Kamis, 07 Maret 2013

Mendobrak Kerahasiaan Bank


"Abghadhul halâli ‘indallâhi at-thalâqu”
Perkara halal yang paling dibenci di sisi Allah adalah perceraian. (Al-Hadits)


Impian dan harapan dalam membina mahligai rumah tangga yang bahagia dan sejahtera, seketika sirna ketika badai perceraian mengancam keutuhan perkawinan. Perceraian seringkali menimbulkan implikasi yang bukan hanya menimpa pasangan suami atau istri. Terlebih lagi jika hasil pernikahan yang sah telah membuahkan keturunan (anak).

Putusnya ikatan perkawinan karena perceraian seringkali berakhir dengan kerugian materiil yang dialami oleh salah satu pihak yang berselisih. Misalnya masalah kekayaan bersama (harta gono-gini). Harta yang diperoleh selama perkawinan telah diatur dalam Pasal 35 ayat (1), dan Pasal 37 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Pasal 35 ayat (1) menyatakan “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama“. Pasal 37 menyatakan, “Bila perkawinan putus karena perceraian, harta benda diatur menurut hukumnya masing-masing”. Kriteria harta bersama juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 1 huruf f yang berlaku berdasarkan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 yang menyatakan, ”harta kekayaan dalam perkawinan (harta bersama) yaitu harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-istri selama dalam ikatan perkawinan, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.”

Kisruh masalah harta gono-gini dihadapi Magda Safrina saat mengajukan gugatan perceraian terhadap suaminya ke Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh. Dalam gugatan, ibu tiga anak ini mencantumkan sejumlah harta gono-gini dalam bentuk tabungan dan deposito atas nama suaminya. Namun, Suami Safrina dalam jawaban gugatan menyangkalnya.

Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh kemudian minta penjelasan dari pihak bank. Bank Syariah Mandiri KCP Keutapang Aceh Besar dan Bank BRI Cabang KCP Peunayong Banda Aceh dalam jawaban tertulisnya menyatakan tidak dapat memenuhi permintaan dikarenakan menyangkut kerahasiaan data nasabah. Sedangkan Kepala Bank Mandiri Cabang Unsyiah Darussalam dalam keterangan saat hadir dalam sidang perceraian Safrina, menyatakan, deposito suami Safrina senilai Rp. 600 juta. Namun deposito tersebut telah dicairkan beberapa hari sebelum Safrina gugat cerai suaminya. Pihak bank juga menolak ketika Hakim Mahkamah Syari’iyah meminta keterangan lebih lanjut mengenai aliran dana.

Kerahasiaan bank menjadi asas bagi ketiga bank tersebut untuk menolak memberikan keterangan. Hal ini membuat Safrina tidak tahu pasti berapa besar tabungan, deposito dan aset produk perbankan lainnya yang disimpan oleh suaminya. Mahkamah Syar’iyah pun kesulitan menentukan jumlah harta gono-gini.

Seorang diri, tanpa didampingi kuasa hukum, Safrina mendatangi MK untuk mengujikan konstitusionalitas Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU Perbankan), yang menyatakan, “(1) Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi Pihak terafiliasi.” Menurut Safrina, ketentuan Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) UU Perbankan bertentangan dengan Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.

Setiap nasabah harus dilindungi kerahasiaan datanya oleh bank. Namun, ketentuan tersebut juga memberikan pengecualian bahwa data nasabah juga dapat diakses untuk kepentingan perpajakan, penyelesaian piutang bank, kepentingan peradilan perkara pidana, perkara perdata antar bank dengan nasabahnya, kepentingan tukar-menukar informasi antar bank, dan atas persetujuan nasabah.

Dari pengecualian (mustatsnayât) tersebut, terdapat norma yang membolehkan data nasabah dibuka atas perintah pengadilan, yaitu untuk perkara pidana dan perkara perdata antarbank dengan nasabahnya. Oleh karena itu, maka keadilan akan terpenuhi jika data nasabah juga harus dibuka untuk kepentingan peradilan perdata terkait dengan harta bersama (gono-gini).

Keadilan rupanya berpihak kepada Safrina. Setelah tiga kali menjalani proses persidangan, pada persidangan keempat, ikhtiar yang ditempuh Safrina terbayarkan. Senyum ceria menghiasi wajah Safrina ketika permohonannya dikabulkan. Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “termasuk untuk kepentingan peradilan mengenai harta bersama dalam perkara perceraian.”

(Nur Rosihin Ana)


Editorial Majalah Konstitusi Edisi Maret 2013 No. 73