Rabu, 20 Juni 2012

Mahkamah Batalkan Cekal Tanpa Batas

Permohonan judical review UU Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (UU Keimigrasian) yang dimohonkan oleh Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, memasuki tahap akhir yang paling menentukan, yaitu pengucapan putusan di Mahkamah Konstitusi. Mahkamah dalam amar putusan menyatakan mengabulkan sebagian permohonan Yusril. “Amar Putusan, mengadili, menyatakan mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian,” kata Ketua Pleno Hakim Konstitusi Moh Mahfud MD. saat mengucapkan putusan Nomor 64/PUU-IX/2011 dalam persidangan yang digelar di MK, Rabu (20/6/2012) siang.

Masih dalam amar putusan, Mahkamah menyatakan Pasal 97 ayat (1) UU Keimigrasian sepanjang frasa “setiap kali” adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selanjutnya bunyi Pasal 97 ayat (1) UU Keimigrasian menjadi “Jangka waktu Pencegahan berlaku paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan”. Selain itu, memerintahkan pemuatan putusan dalam Berita Negara Republik Indonesia. Terakhir, menyatakan menolak permohonan Yusril untuk selain dan selebihnya.

Latar belakang diajukannya permohonan ini karena Yusril dicegah ke luar negeri selama 6 (enam) bulan berdasarkan Keputusan Jaksa Agung RI Nomor Kep-201/D/Dsp.3/06/2011 tanggal 27 Juni 2011 tentang “Pencegahan Dalam Perkara Pidana”. Alasan utama pencegahan terhadap Yusril, sebagaimana tertuang dalam konsideran keputusan Jaksa Agung tersebut adalah “untuk kepentingan operasi yustisi di bidang penyidikan”. Sebab Yusril diduga terlibat dalam perkara pidana dan telah  dinyatakan sebagai tersangka sejak tanggal 24 Juni 2010.

Sebelumnya, Jaksa Agung telah menerbitkan Keputusan Nomor Kep-212/D/Dsp.3/06/2010 tanggal 25 Juni 2010 yang diktumnya mencegah Yusril ke luar negeri selama 1 (satu) tahun dengan alasan yang sama, yakni untuk “kepentingan operasi yustisi di bidang penyidikan”. Pencegahan itu berlaku sejak 25 Juni 2010 sampai 25 Juni 2011.

Dicekal UU Tak Berlaku

Jelang jangka waktu pencegahan berakhir, Jaksa Agung kembali melakukan pencegahan kepada Yusril melalui Keputusan Nomor Kep-195/D/Dsp.3/06/2011 tanggal 24 Juni 2011 untuk jangka waktu (1) tahun hingga 25 Juni 2012. Alasan yang digunakan pun sama, yakni “untuk operasi yustisi di bidang penyidikan”. Padahal, salah satu dasar hukum yang digunakan untuk melakukan pencegahan itu ialah UU Nomor 9 Tahun 1992 yang telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi berdasarkan Pasal 142 UU 6 Tahun 2011 sejak tanggal 5 Mei 2011.

Yusril melakukan perlawanan terhadap Keputusan Jaksa Agung tersebut dengan melakukan gugatan ke PTUN Jakarta. Wakil Jaksa Agung Darmono, pada awalnya berkeras mengatakan bahwa keputusan yang menggunakan UU yang telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku itu, sebagai “keputusan yang sah dan sudah benar”. Hal ini memicu polemik antara Yusril dengan jajaran Kejagung, Menteri Hukum dan HAM dan beberapa pejabat Ditjen Imigrasi. Namun, ketika gugatan telah didaftarkan di PTUN Jakarta, Jaksa Agung tiba-tiba mencabut Keputusan Nomor 195/D/Dsp.3/06/2011 tanggal 24 Juni 2011 dan menerbitkan Keputusan Pencegahan yang baru, yakni Keputusan Nomor Kep-201/D/Dsp.3/06/2011 tanggal 27 Juni 2001. Diktum Keputusan ini intinya mencegah Yusril ke luar negeri selama 6 (enam) bulan, sesuai jangka waktu maksimum yang diberikan oleh Pasal 97 ayat (1) UU Keimigrasian yang dijadikan sebagai salah satu dasar hukum dalam konsideran keputusan tersebut. Sedangkan alasan pencegahan tetap sama, yakni “untuk kepentingan operasi yustisi di bidang penyidikan.

Sampai Kiamat

Pasal 97 ayat (1) UU Keimigrasian menyatakan, ”Jangka waktu Pencegahan berlaku paling lama 6 (enam) bulan dan setiap kali dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan”. Menurut Yusril, frasa “dan setiap kali dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan”, dapat menyebabkan terjadinya perpanjangan pencegahan ke luar negeri terhadap seorang warga negara pada masa penyidikan tanpa kepastian batas waktu bahkan ilâ yaumil qiyâmah (sampai datangnya hari kiamat). Hal ini menciptakan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dan bertentangan dengan hak warga negara untuk memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta hak untuk kembali sebagaimana dijamin oleh Pasal 28E ayat (1) UUD 1945.

Mahkamah berpendapat, pencegahan ke luar negeri diatur dalam Pasal 91 sampai dengan Pasal 97 UU Keimigrasian. Pasal 91 mengatur bahwa yang berwenang melakukan pencegahan adalah Menteri Hukum dan HAM. Pencegahan dilakukan berdasarkan hasil pengawasan Keimigrasian, Keputusan Menteri Keuangan dan Jaksa Agung, permintaan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, perintah Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, permintaan Kepala Badan Narkotika Nasional, dan keputusan, perintah, atau permintaan pimpinan kementerian/ lembaga lain yang berdasarkan Undang-Undang memiliki kewenangan pencegahan. Pasal 16 ayat (1) UU Keimigrasian mengatur bahwa apabila seseorang berada dalam daftar pencegahan, atau diperlukan untuk kepentingan penyidikan atas permintaan pejabat yang berwenang, maka Pejabat Imigrasi dapat menolak orang tersebut untuk keluar Wilayah Indonesia. “Dengan demikian, salah satu tujuan pencegahan adalah untuk kepentingan penyidikan, yaitu untuk mencegah seseorang yang disangka melakukan tindak pidana menghindar dari proses hukum dengan melarikan diri keluar dari wilayah Indonesia,” kata Hakim Konstitusi Anwar Usman membacakan pendapat Mahkamah.

Menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 97 ayat (1) UU Keimigrasian khususnya frasa “dan setiap kali dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan” di satu sisi dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bagi tersangka karena tidak dapat memastikan sampai kapan penyidikan berakhir dan sampai kapan pula pencegahan ke luar negeri berakhir. Pada sisi lain dapat menimbulkan kesewenang-wenangan aparat negara yaitu Jaksa Agung, Menteri Hukum dan HAM, dan pejabat lainnya yang berwenang untuk melakukan pencegahan kepada tersangka tanpa batas waktu. Kejadian seperti ini pernah dialami oleh A.M. Fatwa. Saat bersaksi di persidangan MK, A.M. Fatwa berkisah dicegah tanpa batas waktu dan tanpa surat pencegahan pada masa pemerintahan Orde Baru yang sangat menyakitkan.

Akibat selanjutnya adalah tidak jelasnya penyelesaian suatu perkara pidana yang justru merugikan penegakan keadilan, karena keadilan yang ditunda-tunda dapat menimbulkan ketidakadilan (justice delayed is justice denied). Apalagi dengan adanya pencegahan ke luar negeri terhadap seorang tersangka tanpa batas waktu, mengakibatkan ketidakbebasan bagi tersangka dalam waktu yang tidak terbatas pula, dengan tanpa mendapat pengurangan pidana jika pada akhirnya tersangka dijatuhi pidana oleh pengadilan seperti halnya tersangka/terdakwa yang dikenai penahanan kota sebagaimana diatur dalam KUHAP. (Nur Rosihin Ana)

Rabu, 06 Juni 2012

Penjelasan Pasal 10 UU Kementerian Negara Sumber Kekacauan Jabatan Wakil Menteri

Timbulnya kekacauan implementasi atau masalah legalitas di dalam hukum kepegawaian dan birokrasi pemerintahan, khususnya menyangkut jabatan wakil menteri (wamen), bersumber dari ketentuan Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (UU Kementerian Negara). “Yang dimaksud dengan "Wakil Menteri" adalah pejabat karir dan bukan merupakan anggota kabinet.”  Demikian bunyi Penjelasan Pasal 10 UU Kementerian Negara yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (5/6/2012) siang, dalam sidang pengucapan putusan Nomor 79/PUU-IX/2011.

Mahkamah dalam amar putusan menyatakan mengabulkan sebagian permohonan  Adi Warman, Ketua Umum Gerakan Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (GN-PK) dan H. TB. Imamudin, Sekretaris Jenderal GN-PK. Mahkamah menyatakan Penjelasan Pasal 10 UU Kementerian Negara bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Mahkamah berpendapat, ketentuan Pasal 17 UUD 1945 hanya menyebutkan menteri-menteri negara, tanpa menyebutkan wamen. Menurut Mahkamah, kalau menteri dapat diangkat oleh Presiden, logikanya Presiden pun tentu dapat mengangkat wamen. Sebab, UUD 1945 hanya mengatur hal-hal yang pokok, sedangkan pelaksanaan lebih lanjut diatur dengan UU. Berdasarkan ketentuan konstitusi, pengangkatan wamen itu adalah bagian dari kewenangan Presiden untuk melaksanakan tugas-tugasnya.

Tidak adanya perintah maupun larangan di dalam UUD 1945 memberi arti berlakunya asas umum di dalam hukum bahwa “sesuatu yang tidak diperintahkan dan tidak dilarang itu boleh dilakukan” dan dimasukkan di dalam UU sepanjang tidak berpotensi melanggar hak-hak konstitusional atau ketentuan-ketentuan lain di dalam UUD 1945. Sehingga, dari sudut substansi, tidak terdapat persoalan konstitusionalitas dalam konteks ini.

Orang yang dapat diangkat sebagai wamen menurut Mahkamah, dapat berasal dari pegawai negeri sipil (PNS), anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Republik Indonesia, bahkan warga negara biasa.


Norma Baru yang Rancu

Pasal 10 UU Kementerian Negara menyatakan, “Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat wakil Menteri pada Kementerian tertentu”.

Kewenangan Presiden mengangkat wamen dalam rangka menangani beban kerja yang semakin berat, tidak bertentangan dengan konstitusi jika dipandang dari sudut pengutamaan tujuan yang hendak dicapai (doelmatigheid) atau nilai kemanfaatan dalam rangka memenuhi harapan dan kebutuhan masyarakat yang terus meningkat. Dengan demikian, Pasal 10 UU Kementerian Negara tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mengandung persoalan konstitusionalitas.

Akan tetapi, pengaturan yang terkandung dalam Penjelasan Pasal 10 UU Kementerian Negara dalam praktiknya telah menimbulkan persoalan legalitas yakni ketidakpastian hukum karena tidak sesuainya implementasi ketentuan tersebut dengan hukum kepegawaian atau peraturan perundang-undangan di bidang pemerintahan dan birokrasi. Terlebih lagi Penjelasan Pasal 10 ternyata berisi norma baru. Padahal menurut Putusan Mahkamah Nomor 011/PUU-III/2005, tanggal 19 Oktober 2005 yang kemudian dimuat pula di dalam Lampiran II angka 177 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234) dinyatakan, “Penjelasan ... tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisi norma”.

Presiden sebagai pemegang hak prerogatif dalam hal-hal tertentu, juga mempunyai kewajiban hukum untuk mentaati peraturan perundang-undangan sesuai dengan sumpah Presiden/Wakil Presiden yang menyatakan, “...memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya ...”

Carut Marut Jabatan Wamen

Persoalan legalitas yang muncul dalam pengangkatan wamen, antara lain, menurut Mahkamah adalah: Pertama, terjadi eksesifitas dalam pengangkatan wamen sehingga tampak tidak sejalan dengan dengan latar belakang dan filosofi pembentukan UU dimaksud (original intent). Salah satu latar belakang terpenting dari keharusan konstitusional untuk membentuk UU Kementerian Negara sebagaimana diatur di dalam Pasal 17 ayat (4) UUD 1945 dimaksudkan untuk membatasi agar dalam membentuk kementerian negara guna melaksanakan tugas-tugas pemerintahan, Presiden melakukannya secara efektif dan efisien.

Jabatan menteri dan kementerian tidak boleh diobral sebagai hadiah politik terhadap seseorang atau satu golongan, sekaligus tidak dapat sembarangan dibubarkan tanpa analisis yang mendalam bagi kepentingan negara dan bangsa seperti yang pernah terjadi di masa lalu. Pembentukan wamen yang terjadi berdasar fakta hukum sekarang, yakni pembentukan yang tanpa job analysis dan job specification yang jelas telah memberi kesan kuat bahwa jabatan wamen hanya dibentuk sebagai kamuflase politik dan membagi-bagi hadiah politik. Hal ini nyata-nyata tidak sesuai dengan filosofi dan latar belakang pembentukan UU Kementerian Negara yang dalam implementasinya menimbulkan persoalan legalitas.

Kedua, saat mengangkat wamen, Presiden tidak menentukan beban kerja secara spesifik bagi setiap wamen sehingga tak terhindarkan memberi kesan kuat sebagai langkah yang lebih politis daripada mengangkat pegawai negeri sipil (PNS) secara profesional dalam jabatan negeri. Apalagi seleksi jabatan wamen dilakukan secara sama dengan pengangkatan menteri yakni didahului dengan fit and proper test di tempat dan dengan cara yang sama dengan seleksi dan pengangkatan menteri. Hal tersebut menjadi sangat politis dan tidak sesuai dengan hukum kepegawaian yang sudah lama berlaku terutama jika dikaitkan dengan ketentuan dalam Penjelasan Pasal 10 UU Kementerian Negara.

Ketiga, menurut Penjelasan Pasal 10 UU Kementerian Negara, jabatan wamen adalah jabatan karier dari PNS. Namun dalam pengangkatannya tidaklah jelas apakah jabatan tersebut merupakan jabatan struktural ataukah jabatan fungsional. Seperti dinyatakan oleh pimpinan BKN di persidangan tanggal 7 Februari 2012, jabatan karier bagi PNS itu ada dua, yakni jabatan struktural dan jabatan fungsional.

Persoalannya, jika dianggap sebagai jabatan struktural maka yang bersangkutan haruslah menduduki jabatan Eselon IA yang berarti, sesuai dengan hukum kepegawaian, pembinaan kepegawaiannya di bawah pembinaan Sekretaris Jenderal. Akan tetapi jika jabatan wamen tersebut diperlakukan sebagai jabatan fungsional masalahnya menjadi aneh, sebab jabatan fungsional itu bersifat tertentu terhadap satu bidang dan bukan jenis profesi dan keahlian yang berbeda-beda yang kemudian dijadikan satu paket sebagai jabatan fungsional. Adalah tidak masuk akal kalau jabatan wamen yang sangat beragam bidang tugas, keahlian, dan unit kerjanya dianggap sebagai satu kelompok jabatan fungsional. Lagipula jabatan fungsional harus ditentukan lebih dahulu di dalam peraturan perundang-undangan dengan mengklasifikasi masing-masing jabatan fungsional ke dalam jenis tertentu.

Para wamen yang berasal dari perguruan tinggi misalnya, semuanya sudah mempunyai jabatan fungsional akademik. Pertanyaannya, kalau jabatan wamen dianggap sebagai jabatan karier fungsional maka bisakah seorang PNS memiliki dua jabatan fungsional sekaligus berdasar peraturan perundang-undangan?

Keempat, masih terkait dengan jabatan karier, jika seorang wamen akan diangkat dalam jabatan karier dengan jabatan struktural (Eselon IA) maka pengangkatannya haruslah melalui seleksi dan penilaian oleh Tim Penilai Akhir (TPA) yang diketuai oleh Wakil Presiden atas usulan masing-masing instansi yang bersangkutan. Tim Penilai Akhir tersebut kemudian mengusulkan pengangkatannya kepada Presiden dalam bentuk penerbitan Keputusan Presiden (Keppres) untuk kemudian dilantik oleh Menteri/Jaksa Agung/Kapolri dan pejabat yang setingkat sesuai dengan penempatan yang bersangkutan.

Menurut fakta di persidangan, para wamen diangkat tanpa melalui prosedur tersebut. Bahkan pelantikannya dilakukan oleh Presiden sendiri di istana negara sehingga prosedurnya menggunakan prosedur yang berlaku bagi menteri, bukan prosedur yang berlaku bagi PNS yang menduduki jabatan karier.

Kelima, nuansa politisasi dalam pengangkatan jabatan wamen tampak juga dari terjadinya perubahan Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara sampai dua kali menjelang (Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2011, tanggal 13 Oktober 2011) dan sesudah (Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2011, tanggal 18 Oktober 2011) pengangkatan wamen bulan Oktober 2011 yang oleh sebagian masyarakat dipandang sebagai upaya menjustifikasi orang yang tidak memenuhi syarat untuk diangkat menjadi wamen supaya memenuhi syarat tersebut. Perubahan-perubahan Perpres tersebut tampak dibuat secara kurang cermat sehingga mengacaukan sistem pembinaan pegawai sebagaimana telah diatur dengan peraturan perundang-undangan yang ada lebih dulu.

Keenam, komplikasi legalitas dalam pengangkatan wamen seperti yang berlaku sekarang ini, muncul juga terkait dengan berakhirnya masa jabatan. Jika wamen diangkat sebagai pejabat politik yang membantu menteri maka masa jabatannya berakhir bersama dengan periode jabatan Presiden yang mengangkatnya. Akan tetapi, jika wamen diangkat sebagai pejabat birokrasi dalam jabatan karier maka jabatan itu melekat terus sampai dengan tiba masa pensiunnya atau berakhir masa tugasnya berdasarkan ketentuan yang berlaku untuk jabatan karier sehingga tidak serta merta berakhir bersama dengan jabatan Presiden yang mengangkatnya.

Pertanyaannya, kapan berakhirnya masa jabatan wamen berdasarkan fakta hukum yang ada sekarang ini? Apakah bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan menteri yang dibantunya dan dalam periode Presiden yang mengangkatnya ataukah dapat berakhir sebelum atau sesudah itu? Di sinilah letak komplikasi legalitas tersebut.

Penjelasan yang Inkonstitusional

Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 yang menentukan bahwa wamen adalah pejabat karir dan bukan merupakan anggota kabinet adalah tidak sinkron dengan ketentuan Pasal 9 ayat (1) UU Kementerian Negara. Sebab menurut pasal tersebut, susunan organisasi kementerian terdiri dari unsur: pemimpin yaitu Menteri; pembantu pemimpin yaitu sekretariat jenderal; pelaksana tugas pokok, yaitu direktorat jenderal; pengawas yaitu inspektorat jenderal; pendukung, yaitu badan atau pusat; dan pelaksana tugas pokok di daerah dan/atau perwakilan luar negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Apabila wamen ditetapkan sebagai pejabat karir, sudah tidak ada posisinya dalam susunan organisasi kementerian, sehingga hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil, yang berarti bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Menurut Mahkamah, timbulnya kekacauan implementasi atau masalah legalitas di dalam hukum kepegawaian dan birokrasi pemerintahan itu terjadi karena bersumber dari ketentuan Penjelasan Pasal 10 UU Kementerian Negara.

Keberadaan Penjelasan tersebut justru menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil dalam pelaksanaan hukum dan telah membatasi atau membelenggu kewenangan eksklusif Presiden dalam hal mengangkat dan memberhentikan menteri/wakil menteri berdasarkan UUD 1945 sehingga Penjelasan tersebut harus dinyatakan inkonstitusional.

Oleh karena keberadaan wamen yang ada sekarang ini diangkat antara lain berdasar Pasal 10 dan Penjelasannya dalam UU Kementerian Negara, menurut Mahkamah posisi wamen perlu segera disesuaikan kembali sebagai kewenangan eksklusif Presiden menurut putusan Mahkamah ini. Oleh sebab itu, semua Keppres pengangkatan masing-masing wamen perlu diperbarui agar menjadi produk yang sesuai dengan kewenangan eksklusif Presiden dan agar tidak lagi mengandung ketidakpastian hukum. (Nur Rosihin Ana)

Senin, 04 Juni 2012

Mahkamah Kabulkan Permohonan Pengusaha Tambang Skala Kecil dan Menengah


Pengujian materi UU Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Menirba) yang diajukan oleh Johan Murod, Zuristyo Firmadata, Nico Plamonia, dan Johardi, setelah dua tahun lebih, akhirnya diputus oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Para Pemohon adalah pengusaha pertambangan timah yang tergabung dalam Assosiasi Pengusaha Timah Indonesia (APTI) dan Asosiasi Tambangan Rakyat Daerah (ASTRADA) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Materi UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang diujikan yaitu Pasal 22 huruf f, Pasal 38, Pasal 52 ayat (1), Pasal 55 ayat (1), Pasal 58 ayat (1), Pasal 61 ayat (1), Pasal 75 ayat (4), Pasal 172, dan Pasal 173 ayat (2).

Mahkamah dalam amar putusan menyatakan mengabulkan sebagian permohonan. “Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian,” kata Ketua Pleno Hakim MK Moh. Mahfud MD dalam sidang dengan agenda pengucapan putusan Nomor 30/PUU-VIII/2010, Senin (4/6/2012) di ruang sidang pleno lt. 2 gedung MK.

Mahkamah kemudian menyatakan pengujian Pasal 22 huruf f, Pasal 52 ayat (1), Pasal 169 huruf a, dan Pasal 173 ayat (2) UU Minerba tidak dapat diterima. Sedangkan untuk Pasal 55 ayat (1) sepanjang frasa “dengan luas paling sedikit 500 (lima ratus) hektare dan”, Pasal 61 ayat (1) sepanjang frasa “dengan luas paling sedikit 5.000 (lima ribu) hektare dan”, Mahkamah menyatakan frasa tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Mahkamah juga menyatakan frasa “dengan cara lelang” dalam Pasal 51, Pasal 60, dan Pasal 75 ayat (4) UU Minerba bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai, “lelang dilakukan dengan menyamakan antarpeserta lelang WIUP dan WIUPK dalam hal kemampuan administratif/manajemen, teknis, lingkungan, dan finansial yang berbeda terhadap objek yang akan dilelang.

Mahkamah dalam pendapatnya menyatakan, ketentuan Pasal 22 huruf a sampai dengan huruf e UU Minerba dapat diberlakukan secara kumulatif atau alternatif sesuai dengan kondisi daerah masing-masing yang penetapannya mengacu pada mekanisme yang diatur dalam Pasal 21 dan Pasal 23 UU Minerba beserta Penjelasannya. Oleh karena itu, dengan memperhatikan kondisi geografis Indonesia, norma tersebut sudah tepat dan tidak bertentangan dengan UUD 1945, sehingga dalil permohonan tidak terbukti menurut hukum. Begitu pula dalil Pemohon mengenai berlakunya ketentuan Pasal 38 huruf a UU Minerba, Mahkamah berpendapat dalil Pemohon tidak terbukti secara hukum.

Para Pemohon dalam permohonannya mendalilkan frasa “dengan cara lelang” dalam Pasal 51, Pasal 60, dan Pasal 75 ayat (4) UU Minerba telah memperlemah posisi dan daya saing para Pemohon sebagai pengusaha kecil/menengah terhadap pengusaha/pemilik modal besar dan pemilik modal asing. Mahkamah berpendapat, untuk memberikan kepastian hukum dan peluang berusaha secara adil di bidang pertambangan, menurut Mahkamah, frasa “dengan cara lelang” dalam Pasal 51, Pasal 60, dan Pasal 75 ayat (4) UU 4/2009 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dimaknai lelang dilakukan dengan menyamakan antarpeserta lelang WIUP dan WIUPK dalam hal kemampuan administratif/manajemen, teknis, lingkungan, dan finansial yang berbeda terhadap objek yang akan dilelang.

Kemudian dalil para Pemohon mengenai penetapan luas minimum wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) Eksplorasi yang ditetapkan dalam Pasal 55 ayat (1) dan Pasal 61 ayat (1) UU Minerba merugikan hak-hak konstitusional pengusaha pertambangan kecil dan menengah. Mahkamah berpendapat bahwa batas luas minimal 500 hektare dan 5.000 hektare akan mereduksi atau bahkan menghilangkan hak-hak para pengusaha di bidang pertambangan yang akan melakukan eksplorasi dan operasi produksi di dalam WIUP. Sebab belum tentu di dalam suatu WIUP tersedia luas wilayah eksplorasi minimal 500 dan 5.000 hektare, apalagi jika sebelumnya telah ditetapkan WPR dan WPN.

Sedangkan mengenai dalil Pemohon pada pengujian Pasal 172 UU Minerba, Mahkamah berpendapat, dalil-dalil para Pemohon tidak terbukti menurut hukum. Para Pemohon mendalilkan konstitusionalitas Pasal 169 huruf a dan Pasal 173 ayat (2) UU Minerba, namun tidak dimohonkan dalam petitum, sehingga dalil permohonan Pemohon tersebut dikesampingkan oleh Mahkamah. (Nur Rosihin Ana)