Rabu, 18 Januari 2012

MK Perintahkan KPU Jayapura Lakukan Verifikasi Ulang

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Jayapura harus melakukan verifikasi administrasi, dan verifikasi faktual berkas dukungan partai politik atau gabungan partai politik terhadap pencalonan pasangan Marthen Ohee-Franklin Orlof Damena dan pasangan Fredrik Sokoy-La Achmadi serta tujuh pasangan calon peserta Pemilukada Kabupaten Jayapura Tahun 2011.
Demikian perintah Putusan Sela MK dalam perkara sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Kabupaten Jayapura, yang dibacakan pada Rabu, (18/1/2012) sore bertempat di ruang sidang pleno gedung MK.
Mahkamah dalam amar putusan perkara nomor 127/PHPU.D-IX/2011) dan nomor 131/PHPU.D-IX/2011) juga memerintahkan KPU Provinsi Papua, Panwaslu Kab. Jayapura, dan Bawaslu untuk mengawasi verifikasi tersebut. Terakhir, melaporkan hasil verifikasi tersebut kepada MK dalam waktu 45 hari setelah putusan ini diucapkan.
“Memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum Provinsi Papua dan Panitia Pengawas Pemilihan Umum Kabupaten Jayapura, serta Badan Pengawas Pemilihan Umum untuk mengawasi verifikasi administrasi dan verifikasi faktual tersebut sesuai kewenangan masing-masing,” kata Ketua Pleno Hakim Konstitusi Achmad Sodiki.

Tunda Putusan
Pemilukada Kab. Jayapura Tahun 2011 yang dilaksanakan pada 13 Desember 2011 lalu, bukan hanya disengketakan oleh kedua bakal pasangan calon tersebut di atas, tetapi juga disengketakan oleh pasangan Eliab Ongge-Najib Mury dan pasangan Yohannis Manangsang-Rehabeam Kalem (perkara nomor 128/PHPU.D-IX/2011), pasangan Mozes Kallem-H. Bustomi Eka Prayitno (perkara nomor 129/PHPU.D-IX/2011), pasangan Zadrak Wamebu-Chris Kores Tokoro (perkara nomor 130/PHPU.D-IX/2011), dan terakhir pasangan Franzalbert Joku-Djijoto (perkara nomor 132/PHPU.D-IX/2011).
Mahkamah dalam amar putusan menyatakan menunda penjatuhan putusan empat perkara tersebut yang dibacakan secara berurutan, yaitu perkara nomor 128/PHPU.D-IX/2011, 129/PHPU.D-IX/2011, 130/PHPU.D-IX/2011), dan 132/PHPU.D-IX/2011. Putusan ditunda hingga dilaksanakannya Putusan Sela Mahkamah Konstitusi untuk perkara yang diajukan oleh pasangan Marthen Ohee-Franklin Orlof Damena dan pasangan Fredrik Sokoy-La Achmadi.
Sebelum menjatuhkan putusan akhir, menunda penjatuhan putusan mengenai pokok permohonan sampai dengan dilaksanakannya Putusan Sela Mahkamah Konstitusi Nomor 127/PHPU.D-IX/2011 dan Putusan Sela Nomor 131/PHPU.D-IX/2011, bertanggal 18 Januari 2012,” tandas Achmad Sodiki. (Nur Rosihin Ana)

Selasa, 17 Januari 2012

Karena Pernah Diputus MK, Uji Peringatan Bahaya Merokok Tidak Diterima

Permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 114 dan Pasal 199 ayat (1) UU 36/2009 tentang Kesehatan terhadap Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28F, Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, telah diputus oleh Mahkamah (ne bis in idem) dalam Putusan Nomor 34/PUU-VIII/2010, tanggal 1 November 2011. Demikian Pendapat Mahkamah dalam persidangan pengucapan putusan perkara Nomor 55/PUU-IX/2011, Selasa (17/1/2011) di ruang sidang pleno Gedung MK.
Mahkamah dalam amar putusan menyatakan tidak menerima permohonan yang diajukan oleh Perkumpulan Forum Pengusaha Rokok Kretek, Zaenal Musthofa, dan Erna Setyo Ningrum. “Mengadili, menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua Pleno Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD.
Pasal 114 UU Kesehatan menyatakan: “Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan rokok ke wilayah Indonesia wajib mencantumkan peringatan kesehatan”. Kemudian Pasal 199 ayat (1): “Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau memasukkan rokok ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tidak mencantumkan peringatan kesehatan berbentuk gambar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”.
Putusan Mahkamah Nomor 34/PUU-VIII/2010 tanggal 1 November 2011 tersebut, antara lain mengenai pengujian Pasal 114, Penjelasan Pasal 114, dan Pasal 199 ayat (1) UU 36/2009. Dalam putusan tersebut Mahkamah menyatakan kata “dapat” dalam Penjelasan Pasal 114 dan frasa “berbentuk gambar” dalam Pasal 199 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945.
Selain itu, dalam putusan Nomor 34/PUU-VIII/2010 Mahkamah menyatakan menolak pengujian Pasal 114, Penjelasan Pasal 114 kecuali kata “dapat” dan Pasal 199 ayat (1) kecuali frasa “berbentuk gambar”. Menurut Mahkamah, Pasal 114 UU 36/2009 dan Penjelasannya harus dimaknai bahwa mencantumkan peringatan berupa tulisan yang jelas dan gambar adalah kewajiban bagi produsen dan importir rokok. Hal demikian berkaitan dengan jaminan dan perlindungan terhadap hak setiap orang untuk memperoleh informasi sebagaimana dijamin oleh ketentuan Pasal 28F UUD 1945. Dengan demikian, dalam putusan tersebut Mahkamah berpendapat Pasal 114, Penjelasan Pasal 114 kecuali kata “dapat” dan Pasal 199 ayat (1) UU 36/2009 kecuali “berbentuk gambar” adalah konstitusional.
Meskipun para Pemohon perkara Nomor 55/PUU-IX/2011 ini mengusung batu uji yang sedikit berbeda, yaitu Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28F UUD 1945, namun menurut Mahkamah, substansi dari Pasal 114 dan Pasal 199 ayat (1) UU 36/2009 telah dinilai dan dipertimbangkan Mahkamah dalam Putusan Nomor 34/PUUVIII/2010. Sehingga putusan 34/PUUVIII/2010 mutatis mutandis berlaku sebagai pertimbangan dalam putusan 55/PUU-IX/2011 ini. Berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah berpendapat, permohonan yang diajukan Perkumpulan Forum Pengusaha Rokok Kretek dkk, adalah ne bis in idem. (Nur Rosihin Ana)

Kamis, 05 Januari 2012

Calon Anggota KPU dan Bawaslu Harus telah 5 Tahun Mundur dari Parpol


Persyaratan bagi calon anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 5 (lima) tahun telah mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik (parpol) pada saat mendaftar. 

Demikian antara lain putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang pengucapan putusan perkara Nomor Nomor 81/PUU-IX/2011 mengenai uji materi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, yang digelar di gedung MK, Rabu (4/1/2012) sore. Mahkamah menyatakan mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh 136 Pemohon yang terdiri 23 badan hukum privat dan 113 perorangan warga negara Indonesia. “Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian,” kata Ketua Pleno Hakim MK, Moh. Mahfud MD.

Dalam amar putusan, Mahkamah menyatakan Pasal 11 huruf i dan Pasal 85 huruf i UU Penyelenggara Pemilu sepanjang frasa, “mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik … pada saat mendaftar sebagai calon” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 5 (lima) tahun telah mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik pada saat mendaftar sebagai calon”.

Mahkamah juga menyatakan Pasal 109 ayat (4) huruf c, huruf d, dan ayat (5) UU Penyelenggara Pemilu bertentangan dengan UU 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang bagian kalimat “4 (empat) orang tokoh masyarakat dalam hal jumlah utusan partai politik yang ada di DPR berjumlah ganjil atau ... dalam hal jumlah utusan partai politik yang ada di DPR berjumlah genap”. Sehingga Pasal 109 ayat (4) tersebut selengkapnya harus dibaca: “DKPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: a. 1 (satu) orang unsur KPU; b. 1 (satu) orang unsur Bawaslu; e. 5 (lima) orang tokoh masyarakat.”

Kemudian, menyatakan Pasal 109 ayat (11) sepanjang frasa “berdasarkan kebutuhan dan pertimbangan masing-masing unsur” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga Pasal 109 ayat (11) tersebut selengkapnya harus dibaca, ”Setiap anggota DKPP dari setiap unsur dapat diganti antarwaktu sesuai dengan ketentuan yang berlaku”.

“Conflict of Interest”
Mahkamah dalam pendapatnya menyatakan, Pemilu harus dilaksanakan secara bebas, jujur, dan adil. Asas jujur dan adil hanya dapat terwujud jika, antara lain, penyelenggara Pemilu tidak dapat diintervensi atau dipengaruhi oleh pihak lain manapun. Oleh karena itu, penyelenggara Pemilu tidak dapat diserahkan kepada pemerintah atau parpol sebab berpotensi dan rawan dipengaruhi atau dimanfaatkan oleh berbagai kepentingan, sehingga pemilu harus diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri sebagaimana Pasal 22E ayat (5) UUD 1945. Komisi Pemilihan Umum (dengan huruf besar), Bawaslu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, menurut Mahkamah, adalah bagian dari komisi pemilihan umum (dengan huruf kecil) yang dimaksud oleh Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 memiliki sifat mandiri.

Keberpihakan penyelenggara Pemilu kepada peserta Pemilu akan mengakibatkan distrust serta menimbulkan proses dan hasil yang dipastikan tidak fair, sehingga menghilangkan makna demokrasi yang berusaha diwujudkan melalui Pemilu yang “langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”. Adalah hal yang tidak sejalan dengan logika dan keadilan, jika Pemilu diselenggarakan oleh lembaga yang terdiri atau beranggotakan para peserta Pemilu itu sendiri. Meskipun bukan sesuatu yang niscaya, adanya keterlibatan parpol sebagai penyelenggara Pemilu akan membuka peluang keberpihakan (conflict of interest) penyelenggara pemilihan umum kepada salah satu kontestan.

Menurut Mahkamah, keterlibatan secara langsung parpol sebagai penyelenggara pemilihan umum, setidaknya dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu i) diakomodasinya anggota parpol menjadi anggota komisi pemilihan umum; atau ii) diakomodasinya orang yang bukan anggota parpol, namun memiliki kepentingan politik yang sama dengan parpol tertentu.

Dari perspektif teleologis terkait dengan kemandirian yang ingin dicapai, diakomodasinya anggota parpol menjadi anggota komisi pemilihan umum dapat saja dilakukan dengan asumsi bahwa anggota parpol yang kemudian memegang jabatan publik tidak selalu berpihak kepada parpol asalnya. Akan tetapi tetap disyaratkan anggota parpol dan masyarakat politik harus memiliki kedewasaan berpolitik serta sifat kenegarawanan, dan tetap berada di atas kepentingan semua golongan dan semua kelompok. Pada kenyataannya, kemandirian atau netralitas tersebut tidak dengan sendirinya terjadi begitu saja. Dari perspektif deontologis tetap diperlukan proses yang tepat untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Untuk menjamin kemandirian komisi pemilihan umum, terutama dari sisi rekrutmen, setidaknya terdapat dua hal yang harus diperhatikan, yaitu penguatan proses seleksi dan penguatan sistem yang mendukung seleksi. Bertolak dari pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, Undang-Undang harus membangun sistem rekrutmen yang menuju pada upaya memandirikan komisi pemilihan umum. Sistem rekrutmen ini haruslah meminimalkan komposisi keanggotaan dalam komisi pemilihan umum yang memiliki potensi keberpihakan.

Karena peserta Pemilu adalah parpol, maka UU harus membatasi atau melepaskan hak parpol peserta pemilu untuk sekaligus bertindak sebagai penyelenggara Pemilu. Parpol dimaksud meliputi anggota parpol yang masih aktif atau mantan anggota parpol yang masih memiliki keberpihakan kepada parpol asalnya, atau masih memiliki pengaruh dalam penentuan kebijakan parpol dimaksud.

Pelepasan hak anggota parpol untuk menjadi anggota komisi pemilihan umum bukan sesuatu hal yang bertentangan dengan konstitusi dan hak asasi manusia, karena justru hal tersebut diperlukan untuk menjamin fairness dalam pemilihan umum, yang artinya memenuhi/melindungi hak-hak peserta lain dalam pemilihan umum;

Dari kedua perspektif di atas, baik yang berorientasi pada tujuan (teleologis) maupun yang berorientasi pada proses/cara (deontologis), kata “mandiri” yang tercantum dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 dalam kaitannya dengan rekrutmen atau pendaftaran calon anggota KPU dan Bawaslu, haruslah dihindari penerimaan calon anggota komisi pemilihan umum yang berasal dari unsur parpol. (Nur Rosihin Ana)

Rabu, 04 Januari 2012

Calon Anggota KPU dan Bawaslu Harus telah 5 Tahun Mundur dari Parpol



Persyaratan bagi calon anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 5 (lima) tahun telah mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik (parpol) pada saat mendaftar. 

Demikian antara lain putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang pengucapan putusan perkara Nomor Nomor 81/PUU-IX/2011 mengenai uji materi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, yang digelar di gedung MK, Rabu (4/1/2012) sore. Mahkamah menyatakan mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh 136 Pemohon yang terdiri 23 badan hukum privat dan 113 perorangan warga negara Indonesia. “Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian,” kata Ketua Pleno Hakim MK, Moh. Mahfud MD.

Dalam amar putusan, Mahkamah menyatakan Pasal 11 huruf i dan Pasal 85 huruf i UU Penyelenggara Pemilu sepanjang frasa, “mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik … pada saat mendaftar sebagai calon” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 5 (lima) tahun telah mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik pada saat mendaftar sebagai calon”.

Mahkamah juga menyatakan Pasal 109 ayat (4) huruf c, huruf d, dan ayat (5) UU Penyelenggara Pemilu bertentangan dengan UU 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang bagian kalimat “4 (empat) orang tokoh masyarakat dalam hal jumlah utusan partai politik yang ada di DPR berjumlah ganjil atau ... dalam hal jumlah utusan partai politik yang ada di DPR berjumlah genap”. Sehingga Pasal 109 ayat (4) tersebut selengkapnya harus dibaca: “DKPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: a. 1 (satu) orang unsur KPU; b. 1 (satu) orang unsur Bawaslu; e. 5 (lima) orang tokoh masyarakat.”

Kemudian, menyatakan Pasal 109 ayat (11) sepanjang frasa “berdasarkan kebutuhan dan pertimbangan masing-masing unsur” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga Pasal 109 ayat (11) tersebut selengkapnya harus dibaca, ”Setiap anggota DKPP dari setiap unsur dapat diganti antarwaktu sesuai dengan ketentuan yang berlaku”.

“Conflict of Interest”
Mahkamah dalam pendapatnya menyatakan, Pemilu harus dilaksanakan secara bebas, jujur, dan adil. Asas jujur dan adil hanya dapat terwujud jika, antara lain, penyelenggara Pemilu tidak dapat diintervensi atau dipengaruhi oleh pihak lain manapun. Oleh karena itu, penyelenggara Pemilu tidak dapat diserahkan kepada pemerintah atau parpol sebab berpotensi dan rawan dipengaruhi atau dimanfaatkan oleh berbagai kepentingan, sehingga pemilu harus diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri sebagaimana Pasal 22E ayat (5) UUD 1945. Komisi Pemilihan Umum (dengan huruf besar), Bawaslu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, menurut Mahkamah, adalah bagian dari komisi pemilihan umum (dengan huruf kecil) yang dimaksud oleh Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 memiliki sifat mandiri.

Keberpihakan penyelenggara Pemilu kepada peserta Pemilu akan mengakibatkan distrust serta menimbulkan proses dan hasil yang dipastikan tidak fair, sehingga menghilangkan makna demokrasi yang berusaha diwujudkan melalui Pemilu yang “langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”. Adalah hal yang tidak sejalan dengan logika dan keadilan, jika Pemilu diselenggarakan oleh lembaga yang terdiri atau beranggotakan para peserta Pemilu itu sendiri. Meskipun bukan sesuatu yang niscaya, adanya keterlibatan parpol sebagai penyelenggara Pemilu akan membuka peluang keberpihakan (conflict of interest) penyelenggara pemilihan umum kepada salah satu kontestan.

Menurut Mahkamah, keterlibatan secara langsung parpol sebagai penyelenggara pemilihan umum, setidaknya dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu i) diakomodasinya anggota parpol menjadi anggota komisi pemilihan umum; atau ii) diakomodasinya orang yang bukan anggota parpol, namun memiliki kepentingan politik yang sama dengan parpol tertentu.

Dari perspektif teleologis terkait dengan kemandirian yang ingin dicapai, diakomodasinya anggota parpol menjadi anggota komisi pemilihan umum dapat saja dilakukan dengan asumsi bahwa anggota parpol yang kemudian memegang jabatan publik tidak selalu berpihak kepada parpol asalnya. Akan tetapi tetap disyaratkan anggota parpol dan masyarakat politik harus memiliki kedewasaan berpolitik serta sifat kenegarawanan, dan tetap berada di atas kepentingan semua golongan dan semua kelompok. Pada kenyataannya, kemandirian atau netralitas tersebut tidak dengan sendirinya terjadi begitu saja. Dari perspektif deontologis tetap diperlukan proses yang tepat untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Untuk menjamin kemandirian komisi pemilihan umum, terutama dari sisi rekrutmen, setidaknya terdapat dua hal yang harus diperhatikan, yaitu penguatan proses seleksi dan penguatan sistem yang mendukung seleksi. Bertolak dari pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, Undang-Undang harus membangun sistem rekrutmen yang menuju pada upaya memandirikan komisi pemilihan umum. Sistem rekrutmen ini haruslah meminimalkan komposisi keanggotaan dalam komisi pemilihan umum yang memiliki potensi keberpihakan.

Karena peserta Pemilu adalah parpol, maka UU harus membatasi atau melepaskan hak parpol peserta pemilu untuk sekaligus bertindak sebagai penyelenggara Pemilu. Parpol dimaksud meliputi anggota parpol yang masih aktif atau mantan anggota parpol yang masih memiliki keberpihakan kepada parpol asalnya, atau masih memiliki pengaruh dalam penentuan kebijakan parpol dimaksud.

Pelepasan hak anggota parpol untuk menjadi anggota komisi pemilihan umum bukan sesuatu hal yang bertentangan dengan konstitusi dan hak asasi manusia, karena justru hal tersebut diperlukan untuk menjamin fairness dalam pemilihan umum, yang artinya memenuhi/melindungi hak-hak peserta lain dalam pemilihan umum;

Dari kedua perspektif di atas, baik yang berorientasi pada tujuan (teleologis) maupun yang berorientasi pada proses/cara (deontologis), kata “mandiri” yang tercantum dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 dalam kaitannya dengan rekrutmen atau pendaftaran calon anggota KPU dan Bawaslu, haruslah dihindari penerimaan calon anggota komisi pemilihan umum yang berasal dari unsur parpol. (Nur Rosihin Ana)