Selasa, 13 November 2012

Putusan MK: BP Migas Bertentangan dengan UUD 1945



Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas). “Amar putusan, mengadili, menyatakan mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian,” kata Ketua Pleno Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD saat sidang pengucapan putusan nomor 36/PUU-X/2012, Selasa (13/11/2012) pagi.  

Sebagian permohonan yang dikabulkan Mahkamah yaitu, Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 ayat (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63 UU Migas bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Menyatakan frasa “dengan Badan Pelaksana” dalam Pasal 11 ayat (1), frasa “melalui Badan Pelaksana” dalam Pasal 20 ayat (3), frasa “berdasarkan pertimbangan dari Badan Pelaksana dan” dalam Pasal 21 ayat (1), frasa “Badan Pelaksana dan” dalam Pasal 49 UU Migas bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Mahkamah lebih lanjut dalam amar putusan menyatakan seluruh hal yang berkait dengan Badan Pelaksana dalam Penjelasan UU Migas bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kemudian fungsi dan tugas BP Migas dilaksanakan oleh Pemerintah, c.q. Kementerian terkait, sampai diundangkannya UU yang baru yang mengatur hal tersebut.

Eksistensi BP Migas

BP Migas adalah badan hukum milik negara yang secara khusus berdasarkan UU dibentuk oleh Pemerintah selaku pemegang Kuasa Pertambangan untuk melakukan pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di bidang Minyak dan Gas Bumi [vide Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3) UU Migas]. Kegiatan Usaha Hulu yang mencakup eksplorasi dan eksploitasi, dilaksanakan oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap berdasarkan Kontrak Kerja Sama dengan Badan Pelaksana [vide Pasal 11 ayat (1) UU Migas].  BP Migas berfungsi melakukan pengendalian dan pengawasan terhadap pelaksanaan Kontrak Kerja Sama Kegiatan Usaha Hulu agar pengambilan sumber daya alam Minyak dan Gas Bumi milik negara dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat [vide Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) UU Migas].

Untuk melaksanakan fungsi tersebut BP Migas bertugas: a) memberikan pertimbangan kepada Menteri atas kebijaksanaannya dalam hal penyiapan dan penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak Kerja Sama; b) melaksanakan penandatanganan Kontrak Kerja Sama; c). mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan dalam suatu Wilayah Kerja kepada Menteri untuk mendapatkan persetujuan; d). Memberikan persetujuan rencana pengembangan lapangan selain sebagaimana dimaksud dalam huruf c; e) memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran; f). melaksanakan monitoring dan melaporkan kepada Menteri mengenai pelaksanaan Kontrak Kerja Sama;  g).  menunjuk penjual Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi bagian negara yang dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara. [vide Pasal 44 ayat (3) UU Migas].

BP Migas merupakan organ pemerintah yang khusus, berbentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN) memiliki posisi strategis bertindak atas nama Pemerintah melakukan fungsi penguasaan negara atas Migas khususnya kegiatan hulu (ekplorasi dan eksploitasi), yaitu fungsi pengendalian dan pengawasan yang dimulai dari perencanaan, penandatangan kontrak dengan badan usaha, pengembangan wilayah kerja, persetujuan atas rencana kerja dan anggaran badan usaha, monitoring pelaksanaan kontrak kerja serta menunjuk penjual Migas bagian negara kepada badan hukum lain.

Konstruksi hubungan antara negara dan sumber daya alam Migas menurut UU Migas dilakukan oleh Pemerintah selaku pemegang Kuasa Pertambangan yang dilaksanakan oleh BP Migas. BP Migas melakukan fungsi penguasaan negara berupa tindakan pengendalian dan pengawasan atas pengelolaan Migas yang dilakukan oleh Badan Hukum yang dapat berupa BUMN, BUMD, Koperasi, usaha kecil atau badan hukum swasta maupun Bentuk Usaha Tetap. Hubungan antara BP Migas dan Badan Hukum atau Bentuk Usaha Tetap yang mengelola Migas dilakukan dalam bentuk Kontrak Kerja Sama (KKS) atau kontrak kerja sama lainnya dengan syarat minimal, yaitu: i) kepemilikan sumber daya alam di tangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan, ii) pengendalian manajemen operasi berada pada BP Migas, dan iii) modal dan resiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap (vide Pasal 6 UU Migas). Dari konstruksi hubungan yang demikian terdapat dua aspek penting yang harus diperhatikan. Pertama, Penguasaan negara atas Migas diselenggarakan oleh Pemerintah melalui BP Migas. Kedua, bentuk penguasaan negara terhadap Migas oleh BP Migas hanya sebatas tindakan pengendalian dan pengawasan.

Mahkamah lebih lanjut dalam pendapatnya menyatakan, pembentukan BP Migas dilatarbelakangi oleh kehendak untuk memisahkan antara badan yang melakukan regulasi atau badan yang membuat kebijakan dengan badan yang melakukan bisnis Migas yang kedua fungsi tersebut sebelumnya dilaksanakan oleh Pertamina. BP Migas diharapkan dapat fokus melaksanakan tujuan pengendalian kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi tanpa dibebani kewajiban untuk mencari keuntungan untuk diri sendiri, tetapi lebih fokus untuk kepentingan negara serta menghindari terjadinya pembebanan terhadap keuangan negara melalui APBN. Oleh karena itu, fungsi pengendalian dan pengawasan dalam kegiatan hulu Migas yang sebelumnya dilakukan oleh Pertamina dialihkan menjadi fungsi BP Migas selaku representasi Pemerintah sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan yang menyelenggarakan penguasaan negara atas sumber daya alam Migas. BP Migas adalah BHMN yang tidak merupakan institusi bisnis, melainkan institusi yang mengendalikan dan mengawasi bisnis Migas di sektor hulu. BP Migas oleh Pemerintah dimaksudkan sebagai ujung tombak bagi pemerintah agar secara langsung tidak terlibat bisnis Migas, sehingga Pemerintah tidak dihadapkan secara langsung dengan pelaku usaha.

Bentuk penguasaan tingkat pertama dan utama yang harus dilakukan oleh negara adalah Pemerintah melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam dalam hal ini Migas. BP Migas hanya melakukan fungsi pengendalian dan pengawasan atas pengelolaan Migas, dan tidak melakukan pengelolaan secara langsung, karena pengelolaan Migas pada sektor hulu baik eksplorasi maupun eksploitasi dilakukan oleh BUMN maupun badan usaha bukan milik negara berdasarkan prinsip persaingan usaha yang sehat, efisien, dan transparan.

Menurut Mahkamah, model hubungan antara BP Migas sebagai representasi negara dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dalam pengelolaan Migas mendegradasi makna penguasaan negara atas sumber daya alam Migas yang bertentangan dengan amanat Pasal 33 UUD 1945. Walaupun UU Migas menentukan tiga syarat minimal dalam KKS, yakni i) kepemilikan sumber daya alam di tangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan, ii) pengendalian manajemen operasi berada pada BP Migas, dan iii) modal dan resiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap, tetapi ketiga syarat minimal tersebut tidak serta merta berarti bahwa penguasaan negara dapat dilakukan dengan efektif untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Paling tidak hal itu terjadi, karena tiga hal, yaitu: Pertama, Pemerintah tidak dapat secara langsung melakukan pengelolaan atau menunjuk secara langsung badan usaha milik negara untuk mengelola seluruh wilayah kerja Migas dalam kegiatan usaha hulu; Kedua, setelah BP Migas menandatangani KKS, maka seketika itu pula negara terikat pada seluruh isi KKS, yang berarti, negara kehilangan kebebasannya untuk melakukan regulasi atau kebijakan yang bertentangan dengan isi KKS; Ketiga, tidak maksimalnya keuntungan negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, karena adanya potensi penguasaan Migas keuntungan besar oleh Bentuk Hukum Tetap atau Badan Hukum Swasta yang dilakukan berdasarkan prinsip persaingan usaha yang sehat, wajar dan transparan.

Konstruksi yang Inkonstitusional

Konstruksi penguasaan Migas melalui BP Migas dalam UU Migas menyebabkan negara kehilangan kewenangannya untuk melakukan pengelolaan atau menunjuk secara langsung BUMN untuk mengelola sumber daya alam Migas. Padahal fungsi pengelolaan adalah bentuk penguasaan negara pada peringkat pertama dan paling utama untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Konstruksi keberadaan BP Migas menurut UU Migas menurut Mahkamah, bertentangan dengan konstitusi yang menghendaki penguasaan negara yang membawa manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat, yang seharusnya mengutamakan penguasaan negara pada peringkat pertama yaitu melakukan pengelolaan terhadap sumber daya alam Migas yang membawa kuntungan lebih besar bagi rakyat. Menurut Mahkamah, pengelolaan secara langsung oleh negara atau oleh badan usaha yang dimiliki oleh negara adalah yang dikehendaki oleh Pasal 33 UUD 1945. Hanya dalam batas-batas negara tidak memiliki kemampuan atau kekurangan kemampuan baik dalam modal, teknologi dan manajemen untuk mengelola sumber daya alam Migas, maka pengelolaan sumber daya alam dapat diserahkan kepada badan swasta.

Untuk mengembalikan posisi negara dalam hubungannya dengan sumber daya alam Migas, negara/pemerintah tidak dapat dibatasi tugas dan kewenangannya pada fungsi pengendalian dan pengawasan semata tetapi juga mempunyai fungsi pengelolaan. Menurut Mahkamah, pemisahan antara badan yang melakukan fungsi regulasi dan pembuatan kebijakan dengan lembaga yang melakukan pengelolaan dan bisnis Migas secara langsung, mengakibatkan terdegradasinya penguasaan negara atas sumber daya alam Migas. Walaupun terdapat prioritas pengelolaan Migas diserahkan kepada BUMN sebagaimana telah menjadi pendirian Mahkamah dalam putusan Nomor 002/PUU-I/2003 tanggal 21 Desember 2004, efektivitas penguasaan negara justru menjadi nyata apabila Pemerintah secara langsung memegang fungsi regulasi dan kebijakan (policy) tanpa ditambahi dengan birokrasi dengan pembentukan BP Migas.

Dalam posisi demikian, Pemerintah memiliki keleluasaan membuat regulasi, kebijakan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan atas sumber daya alam Migas. Dalam menjalankan penguasan negara atas sumber daya alam Migas, Pemerintah melakukan tindakan pengurusan atas sumber daya alam Migas dengan memberikan konsesi kepada satu atau beberapa BUMN untuk mengelola kegiatan usaha Migas pada sektor hulu. BUMN itulah yang akan melakukan KKS dengan BUMD, Koperasi, Usaha Kecil, badan hukum swasta, atau Bentuk Usaha Tetap. Dengan model seperti itu, seluruh aspek penguasaan negara yang menjadi amanat Pasal 33 UUD 1945 terlaksana dengan nyata.

Potensi Inefisiensi

Setiap pembentukan organisasi negara dan semua unitnya harus disusun berdasar rasionalitas birokrasi yang efisien dan tidak menimbulkan peluang inefisiensi dan penyalahgunaan kekuasaan. Keberadaan BP Migas sangat berpotensi untuk terjadinya inefisiensi dan diduga, dalam praktiknya, telah membuka peluang bagi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan maka menurut Mahkamah keberadaan BP Migas tersebut tidak konstitusional, bertentangan dengan tujuan negara tentang pengelolaan sumber daya alam dalam pengorganisasian pemerintahan.

Sekiranya pun dikatakan bahwa belum ada bukti bahwa BP Migas telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan, maka cukuplah alasan untuk menyatakan bahwa keberadaan BP Migas inkonstitusional karena berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005, bertanggal 31 Mei 2005 dan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 20 September 2007, sesuatu  yang berpotensi melanggar konstitusi pun bisa diputus oleh Mahkamah sebagai perkara konstitusionalitas.

Jika diasumsikan kewenangan BP Migas dikembalikan ke unit pemerintahan atau kementerian yang terkait tetapi juga masih potensial terjadi inefisiensi, maka hal itu tidak mengurangi keyakinan Mahkamah untuk memutuskan pengembalian pengelolaan sumber daya alam ke Pemerintah karena dengan adanya putusan Mahkamah ini, justru harus menjadi momentum bagi pembentuk UU untuk melakukan penataan kembali dengan mengedepankan efisiensi yang berkeadilan dan mengurangi proliferasi organisasi pemerintahan. Dengan putusan Mahkamah yang demikian maka Pemerintah dapat segera memulai penataan ulang pengelolaan sumber daya alam berupa Migas dengan berpijak pada “penguasaan oleh negara” yang berorientasi penuh pada upaya “manfaat yang sebesar-besarnya bagi rakyat” dengan organisasi yang efisien dan di bawah kendali langsung Pemerintah. Berdasarkan hal-hal tersebut maka dalil para Pemohon sepanjang mengenai BP Migas beralasan hukum.

Meskipun para Pemohon hanya mengujikan Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), dan Pasal 44 UU Migas tetapi oleh karena putusan Mahkamah ini menyangkut eksistensi BP Migas yang dalam UU Migas diatur juga dalam berbagai pasal yang lain, maka Mahkamah tidak bisa lain kecuali harus juga menyatakan pasal-pasal yang mengatur tentang “Badan Pelaksana” dalam pasal-pasal, yaitu frasa “dengan Badan Pelaksana” dalam Pasal 11 ayat (1), frasa “melalui Badan Pelaksana” dalam Pasal 20 ayat (3), frasa “berdasarkan pertimbangan dari Badan Pelaksana dan” dalam Pasal 21 ayat (1), Pasal 41 ayat (2), Pasal 45, Pasal 48 ayat (1), frasa “Badan Pelaksana dan” dalam Pasal 49, Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63, serta seluruh frasa Badan Pelaksana dalam Penjelasan adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Akibat Hukum

Putusan Mahkamah menyangkut status hukum BP Migas dalam UU Migas menimbulkan akibat hukum. Mahkamah perlu menentukan akibat hukum yang timbul setelah putusan ini diucapkan dengan pertimbangan bahwa putusan yang diambil oleh Mahkamah jangan sampai menimbulkan ketidakpastian hukum yang dapat mengakibatkan kekacauan dalam kegiatan usaha Migas.

Apabila keberadaan BP Migas secara serta merta dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan pada saat yang sama juga dinyatakan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka pelaksanaan kegiatan usaha minyak dan gas bumi yang sedang berjalan menjadi terganggu atau terhambat karena kehilangan dasar hukum. Hal demikian dapat menyebabkan kekacauan dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang tidak dikehendaki oleh UUD 1945. Oleh karena itu, Mahkamah harus mempertimbangkan perlunya kepastian hukum organ negara yang melaksanakan fungsi dan tugas BP Migas sampai terbentuknya aturan yang baru;

Mahkamah memandang perlu untuk menegaskan akibat hukum dari putusan ini. Bahwa berdasar Pasal 47 UU MK yang menyatakan, “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum” maka putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum dan berlaku secara prospektif. Dengan demikian segala KKS yang telah ditandatangani antara BP Migas dan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap, harus tetap berlaku sampai masa berlakunya berakhir atau pada masa yang lain sesuai dengan kesepakatan.

Untuk mengisi kekosongan hukum karena tidak adanya lagi BP Migas maka Mahkamah perlu menegaskan organ negara yang akan melaksanakan fungsi dan tugas BP Migas sampai terbentuknya aturan yang baru. Menurut Mahkamah, fungsi dan tugas tersebut harus dilaksanakan oleh Pemerintah selaku pemegang kuasa pertambangan dalam hal ini Kementerian yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab dalam bidang Migas. Segala hak serta kewenangan BP Migas dalam KKS setelah putusan ini, dilaksanakan oleh Pemerintah atau Badan Usaha Milik Negara yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Sidang pengucapan putusan digelar oleh delapan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD (Ketua Pleno), Achmad Sodiki, Harjono, Hamdan Zoelva, M. Akil Mochtar, Muhammad Alim, Maria Farida Indrati, dan Ahmad Fadlil Sumadi. Hakim Konstitusi Harjono dalam putusan ini mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion).

Pengujian materi UU Migas dimohonkan oleh sejumlah organisasi massa (Ormas) dan sejumlah tokoh nasional (perorangan). Ormas dimaksud yaitu Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Lajnah Siyasiyah Hizbut Tahrir Indonesia, Pimpinan Pusat Persatuan Ummat Islam, Pimpinan Pusat Syarikat Islam Indonesia, Pimpinan Pusat/Lajnah Tanfidziyah Syarikat Islam, Pimpinan Pusat Persaudaraan Muslimin Indonesia, Pimpinan Pusat Al-Irsyad Al-Islamiyah, Pimpinan Besar Pemuda Muslimin Indonesia, Al Jami’yatul Washliyah, Solidaritas Juru Parkir, Pedagang Kaki Lima, Pengusaha, dan Karyawan (SOJUPEK). Kemudian pemohon perorangan yaitu K.H. Achmad Hasyim Muzadi, H. Amidhan, Komaruddin Hidayat, Eggi Sudjana, Marwan Batubara, Fahmi Idris, Moch. Iqbal Sullam, H. Ichwan Sam, H. Salahuddin Wahid, Nirmala Chandra Dewi M, HM. Ali Karim OEI, Adhie M. Massardi, Ali Mochtar Ngabalin, Hendri Yosodiningrat, Laode Ida, Sruni Handayani, Juniwati T. Maschun S, Nuraiman, Sultana Saleh, Marlis, Fauziah Silvia Thalib, King Faisal Sulaiman, Soerasa, Mohammad Hatta, M. Sabil Raun, Edy Kuscahyanto, Yudha Ilham, Joko Wahono, Dwi Saputro Nugroho, A.M Fatwa, Hj. Elly Zanibar Madjid, dan Jamilah. (Nur Rosihin Ana)

Putusan inkonstitusionalitas BP Migas bisa diunduh di sini 


SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES