Selasa, 23 Oktober 2012

Mahkamah Tolak Pengujian Rangkap Penyidikan dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi



Pengujian konstitusionalitas kewenangan rangkap penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi oleh kejaksaan yang tersebar dalam beberapa Undang-Undang, memasuki tahap pengucapan putusan. Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (23/10/2012) siang, menggelar sidang pengucapan putusan Nomor 16/PUU-X/2012 ihwal Pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan) dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) serta Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).
Mahkamah dalam amar putusan menyatakan menolak seluruh permohonan yang diajukan oleh Iwan Budi Santoso, Muhamad Zainal Arifin, dan Ardion Sitompul. “Amar putusan, mengadili, menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” Kata Ketua Pleno Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD didampingi delapan hakim anggota, Achmad Sodiki, Muhammad Alim, Maria Farida Indrati, Anwar Usman, Hamdan Zoelva, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, dan M. Akil Mochtar.
Hal yang menjadi objek permohonan Iwan Budi Santoso, Muhamad Zainal Arifin, dan Ardion Sitompul adalah uji konstitusional pasal-pasal yang berkaitan dengan kewenangan rangkap penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi oleh kejaksaan yang tersebar dalam beberapa UU, antara lain Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan; Pasal 39 UU Tipikor; dan Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 50 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU KPK khususnya frasa “atau kejaksaan” serta frasa “dan/atau kejaksaan” dalam UU KPK. Menurut para pemohon, ketentuan tersebut bertentangan dengan asas negara hukum [vide Pasal 1 ayat (3) UUD 1945], pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum [vide Pasal 28D ayat (1) UUD 1945].
Mahkamah berpendapat, UUD 1945 tidak melarang adanya fungsi ganda tersebut. Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang- Undang Dasar” dan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Setiap rancangan Undang-Undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.”
“Berdasarkan kedua pasal tersebut, maka Presiden selain sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan (eksekutif), juga berfungsi sebagai pembentuk Undang-Undang (legislatif) bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan demikian UUD 1945 tidak melarang fungsi ganda tersebut,” kata Hakim Konstitusi Muhammad Alim saat membacakan Pendapat Mahkamah.
Selain itu, Mahkamah juga mengutip beberapa pertimbangan dalam Putusan Mahkamah Nomor 28/PUU-V/2007 tanggal 27 Maret 2008 yang dalam paragraf [3.13.6] antara lain mempertimbangkan, “Dengan demikian kewenangan polisi sebagai penyidik tunggal bukan lahir dari UUD 1945 tetapi dari Undang-Undang,”. Kata “sesuai” dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya memungkinkan alat penegak hukum lainnya seperti kejaksaan diberi wewenang untuk melakukan penyidikan. Sementara itu Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 menyatakan, “Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dengan undang-undang. Undang-Undang yang diturunkan dari amanat Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 itu antara lain adalah UU Kejaksaan. Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan berbunyi, “Melakukan penyidikan terhadap pidana tertentu berdasarkan undangundang”.
Berdasarkan pertimbangan di atas, permohonan para Pemohon supaya kewenangan penyidikan yang diberikan kepada kejaksaan dalam beberapa ketentuan tindak pidana khusus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, tidak beralasan menurut hukum,” tandas Alim. (Nur Rosihin Ana)



SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES

Dalil Permohonan Kontradiktif, Uji Materi KUHAP Tidak Diterima


Pengujian konstitusionalitas Pasal 244 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dimohonkan oleh Dr. H. Idrus M.Kes dinilai kabur (obscuur libel) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) karena terjadinya pertentangan antar dalil dalam permohonan dan antar dalil dalam posita dengan petitum. Alhasil, dalam amar Putusan Nomor 71/PUU-X/2012, Mahkamah menyatakan permohonan Idrus tidak dapat diterima. “Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” Kata Ketua Pleno Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD didampingi delapan hakim anggota, Achmad Sodiki, Muhammad Alim, Maria Farida Indrati, Anwar Usman, Hamdan Zoelva, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, dan M. Akil Mochtar, dalam sidang pengucapan putusan di MK, Selasa (23/10/2012) siang.
Idrus mengujikan ketentuan Pasal 244 KUHAP terkait dengan kewenangan Jaksa Penuntut Umum untuk dapat tidaknya mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung yang selengkapnya berbunyi, “Terhadap putusan, perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh Pengadilan lain selain dari pada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas”. Hal ini menurutnya bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Saat mengajukan permohonan ke MK pada 11 Juli 2012 lalu, Idrus sedang menunggu putusan dari Mahkamah Agung atas permintaan pemeriksaan kasasi Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negri Lubuk Sikaping tertanggal 9 Juli 2008, atas putusan Pengadilan Negri Lubuk Sikaping Nomor 55/Pid/2007/Pn.Lbs tanggal 19 Juni 2008.
Adapun permasalahan yang dihadapi Idrus yaitu pada tahun 2004 yang lalu, Pemerintah melalui Kementerian Sosial memberikan hibah kepada Kabupaten Pasaman berupa 100 ekor sapi untuk 100 kepala keluarga (KK) yang kurang mampu. Saat itu, Idus menjabat sebagai Kepala Dinas Sosial, Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan Kabupaten Pasaman, yang bertugas melakukan pembinaan terhadap kelompok KK miskin tersebut melalui jajaran di bawahnyaPada awal Tahun 2006, Idrus pindah tugas menjadi Kepala Dinas Kesehatan dan Keluarga Berencana Kabupaten Pasaman. Suatu saat, Idrus menegur stafnya yang bernama Hayati, istri Kejari Lubuk Sikaping. Teguran ini rupanya memicu kasus perkara Idrus.
Pada akhir 2006 Kejaksaan Negeri (Kejari) Lubuk Sikaping melakukan pemanggilan kepada Idrus untuk penyelidikan tentang bantuan hibah pada Tahun 2004. Saat itu pula Idrus ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di LP Lubuk Sikaping selama 7 bulan 10 hari. Selama dalam penahanan, Idrus dua kali diperiksa oleh Kejari Lubuk Sikaping dengan tuduhan menerima uang Rp 1.200.000 dari KUBE FM dan mendakwa Idrus telah menyebabkan kerugian negara sebanyak Rp 20.000.000.
Pada 2008 Pengadilan Negeri Lubuk Sikaping membuat putusan bebas murni kepada Idrus dengan Putusan Nomor 55/Pid/2007/PN.Lbs Tanggal 19 Juni 2008, dengan alasan bantuan sapi tersebut adalah merupakan hibah, sesuai dengan Surat Perjanjian Kerjasama antara Kementrian Sosial dengan Bupati Agam Nomor 53/HUK/2004. Kemudian pada tanggal 9 Juli 2008 Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Lubuk Sikaping mengajukan permintaan pemeriksaan Kasasi kepada Mahkamah Agung (MA) dengan dasar hukumnya Yurisprudensi Tetap Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor K/275/Pid/1983, yang bersumber dari Pasal 244 KUHAP, karena JPU beranggapan Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Sikaping adalah bebas tidak murni. Sampai saat ini, Idrus belum mendapatkan keputusan kasasi tersebut dari MA. Merasa diperlakuan diskriminatif dan tidak mendapat kepastian hukum, Idrus lalu mengajukan pengujian Pasal 244 KUHAP ke MK.
Idrus dalam petitum permohonannya meminta dua pilihan kepada Mahkamah untuk memutus Pasal 244 KUHAP. Pertama memohon Mahkamah menyatakan Pasal 244 KUHAP bermakna. Maksudnya, Pasal 244 KUHAP dinyatakan tetap berlaku dan tidak bertentangan dengan UUD 1945, disertai dengan konsekuensi bahwa Yurisprudensi Mahkamah Agung melalui putusan Mahkamah Agung Reg. Nomor 275K/Pid/1983 yang bertentangan dengan Pasal 244 KUHAP menjadi tidak berlaku. Konsekuensi ikutan lain yaitu putusan PN Lubuk Sikaping atas perkara Idrus menjadi berkekuatan hukum tetap.
Kedua, Idrus juga memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 244 KUHAP tidak bermakna, maksudnya menyatakan Pasal 244 KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum tetap, dengan konsekuensi bahwa semua ketentuan yang berdasar pada ketentuan Pasal 244 KUHAP, salah satunya Yurisprudensi Mahkamah Agung melalui Putusan Mahkamah Agung Reg. Nomor 275K/Pid/1983, juga dinyatakan tidak bermakna, sehingga Putusan PN Lubuk Sikaping atas perkara Idrus menjadi memiliki kekuatan hukum tetap.
Menurut Mahkamah, terdapat pertentangan antar dalil-dalil dalam posita maupun antara posita dan petitum dalam permohonan Idrus. Di satu sisi Idrus mendalilkan Pasal 244 KUHAP tidak bermakna. Di sisi lain, Idrus mendalilkan Pasal 244 KUHAP bermakna. Selain itu, apabila dalil dalam posita tersebut dikaitkan dengan petitum, maka antara dalil tersebut dan petitum juga bertentangan. Terlebih lagi Idrus memohon supaya Putusan PN Lubuk Sikaping atas perkara Idrus menjadi memiliki kekuatan hukum tetap.
“Atas dasar pertentangan-pertentangan antar dalil-dalil dalam permohonan Pemohon dan antara dalil-dalil dalam posita dengan petitum, maka menurut Mahkamah, permohonan a quo kabur (obscuur libel). Oleh karena itu Mahkamah tidak perlu mempertimbangkan lebih lanjut tentang kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, dan pokok permohonan,” kata Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi saat membacakan poin Kewenangan Mahkamah dalam putusan ini. (Nur Rosihin Ana)

Download putusannyanya di sini

SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES

Kamis, 18 Oktober 2012

Tiada Bukti, Mahkamah Tolak Permohonan Pasangan Cabup Halmahera Tengah Edi Langkara-Yuslan Idris


Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada) Kabupaten Halmahera Tengah (Halteng), Provinsi Maluku Utara Tahun 2012 yang diajukan oleh pasangan Edi Langkara-Yuslan Idris (Edi-Yus) berbuah penolakan di persidangan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah dalam dalam sidang yang digelar pada Kamis, (18/10/2012) siang, menyatakan menolak seluruh permohonan pasangan Edi-Yus. Mahkamah juga menolak eksepsi
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kab. Halteng selaku termohon, dan menolak eksepsi pasangan M. Al Yasin Ali-Soksi Hi. Ahmad (Acim-Soksi) selaku pihak terkait.
“Amar putusan, mengadili, menyatakan, dalam eksepsi, menolak eksepsi termohon dan eksepsi pihak terkait. Dalam pokok permohonan, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua Pleno Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD didampingi Achmad Sodiki, M. Akil Mochtar, Muhammad Alim, Hamdan Zoelva, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Anwar Usman, saat sidang pengucapan putusan Nomor 67/PHPU.D-X/2012.
KPU Halteng dan pasangan Acim-Soksi dalam eksepsinya menyatakan permohonan Edi-Yus tidak berkait dengan sengketa hasil penghitungan suara sehingga permohonan Edi-Yus kabur. Acim-Soksi juga menilai permohonan Edi-Yus salah objek (error in objecto). Sebaliknya, menurut Mahkamah, eksepsi tersebut tidak beralasan hukum. “Menurut Mahkamah, objek permohonan Pemohon pada esensinya adalah keberatan terhadap Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pasangan Calon Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Halmahera Tengah Tahun 2012 tanggal 25 September 2012 sehingga eksepsi a quo menurut Mahkamah adalah tidak tepat dan tidak beralasan menurut hukum,” kata Hakim Konstitusi Muhammad Alim saat membacakan Pendapat Mahkamah dalam putusan ini.
Sementara itu, mengenai pokok permohonan, pasangan Edi-Yus mendalilkan terjadinya pelanggaran Pemilukada yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif sehingga mempengaruhi hasil perolehan suara, yaitu pelanggaran yang dilakukan oleh KPU Halteng pada tahapan pemilihan anggota PPK dan PPS di seluruh wilayah Kab. Halteng dengan mengangkat pendukung Acim-Soksi.
Terhadap dalil tersebut, KPU Halteng mengemukakan bahwa pengumuman seleksi anggota PPK dan PPS dilaksanakan sesuai prosedur dan tidak diarahkan. Selain itu, pengumuman seleksi telah ditempelkan di tempat-tempat umum yang dapat diketahui masyarakat.
Mahkamah berpendapat tidak ada bukti yang cukup meyakinkan bahwa seleksi PPS dan PPK tersebut hanya ditujukan bagi para pendukung Acim-Soksi. “Kalau pun benar ada anggota PPS dan PPK yang nampak mendukung salah satu pasangan calon tertentu, dalam hal ini Pihak Terkait (pasangan Acim-Soksi), tidak terbukti hal itu terjadi secara sistematis, terstruktur dan masif. Sebagaimana terungkap dalam persidangan bahwa gejala keberpihakan anggota PPS dan PPK tidak saja kepada Pihak Terkait tetapi juga kepada Pemohon. Oleh karenanya, menurut Mahkamah, dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” lanjut Hakim Konstitusi Muhammad Alim.
Kemudian dalil Edi-Yus mengenai adanya Daftar Pemilih Tetap (DPT) ganda dan fiktif yang tersebar pada delapan kecamatan se-Kabupaten Halmahera Tengah. Terhadap hal ini, KPU Halteng mememaprkan proses pendataan dan pemutakhiran data dilakukan sejak tahun 2011 hingga akhir tahun 2011, dari jumlah penduduk sebanyak 48.693 jiwa. Selanjutnya pada 20 April 2012 dikeluarkan DP-4 sejumlah 30.403 pemilih kemudian diserahkan ke KPU. Setelah diserahkan ke KPU, DP-4 tersebut diproses menjadi DPS dan terdapat penambahan sehingga DPS berjumlah 32.033 pemilih. Setelah itu ditetapkan menjadi DPT sejumlah 32.761 pemilih. Penambahan data pemilih terjadi ketika penetapan DPT di tingkat PPS pada tanggal 18-19 Juni 2012 dan hampir sebagian besar disetujui oleh saksi dari kedua pasangan calon. Pada saat penetapan DPT tanggal 4 Agustus 2012, keberatan dari saksi pasangan Edi-Yus mengenai lima warga Desa Wedana yang belum masuk dalam daftar pemilih sementara diakomodasi oleh KPU Halteng dan dimasukkan ke dalam DPS. Begitu juga mengenai keberatan dari saksi pasangan Edi-Yus terkait 25 orang warga Desa Fidi Jaya yang dianggap fiktif dan ganda telah diverifikasi dan hasilnya tidak ada pemilih ganda dan fiktif.
Mahkamah berpendapat bahwa sebagaimana telah dinyatakan dalam putusan-putusan Mahkamah sebelumnya, bahwa dalam pelaksanaan tahapan Pemilu, penyusunan daftar pemilih sebenarnya bukan saja merupakan kewajiban KPU Halteng semata, melainkan juga menjadi kewajiban Pemerintah Daerah untuk menyediakan data kependudukan yang benar serta peran Panwaslukada dalam mengawasi tahapan penyelenggaraan penyusunan daftar pemilih agar sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Meskipun demikian, hal tersebut tentu tidak dapat dijadikan alasan pembenar bagi KPU pada umumnya, KPU Halteng pada khususnya untuk terus menerus mengabaikan dan menyederhanakan persoalan DPT (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108-109/PHPU.B-VII/2009, bertanggal 12 Agustus 2009).
Dalam permasalahan DPT ini, Mahkamah menilai tidak terdapat bukti mengenai berapa jumlah riil penambahan ataupun pengurangan suara secara tidak sah yang terjadi di lapangan. Lagipula, seandainya pun pasangan Edi-Yus dapat membuktikan jumlah riil adanya penambahan ataupun pengurangan jumlah suara dalam Pemilukada Kab. Halteng, tidak ada bukti yang dapat memastikan kepada pasangan calon tertentu pergeseran jumlah suara baik berupa penambahan ataupun pengurangan tersebut telah terjadi. Sebab selain dapat menambah atau mengurangi jumlah suara Pemohon, dapat pula para calon pemilih yang dianggap memiliki DPT bermasalah tersebut justru tidak memberikan suaranya sama sekali kepada Pasangan Calon manapun. Oleh karenanya, menurut Mahkamah, dalil pasangan Edi-Yus ini juga tidak terbukti secara hukum.
Begitu pula dalil pasangan Edi-Yus mengenai adanya pelanggaran-pelanggaran lainnya, menurut Mahkamah, tidak dibuktikan dengan bukti yang cukup meyakinkan bahwa pelanggaran tersebut terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif yang secara signifikan mempengaruhi perolehan suara pasangan Edi-Yus sehingga melampaui perolehan suara pasangan Acim-Soksi. “Mahkamah berpendapat Pemohon tidak dapat membuktikan dalil-dalil dan alasan-alasan hukum permohonannya,” tandas Muhammad Alim. (Nur Rosihin Ana).


Putusan Pemilukada Halmahera Tengah bisa didownload di sini

SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES

Rabu, 03 Oktober 2012

“Ne Bis In Idem”, Uji Konstitusionalitas Materi UU Perkim Tidak Diterima

Pengujian konstitusionalitas Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU Perkim) yang diajukan oleh Adittya Rahman GS, Jefri Rusadi, dan Erlan Basuki, tidak dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi (MK). “Amar putusan, mengadili, menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua Pleno Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD didampingi Hakim Konstitusi Achmad Sodiki, Muhammad Alim, Maria Farida Indrati, Hamdan Zoelva, Harjono, Anwar Usman, Ahmad Fadlil Sumadi, dan M. Akil Mochtar, saat membacakan putusan Nomor 12/PUU-X/2012, Rabu (3/10/2012) siang di ruang sidang pleno lt. 2 gedung MK.
Pasal 22 ayat (3) UU Perkim menyatakan, "Luas lantai rumah tunggal dan rumah deret memiliki ukuran paling sedikit 36 (tiga puluh enam) meter persegi."
Mahkamah berpendapat, inti persoalan uji konstitusionalitas Pasal 22 ayat (3) UU Perkim yang diajukan oleh  Adittya Rahman GS, Jefri Rusadi, dan Erlan Basuki (permohonan Nomor 12/PUU-X/2012) adalah sama dengan permohonan yang diajukan oleh Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Pengembang Perumahan Dan Permukiman Seluruh Indonesia (DPP APERSI), yaitu permohonan Nomor 14/PUU-X/2012 yang juga mengujikan konstitusionalitas Pasal 22 ayat (3) UU Perkim.  
Mahkamah dalam Putusan Nomor 14/PUU-X/2012 yang juga dibacakan pada 3 Oktober 2012, telah memutus pasal dan ayat yang sama dengan alasan konstitusionalitas dalam permohonan Adittya Rahman GS dkk (permohonan Nomor 12/PUU-X/2012). Sehingga pertimbangan Mahkamah dalam permohonan Nomor 14/PUU-X/2012 yang diajukan oleh DPP APERSI, mutatis mutandis menjadi pertimbangan pula dalam permohonan Adittya Rahman GS dkk. Oleh karena itu, Mahkamah menyatakan permohonan Adittya Rahman GS dkk ne bis in idem.
Untuk diketahui, Mahkamah dalam Putusan Nomor 14/PUU-X/2012 menyatakan mengabulkan seluruh permohonan DPP APERSI. Mahkamah menyatakan Pasal 22 ayat (3) UU Perkim bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pembacaan putusan Nomor 14/PUU-X/2012 juga dilaksanakan pada 3 Oktober 2012, sesaat sebelum pembacaan 12/PUU-X/2012. (Nur Rosihin Ana)

Download putusan nomor 12/PUU-X/2012
Download putusan Nomor 14/PUU-X/2012: "Ketentuan rumah minimalis tipe 36 bertentangan dengan UUD 1945". 


SATISFY KARIMUN JAVA IN YOUR HOLIDAY WITH OUR SERVICES