikian, Qanun tersebut harus berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku atau putusan pengadilan. Logika hukumnya, Qanun hanya mengatur materi yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, atau mengatur lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang berlaku.  

Rabu, 02 November 2011

Ne Bis In Idem, Uji UU Kesehatan Tidak Diterima

Peringatan bahaya rokok dalam UU Kesehatan yang diujikan di Mahkamah Konstitusi (MK), memasuki tahap pengucapan putusan. Mahkamah dalam amar putusan yang dibacakan pada Selasa, (2/11/2011) malam, menyatakan permohonan tidak tidak dapat diterima. 

Sidang pengucapan putusan untuk perkara 43/PUU-IX/2011 ini diajukan oleh Dr. Widyastuti Soerojo, M.Sc., Dr. Muherman Harun dan Ikatan Senat Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Indonesia (ISMKMI). Widyastuti dan Muherman masing-masing berprofesi sebagai dokter yang mempunyai kewajiban untuk mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 9 dan Pasal 12 UU 36/2009. Sementara ISMKMI, dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangganya berkomitmen membela kepentingan publik dalam hal ini bidang kesehatan.

Mahkamah berpendapat, Pasal 114 UU 36/2009 tentang Kesehatan yang diujikan para Pemohon, telah diputus Mahkamah dalam putusan Nomor 34/PUU-VIII/2010, beberapa saat sebelum putusan Nomor 43/PUU-VIII/2010 dibacakan. Sementara menurut Pasal 60 UU MK, Pasal 42 Peraturan MK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian UU menyatakan, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU yang telah diuji, kecuali dengan alasan lain atau berbeda, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.

Pada hakikatnya, menurut Mahkamah,  permohonan dan alasan-alasan dalam permohonan Nomor 34/PUU-VIII/2010 adalah sama dengan permohonan Nomor 43/PUU-VIII/2010 yang diajukan Widyastuti, Muherman dan ISMKMI, di mana dalam pertimbangannya antara lain menyatakan, bahwa kata ”dapat” dalam Penjelasan Pasal 114 UU 36/2009 yang dihubungkan dengan pengertian ”wajib mencantumkan peringatan kesehatan”, mengandung dua pengertian yang berbeda sekaligus yaitu kumulatif dan alternatif. Padahal, penjelasan dari suatu pasal diperlukan justru untuk menjelaskan dengan rumusan yang tegas supaya dapat memaknai kata ”wajib mencantumkan peringatan kesehatan” dalam ketentuan Pasal 114 tersebut menjadi lebih jelas dan tegas, sehingga tidak menimbulkan penafsiran lain.

Oleh karena itu, pertimbangan-pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 34/PUU-VIII/2010, sepanjang mengenai pasal yang telah diuji dengan batu uji yang sama mutatis mutandis menjadi pertimbangan pula dalam putusan perkara ini. Selanjutnya, berdasarkan pertimbangan tersebut, uji konstitusionalitas pasal yang dimohonkan Widyastuti Soerojo, Muherman Harun dan ISMKMI dinyatakan ne bis in idem.