Kamis, 07 Maret 2013

Mendobrak Kerahasiaan Bank


"Abghadhul halâli ‘indallâhi at-thalâqu”
Perkara halal yang paling dibenci di sisi Allah adalah perceraian. (Al-Hadits)


Impian dan harapan dalam membina mahligai rumah tangga yang bahagia dan sejahtera, seketika sirna ketika badai perceraian mengancam keutuhan perkawinan. Perceraian seringkali menimbulkan implikasi yang bukan hanya menimpa pasangan suami atau istri. Terlebih lagi jika hasil pernikahan yang sah telah membuahkan keturunan (anak).

Putusnya ikatan perkawinan karena perceraian seringkali berakhir dengan kerugian materiil yang dialami oleh salah satu pihak yang berselisih. Misalnya masalah kekayaan bersama (harta gono-gini). Harta yang diperoleh selama perkawinan telah diatur dalam Pasal 35 ayat (1), dan Pasal 37 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Pasal 35 ayat (1) menyatakan “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama“. Pasal 37 menyatakan, “Bila perkawinan putus karena perceraian, harta benda diatur menurut hukumnya masing-masing”. Kriteria harta bersama juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 1 huruf f yang berlaku berdasarkan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 yang menyatakan, ”harta kekayaan dalam perkawinan (harta bersama) yaitu harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-istri selama dalam ikatan perkawinan, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.”

Kisruh masalah harta gono-gini dihadapi Magda Safrina saat mengajukan gugatan perceraian terhadap suaminya ke Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh. Dalam gugatan, ibu tiga anak ini mencantumkan sejumlah harta gono-gini dalam bentuk tabungan dan deposito atas nama suaminya. Namun, Suami Safrina dalam jawaban gugatan menyangkalnya.

Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh kemudian minta penjelasan dari pihak bank. Bank Syariah Mandiri KCP Keutapang Aceh Besar dan Bank BRI Cabang KCP Peunayong Banda Aceh dalam jawaban tertulisnya menyatakan tidak dapat memenuhi permintaan dikarenakan menyangkut kerahasiaan data nasabah. Sedangkan Kepala Bank Mandiri Cabang Unsyiah Darussalam dalam keterangan saat hadir dalam sidang perceraian Safrina, menyatakan, deposito suami Safrina senilai Rp. 600 juta. Namun deposito tersebut telah dicairkan beberapa hari sebelum Safrina gugat cerai suaminya. Pihak bank juga menolak ketika Hakim Mahkamah Syari’iyah meminta keterangan lebih lanjut mengenai aliran dana.

Kerahasiaan bank menjadi asas bagi ketiga bank tersebut untuk menolak memberikan keterangan. Hal ini membuat Safrina tidak tahu pasti berapa besar tabungan, deposito dan aset produk perbankan lainnya yang disimpan oleh suaminya. Mahkamah Syar’iyah pun kesulitan menentukan jumlah harta gono-gini.

Seorang diri, tanpa didampingi kuasa hukum, Safrina mendatangi MK untuk mengujikan konstitusionalitas Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU Perbankan), yang menyatakan, “(1) Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi Pihak terafiliasi.” Menurut Safrina, ketentuan Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) UU Perbankan bertentangan dengan Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.

Setiap nasabah harus dilindungi kerahasiaan datanya oleh bank. Namun, ketentuan tersebut juga memberikan pengecualian bahwa data nasabah juga dapat diakses untuk kepentingan perpajakan, penyelesaian piutang bank, kepentingan peradilan perkara pidana, perkara perdata antar bank dengan nasabahnya, kepentingan tukar-menukar informasi antar bank, dan atas persetujuan nasabah.

Dari pengecualian (mustatsnayât) tersebut, terdapat norma yang membolehkan data nasabah dibuka atas perintah pengadilan, yaitu untuk perkara pidana dan perkara perdata antarbank dengan nasabahnya. Oleh karena itu, maka keadilan akan terpenuhi jika data nasabah juga harus dibuka untuk kepentingan peradilan perdata terkait dengan harta bersama (gono-gini).

Keadilan rupanya berpihak kepada Safrina. Setelah tiga kali menjalani proses persidangan, pada persidangan keempat, ikhtiar yang ditempuh Safrina terbayarkan. Senyum ceria menghiasi wajah Safrina ketika permohonannya dikabulkan. Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “termasuk untuk kepentingan peradilan mengenai harta bersama dalam perkara perceraian.”

(Nur Rosihin Ana)


Editorial Majalah Konstitusi Edisi Maret 2013 No. 73

Selasa, 05 Februari 2013

Tiada lagi Larangan Penggunaan Lambang Negara


Lambang negara Garuda Pancasila, bendera Negara Sang Merah Putih dan Bahasa Indonesia, merupakan jati diri dan identitas Bangsa Indonesia. Keempat simbol negara tersebut merupakan cerminan dari kedaulatan negara di dalam tata pergaulan dengan negara lain. Selain itu, menjadi cerminan kemandirian dan eksistensi negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Oleh karena itu, perlu diadakan suatu perangkat hukum yang mengatur mengenai keempat simbol tersebut sehingga terjadi persamaan interpretasi mengenai simbol-simbol negara dimaksud.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan (UULambang Negara). Bentuk, ukuran, dan warna Lambang Negara Garuda Pancasila digali dari unsur kebudayaan, filosofis, dan ideologis (landasan idiil) yang merupakan pandangan hidup bangsa Indonesia. Hal ini sebagaimana diurai dalam Pasal 48 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 46, Pasal 47 ayat (2), Pasal 48 ayat (1) dan ayat (2) huruf b dan huruf e, dan Pasal 49 huruf c UULambang Negara.
Lambang negara Garuda Pancasila tidak dapat dipisahkan dengan Pancasila sebagai milik dari seluruh elemen bangsa Indonesia. Tidak ada alasan untuk menjauhkan lambang Garuda Pancasila dari jangkauan rakyat sebagai pemiliknya, baik secara fisik maupun dengan rekayasa peraturan perundang-undangan, sepanjang digunakan sebagai wujud atau eksploitasi dari rasa nasionalisme dan kecintaan kepada bangsa dan negara Indonesia.
Namun, realitas mengatakan sebaliknya. Penggunaan lambang negara oleh warga negara, justru berbuah penjara. Misalnya yang menimpa Erwin Agustian dan Eko Santoso. Kecintaan dan nasionalisme sebagai warga negara Indonesia, menjadi spirit bagi Erwin dan Eko untuk menggunakan lambang negara Garuda Pancasila. Namun idealisme Pancasila dan nasionalisme Indonesia yang ditunjukkan oleh Erwin dan Eko, justru mengantarkan dua orang buruh di Purwakarta ini ke bilik jeruji besi. Keduanya menjadi korban atas pelaksanaan UULambang Negara.
Bersama dengan Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), Ryan Muhammad, Erwin Agustian dan Eko Santoso mengajukan permohonan pengujian materi UU Lambang Negara ke Mahkamah Konstitusi. Materi yang diujikan yaitu Pasal 57 huruf c dan huruf d UULambang Negara.
Pasal 57 huruf c menyatakan, “Setiap orang dilarang membuat Lambang untuk perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan yang sama atau menyerupai Lambang Negara.”
Pasal 57 huruf d menyatakan, ”Setiap orang dilarang menggunakan Lambang Negara untuk keperluan selain yang diatur dalam Undang-Undang ini.”
Larangan tersebut diperkuat dengan ancaman pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 69 huruf c yang menyatakan, “Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah), setiap orang yang: … c. dengan sengaja menggunakan Lambang Negara untuk keperluan selain yang diatur dalam Undang-Undang ini”.
Para Pemohon berdalil, lambang negara Garuda Pancasila yang identik dengan Pancasila adalah milik seluruh rakyat Indonesia. Penggunaan lambang negara tidak dapat dibatasi pada sebagian kalangan saja dengan tidak mengenyampingkan tindakan-tindakan yang ditujukan untuk merendahkan lambang negara Garuda Pancasila itu sendiri.
Pasal 57 huruf c dan d adalah tidak sesuai dengan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia. Seharusnya lambang negara harus “membumi” dan dimasyarakatkan kepada seluruh warga negara Indonesia, agar mengakar dan tidak jauh atau bahkan terpisahkan dari bangsa Indonesia sendiri sebagai pemiliknya. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai media dan cara atau model, kreativitas atau upaya sepanjang tidak merusak atau merubah bentuk lambang Negara itu sendiri.
Ketentuan Pasal 57 huruf c yang memuat larangan membuat lambang untuk perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan yang sama atau menyerupai lambang negara adalah tidak sesuai dengan semangat kebebasan berpikir, berkehendak, serta berserikat dan berkumpul untuk mengekspresikan kehendaknya di muka umum, dengan tidak mengenyampingkan tindakan-tindakan pihak tertentu yang bermakna sebagai klaim miliknya sendiri atau golongan tertentu. Demikian pula dengan Pasal 57 huruf d, larangan menggunakan lambang Negara untuk keperluan lain selain yang diatur dalam undang-undang ini adalah tidak sesuai dengan Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia.
Milik Pejabat
Ketentuan dalam UU Lambang Negara tersebut justru menjauhkan masyarakat dari lambang negaranya sendiri. Lambang negara seolah-olah hanya milik pejabat Negara atau kelompok tertentu saja. Hal ini bertentangan dengan Pasal 28Iayat (2) dan Pasal 32 ayat (1) UUD 1945.
Memperkuat dalil, para Pemohon pun menghadirkan Prof. Dr. Asvi Warman Adam. Asvi pernah menjadi saksi ahli dalam kasus buruh di Purwakarta yang stempelnya menggunakan lambang Garuda. Asvi juga saksi ahli dalam kasus Timnas PSSIyang menggunakan lambang Garuda pada kaos seragamnya. Menurut Asvi, pasal yang mengancam pidana bagi pengguna lambang yang tidak sesuai ketentuan UUadalah hal yang tidak dapat diterima. Kasus Erwin dan Eko, dua buruh di Purwakarta, ternyata perkara tersebut muncul atas aduan organisasi masyarakat pesaing kedua buruh tersebut. Artinya ketentuan mengenai lambang hanya dipergunakan sebagai alat untuk persaingan politik. “Persoalan Garuda Pancasila ini juga digunakan untuk kepentingan politik, untuk kepentingan menyingkirkan, menindas, atau menentang lawan politik,” kata Asvi dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi pada 11 April 2012.
Sementara dalam gugatan terhadap Timnas PSSI, putusan PN tidak kunci atau apa yang ada Mahkamah Konstitusi, dan itu kan ada gambar Garuda Pancasila,” lanjut Asvi.
Mahkamah berpendapat, tanda dalam perspektif ilmu tanda (semiotik) adalah sesuatu yang mewakili sesuatu. Secara umum terdapat tiga bentuk hubungan antara penanda (signifier) dengan petanda (signified), yaitu ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah sesuatu yang dipilih menjadi penanda karena keserupaan bentuknya dengan objek yang diwakili. Indeks adalah sesuatu yang dipilih menjadi penanda karena mengisyaratkan objek yang diwakilinya. Sedangkan simbol adalah penanda yang dipilih karena disepakati secara konvensional atau lazim dipergunakan oleh masyarakat untuk mewakili objek tertentu.
Objek petanda bukan hanya bersifat fisik, melainkan meliputi juga nilai-nilai atau konsepsi-konsepsi. Negara Indonesia sebagai suatu kompleks suku bangsa, nilai, dan perilaku; atau sebagai kompleks fisik/benda/alam dan budaya, mutlak memerlukan sebuah penanda untuk menyebut secara ringkas/mudah keberadaan kompleks suku bangsa, nilai, dan perilaku dimaksud. Tanda yang dipergunakan untuk mewakili negara Indonesia, dengan demikian haruslah mencerminkan kompleksitas yang dikandung oleh negara Indonesia.
Bukan Ikon
Burung Garuda Pancasila bukan sebuah ikon karena tidak memiliki kemiripan/keserupaan secara langsung dengan konsep negara Indonesia. Garuda Pancasila dipilih mewakili bangsa-negara Indonesia berdasarkan kesepakatan rakyat Indonesia. Tanda yang muncul dari kesepakatan bersama ini lebih tepat disebut sebagai simbol, atau salah satu variannya, yaitu lambang. Dalam lambang Garuda Pancasila tersebut terkandung keseluruhan identitas bangsa-negara Indonesia, yang meliputi pula nilai-nilai luhur yang dicita-citakan bangsa-negara Indonesia. Namun keterwakilan semua bentuk identitas negara-bangsa Indonesia ke dalam bentuk Garuda Pancasila, tidak berarti bahwa keragaman yang dimiliki tidak boleh dipergunakan secara sendiri-sendiri. Setiap identitas bagian negara-bangsa Indonesia tetap dapat dipergunakan secara terpisah.
Lambang mewakili keseluruhan negara-bangsa Indonesia, sehingga individu warga negara Indonesia sebagai bagian dari negara-bangsa Indonesia tersebut, memiliki hak untuk mempergunakan lambang negara atau identitas lain dari negara, maupun mempergunakan bentuk-bentuk identitas lainnya secara terpisah maupun bersama-sama.
Lambang negara yang mengandung makna tentu harus dihormati dan dihargai secara terus-menerus dari generasi ke generasi. Meskipun dalam konteks tertentu makna suatu tanda selalu bersifat relatif, yang artinya dapat berubah seturut waktu. Namun upaya melanggengkan nilai-nilai negara-bangsa adalah hal yang harus diupayakan sebaik mungkin demi keberlangsungan keberadaan negara-bangsa bersangkutan.
Salah satu hal yang dapat dilakukan untuk mewariskan keberadaan lambang negara (baik dari segi nilai maupun wujud fisiknya) adalah dengan membakukan standar bentuk lambang negara dimaksud. Kebakuan bentuk lambang memang tidak dapat menjamin bahwa makna lambang tersebut akan ikut ajeg atau tidak berubah. Begitu pula sebaliknya, bahwa keajegan makna lambang negara tidak menjamin tidak berubahnya bentuk lambang negara. Namun demikian, dalam rangka melanggengkan makna lambang negara, sekecil apapun usaha yang dilakukan negara, menurut Mahkamah hal tersebut memang sepatutnya dilakukan.
Kekang Ekspresi
Mahkamah lebih lanjut dalam pendapatnya menyatakan, larangan pada ketentuan Pasal 57 huruf c UUlambang negara, tidak dimaksudkan untuk mengekang hak-hak warga negara dalam menggunakan lambang negara Indonesia. Penggunaan bentuk-bentuk yang sama atau mirip lambang negara sebagai lambang perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan, memunculkan potensi kerugian bagi warga negara secara keseluruhan. Kemiripan atau kesamaan bentuk lambang antara negara dengan perseorangan atau organisasi lain di luar negara akan memunculkan anggapan bahwa negara dan pihak bukan negara memiliki kemiripan atau kesamaan dalam berbagai hal, sehingga menimbulkan kerancuan.
Pembatasan penggunaan lambang negara merupakan bentuk pengekangan ekspresi dan apresiasi warga negara akan identitasnya sebagai warga negara. Pengekangan yang demikian dapat mengurangi rasa memiliki yang ada pada warga negara terhadap lambang negaranya, dan bukan tidak mungkin dalam derajat tertentu mengurangi kadar nasionalisme, yang tentunya justru berlawanan dengan maksud dibentuknya UUtersebut. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat dalil para Pemohon beralasan menurut hukum.
Pasal 57 huruf d UU adalah larangan yang diikuti ancaman pidana yang terdapat dalam Pasal 69 huruf c. Dengan demikian terdapat hubungan yang erat antara kedua pasal tersebut sebagai suatu ketentuan hukum yang berlaku. Oleh karena itu, maka pertimbangan hukum Mahkamah terhadap Pasal 57 huruf d tersebut berlaku secara mutatis mutandis terhadap Pasal 69 huruf c.
Alhasil, Mahkamah dalam putusannya menyatakan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. “Amar putusan, mengadili, menyatakan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian,” kata Ketua Pleno Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD saat membacakan putusan Nomor 4/PUU-X/2012 di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (15/1/2013). Mahkamah menyatakan Pasal 57 huruf d dan Pasal 69 huruf c UULambang Negara bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (Nur Rosihin Ana)

KONSTITUSI Edisi Februari 2013 No.72


Selengkapnya putusan pengujian UU Lambang Negara bisa dibaca di sini

Selasa, 29 Januari 2013

Pemilukada Mamberamo Tengah: Mahkamah Tolak Permohonan Eremen-Leonard


Dalil-dalil yang mendasari permahononan keberatan Pasangan Eremen Yogosam-Leonard Doga (Eremen-Leonard) terhadap hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada) Kabupaten Mamberamo Tengah (Mamteng), tidak terbukti menurut hukum. Menurut Mahkamah, tidak terjadi pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan massif dalam pelaksanaan Pemilukada Kabupaten Mamberamo Tengah Tahun 2012.

Walhasil, dalam amar putusan, Mahkamah menyatakan menolak permohonan Eremen-Leonard. “Amar putusan, mengadili, menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua Pleno Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD dalam sidang pengucapan putusan Nomor 1/PHPU.D-XI/2013 ihwal perselisihan hasil Pemilukada Mamteng Tahun 2012, Selasa (29/01/2013) di ruang Pleno lt. 2 gedung Mahkamah Konstitusi.

Dalil-dalil pasangan Eremen-Leonard tersebut yaitu mengenai tidak adanya pemungutan suara di Kampung Dogobak, Binime, Yagabur, dan Kampung Pelanme yang kesemuanya masuk dalam Distrik Kelila. Menurut Eremen-Leonard, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Mamteng hanya membagi dan membuat Berita Acara untuk enam TPS di empat kampung tersebut. Selain itu, KPU Mamteng juga mengubah perolehan suara para pasangan calon, sehingga rekapitulasi versi PPD Kelila berbeda dengan rekapitulasi KPU Mamteng.

KPU Mamteng membantah dalil tersebut dan menyatakan pemungutan suara di distrik Kelila menggunakan sistem Noken. Selain itu, saksi-saksi yang diajukan Pemohon tidak menerangkan secara terperinci mengenai tidak dilaksanakannya pemungutan suara di empat kampung tersebut. Para saksi juga tidak menjelaskan secara terperinci mengenai adanya perbedaan hasil rekapitulasi.

KPU Mamteng juga membantah dalil Eremen-Leonard mengenai adanya rekayasa di Distrik Megambilis. Sebaliknya, KPU Mamteng menyatakan justru Eremen-Leonard yang berkolusi dengan Sekretaris dan seorang Anggota PPD Megambilis untuk membuat rekapitulasi perolehan suara fiktif dalam Formulir Model DA-KWK.KPU, Model DA.1-KWK.KPU, dan Lampiran Model DA.1- KWK.KPU yang ditandatangani oleh Sekretaris dan Anggota PPD Distrik
Megambilis tersebut. Rekapitulasi fiktif tersebut ditolak KPU Mamteng karena dibuat secara tidak sah.

Begitu pula dalil mengenai rekapitulasi tingkat PPD Distrik Eragayam dan tingkat Kabupaten yang tidak memasukkan hasil dari TPS 1 Kampung Arsbol, TPS 1 Kampung Pagale, dan TPS 1 Kampung Wanilok. Dalil ini bukan hanya dibantah oleh KPU Mamteng, tapi juga oleh pasangan R. Ham Pagawak-Yonas Kenelak (Ham-Yonas) selaku Pihak Terkait. KPU Mamteng menyatakan enam belas TPS di Distrik Eragayam telah direkapitulasi, yang meliputi juga TPS 1 Kampung Arsbol, TPS 1 Kampung Pagale, dan TPS 1 Kampung Wanilok. Hasil rekapitulasi PPD Distrik Eragayam menunjukkan perolehan suara pasangan calon nomor urut 4 adalah 24 suara. Hasil rekapitulasi PPD tersebut dijadikan dasar penghitungan dalam rekapitulasi tingkat kabupaten.

Dengan demikian, tidak terbukti dalil-dalil pasangan Eremen-Leonard mengenai pelanggaran yang cukup serius dalam Pemilukada Mamteng. “Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, tidak ditemukan adanya pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan massif dalam pelaksanaan Pemilukada Kabupaten Mamberamo Tengah Tahun 2012,” kata Hakim Konstitusi maria Farida Indrati membacakan Pendapat Mahkamah.

Sementara itu, untuk permohonan perselisihan hasil Pemilukada Mamteng yang diajukan oleh pasangan Demi Wanimbo-Naftali Karoba (Demi-Naftali). Demi-Naftali merupakan bakal pasangan calon bupati dan wakil bupati dalam Pemilukada Mamteng Tahun 2012.

Mahkamah dalam amar putusan Nomor 2/PHPU.D-XI/2013 menyatakan permohonan Demi-Naftali tidak dapat diterima. Mahkamah dalam konklusinya menyatakan Demi-Naftali tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan sehingga mahkamah tidak lagi mempertimbangkan mengenai eksepsi KPU Mamteng, tenggang waktu pengajuan permohonan, dan pokok permohonan. “Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo,” kata ketua Panel Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD. (Nur Rosihin Ana).

Selengkapnya putusan permohonan Eremen-Leonard di sini
Selengkapnya putusan permohonan Demi-Naftali di sini

Selasa, 15 Januari 2013

MK: Konstitusional, Undur Diri Anggota TNI dan Polri Peserta Pemilukada


Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) diperbolehkan mendaftarkan diri sebagai bakal pasangan calon peserta pemilihan kepala daerah maupun wakil kepala daerah (Pemilukada) dengan syarat mengundurkan diri dari jabatannya.  “Asalkan menyerahkan surat pernyataan pengunduran diri dari jabatan negerinya,” kata Hakim Konstitusi Achmad Sodiki saat membacakan Pendapat Mahkamah dalam Putusan Nomor 67/PUU-X/2012, Senin (15/1/2013) di ruang sidang pleno lt. 2 gedung Mahkamah Konstitusi (MK).
Sidang pengucapan putusan pengujian Pasal 59 ayat (5) huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), ini diajukan oleh Indonesian Human Rights Committe For Social Justice (IHCS). Persidangan dilaksanakan sembilan Hakim Konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD (Ketua Pleno), Achmad Sodiki, Hamdan Zoelva, Akil Mochtar, Harjono, Muhammad Alim, Maria Farida Indrati, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Anwar Usman.
Mahkamah dalam amar putusan menyatakan menolak permohonan IHCS. “Amar putusan, mengadili, menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua Pleno Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD membacakan amar putusan.
Mahkamah berpendapat semua warga negara mempunyai kedudukan yang sama di bidang politik, termasuk anggota TNI dan anggota Polri yang memiliki hak yang sama untuk memilih dan dipilih dalam Pemilu. Hal tersebut bersesuaian dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya,” dan Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan, “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Lebih lanjut Mahkamah berpendapat, larangan anggota TNI dan anggota Polri ikut serta dalam pesta demokrasi Pemilu dalam hal ini Pemilukada dalam ketentuan Pasal 39 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dan Pasal 28 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, telah dianulir oleh Pasal 59 ayat (5) huruf g UU Pemda yang menyatakan, “Partai politik atau gabungan partai politik pada saat mendaftarkan calon partai politik, wajib menyerahkan: ... g. surat pernyataan mengundurkan diri dari jabatan negeri bagi calon yang berasal dari pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.”
“Berdasarkan Pasal a quo, anggota TNI dan anggota Polri diperbolehkan mendaftarkan diri sebagai bakal pasangan calon peserta pemilihan kepala daerah maupun wakil kepala daerah asalkan menyerahkan surat pernyataan pengunduran diri dari jabatan negerinya,” kata Achmad Sodiki membacakan pendapat Mahkamah.
Menurut Mahkamah, frasa “surat pernyataan pengunduran diri dari jabatan negeri” dalam Pasal 59 ayat (5) huruf g UU Pemda merupakan ketentuan persyaratan yang sudah jelas bagi anggota TNI maupun anggota Polri yang akan mendaftarkan diri menjadi peserta Pemilukada dalam menjaga profesionalitas dan netralitas TNI dan Polri. Dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan Pemilu dalam hal ini Pemilukada yang demokratis, jujur, dan akuntabel, para peserta Pemilu, khususnya yang berasal dari PNS, anggota TNI dan anggota Polri, tidak dilarang memanfaatkan jabatan, kewenangan, dan pengaruh yang melekat pada dirinya sebagai akibat jabatan yang disandangnya pada saat Pemilukada berlangsung.
Menurut tafsir IHCS (Pemohon), surat pernyataan pengunduran diri anggota TNI maupun anggota Polri karena berlaga sebagai peserta Pemilukada, belumlah dapat dikatakan non aktif dari keanggotaanya. Dengan demikian, anggota TNI maupun anggota Polri masih dapat dikatakan aktif dan belum benar-benar keluar dari kesatuannya sehingga dapat terlibat dalam politik praktis yang berpotensi memanfaatkan jabatannya dan melakukan tindakan sewenang-wenang.
Dalil IHCS tersebut dipatahkan oleh pendapat Mahkamah yang menyatakan bahwa IHCS telah keliru dalam menafsirkan Pasal 59 ayat (5) huruf g UU Pemda. Menurut Mahkamah, Pasal tersebut justru memberikan persyaratan yang jelas kepada anggota TNI maupun anggota Polri yang hendak mendaftar sebagai perserta Pemilukada, yakni harus membuat surat pernyataan pengunduran diri dari jabatannya.
Meskipun dalam pasal tersebut tidak menjelaskan mengenai tindak lanjut dari surat pernyataan pengunduran diri dari jabatan negeri, namun demikian bukan berarti anggota TNI dan anggota Polri itu masih aktif dalam menduduki jabatannya. Sebab, proses surat pernyataan pengunduran diri merupakan kewajiban atau kewenangan dari atasan anggota TNI dan Polri yang mendaftarkan diri menjadi peserta Pemilukada untuk menindaklanjutinya.
Dengan kata lain, ketegasan pengunduran diri anggota TNI dan/atau anggota Polri dari jabatannya tergantung dari atasan untuk memprosesnya, sehingga jika anggota TNI dan/atau anggota Polri yang mendaftarkan diri menjadi peserta Pemilukada kalah, maka dapat  dipastikan anggota TNI dan/atau anggota Polri tersebut tidak akan kembali ke jabatannya.
Selain itu, jikalau frasa “surat pernyataan pengunduran diri dari jabatan negeri” dalam Pasal 59 ayat (5) huruf g UU Pemda harus diartikan anggota TNI dan/atau anggota Polri benar-benar keluar dari instansinya apabila mendaftarkan diri menjadi peserta Pemilukada, ketentuan tersebut dapat dikatakan telah menghalangi hak warga negara untuk ikut berpartisipasi dalam pemerintahan yang telah dijamin oleh UUD 1945. “Karena ada tenggang waktu proses administrasi pemberhentian dari anggota TNI atau Polri berhadapan dengan jangka waktu pendaftaran yang dalam tahapan Pemilukada sangat singkat,” lanjut Sodiki.
Oleh karena itu menurut Mahkamah dalil yang diusung oleh IHCS tersebut tidak beralasan menurut hukum. “Menurut Mahkamah, dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” tandas Sodiki membacakan Pendapat Mahkamah dalam Putusan Nomor 67/PUU-X/2012. (Nur Rosihin)

Putusan MK: Tamatan Pendidikan Nonformal Berhak Jadi Calon Kepala Daerah



Tamatan pendidikan nonformal berhak memperoleh kesempatan yang sama untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah. Ketentuan Pasal 58 huruf c UU Pemda dimaksudkan untuk memberi kesempatan bagi calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah yang latar belakang jalur pendidikannya berbeda (formal, nonformal, dan informal) asalkan telah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.
“Menurut Mahkamah, justru menjadi tidak adil apabila hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, dalam hal ini hak untuk mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah atau calon wakil kepala daerah, hanya diberikan kepada warga negara yang berlatar belakang pendidikan formal saja.”
Demikian Pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Muhammad Alim dalam sidang pengucapan Putusan Nomor 26/PUU-X/2012, Selasa (15/1/2013) di ruang sidang pleno lt. 2 gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Persidangan dilaksanakan sembilan Hakim Konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD (Ketua Pleno), Achmad Sodiki, Hamdan Zoelva, Akil Mochtar, Harjono, Muhammad Alim, Maria Farida Indrati, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Anwar Usman.
Permohonan pengujian materi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) ini diajukan oleh Mozes Kallem. Materi yang diujikan yaitu frasa "dan/atau sederajat" pada Pasal 58 huruf c UU Pemda yang menyatakan, "Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah warga negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat: c. berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan atas dan/atau sederajat."
Dalam amar putusan, Mahkamah menyatakan menolak permohonan Mozes Kallem. “Amar putusan, mengadili, menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua Panel Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD membacakan amar putusan.
Mozes Kallem mendalilkan tidak mendapatkan keadilan akibat berlakunya frasa "dan/atau sederajat" dalam Pasal 58 huruf c UU Pemda. Sebabnya, Mozes yang tamatan pendidikan formal, disamakan dan harus berkompetisi dalam Pemilukada dengan seseorang calon tamatan pendidikan nonformal Paket B atau Paket C. Pendidikan nonformal tersebut ditafsirkan sederajat dengan pendidikan formal dan memenuhi syarat untuk berkompetisi dalam Pemilukada.
Mahkamah dalam pertimbangannya merujuk ketentuan Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.” dan Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 menyatakan, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.”
Tindak lanjut dari ketentuan di atas, Pemerintah dan DPR membentuk Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang di dalam Bagian Menimbang huruf c menyatakan, “bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaruan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.”
Kemudian, untuk menjamin pemerataan kesempatan pendidikan tersebut, Pemerintah menciptakan jalur, jenjang, dan jenis pendidikan [vide Pasal 1 angka 7, Pasal 1 angka 8, Pasal 1 angka 9, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 UU Sisdiknas. Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan (Pasal 1 angka 7 UU Sisdiknas) yang terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya [Pasal 13 ayat (1) UU Sisdiknas].
Pasal 26 ayat (3) UU Sisdiknas menyatakan, “Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.” Penjelasan Pasal 26 ayat (3) UU Sisdiknas menyatakan, “....Pendidikan kesetaraan adalah program pendidikan nonformal yang menyelenggarakan pendidikan umum setara SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA yang mencakup program paket A, paket B, dan paket C....”. Selanjutnya, dalam Pasal 26 ayat (6) UU Sisdiknas dinyatakan, “Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.”
Memberikan kesempatan hanya kepada calon kepala daerah atau wakil kepala daerah yang berpendidikan formal berarti tidak menghormati keberagaman sistem pendidikan. Selain itu, berarti pula menghalangi hak konstitusional warga negara yang lebih luas, yaitu untuk memperoleh sosok kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berintegritas dan mampu mengemban amanah rakyat dengan sebaik-baiknya. “Bisa jadi, mereka berlatar belakang jalur pendidikan nonformal atau informal,” tandas Muhammad Alim membacakan pendapat Mahkamah yang termaktub dalam naskah Putusan Nomor 26/PUU-X/2012. (Nur Rosihin Ana)

Selasa, 08 Januari 2013

MK Tolak Uji Materi UU Pilpres yang Diajukan Lima Kepala Suku di Papua


Sistem Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) yang diatur dalam UUD 1945 tidak hanya berdasarkan suara mayoritas tetapi juga mayoritas bersyarat sebagaimana diatur dalam Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden”.

“Artinya, dengan syarat tersebut, suara yang diperoleh seorang Presiden dan Wakil Presiden terpilih harus merata di seluruh wilayah Indonesia,” kata Hakim Konstitusi Harjono saat membacakan Pendapat Mahkamah, dalam sidang pengucapan putusan Nomor 25/PUU-X/2012 yang digelar di Mahkamah Konstitusi, Selasa (8/1/2013) siang.

Putusan ihwal pengujian Pasal 159 pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) diajukan oleh lima orang kepala suku di Papua. Kelimanya yaitu Hofni Ajoi (Kepala Suku Amberbaken Kebar Karon, AKK), Maurits Major (Kepala Suku Bikar), Barnabas Sedik (Kepala Suku Miyah), Marthen Yeblo (Kepala Suku Abun), Stevanus Syufi (Kepala Suku Ireres).

Mahkamah dalam amar putusan menyatakan menolak permohonan. “Amar putusan, mengadili, menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua Pleno Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD didampingi Achmad Sodiki, M. Akil Mochtar, Harjono, Anwar Usman, Muhammad Alim, Maria Farida Indrati, dan Ahmad Fadlil Sumadi.

Para Pemohon mengajukan formula tentang bobot politik suara dalam Pilpres tidak berdasarkan penghitungan one man one vote. Menurut para Pemohon, “suara” harus dimaknai, “suara rakyat yang mengandung bobot politik dengan mencakup unsur penduduk dan unsur wilayah pada tiap-tiap provinsi di seluruh Indonesia sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan”. Selain itu, para Pemohon juga meminta Mahkamah untuk menyatakan bobot politik suara Pilpres pada tiap-tiap provinsi ialah, “persentase luas wilayah tiap-tiap provinsi terhadap seluruh luas wilayah Indonesia ditambah dengan persentase jumlah penduduk tiap-tiap provinsi terhadap seluruh jumlah penduduk Indonesia, kemudian hasil penjumlahan tersebut dibagi dua”.

Formula tersebut, menurut Mahkamah, mungkin dapat digunakan dalam memberi bobot suara pemilih. Namun, perumus UUD 1945 dalam mengatur tata cara Pilpres tidak memilih formula yang diajukan para Pemohon tersebut. “Perumus UUD 1945 telah menentukan bahwa pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden didasarkan atas perolehan suara mayoritas bersyarat dan one man one vote,” lanjut Harjono membacakan Pendapat Mahkamah.

Diusulkan Parpol

Berdasarkan mekanisme Pilpres yang berlaku, siapapun warga negara Indonesia yang ingin mencalonkan diri sebagai Calon Presiden dan/atau Calon Wakil Presiden harus terlebih dahulu melewati mekanisme sebagaimana diatur dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”

Artinya, siapapun orangnya, dari manapun asalnya, dari etnis apapun dirinya, untuk menentukan layak atau tidak layaknya seseorang tersebut menjadi pasangan Capres, harus terlebih dahulu dinilai dan ditentukan oleh partai politik (Parpol) atau gabungan Parpol peserta pemilihan umum. Produk dari keputusan ini sudah tidak membedakan sekat-sekat asal etnis atau ikatan primordial lainnya seperti agama, ras, dan daerah karena semuanya sudah menjadi satu kesatuan bangsa sebagai warga negara Republik Indonesia. Hal demikian juga sesuai dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

Menurut Mahkamah, perbedaan etnis ataupun perbedaan-perbedaan lainnya tidak dapat dijadikan alasan untuk mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk dapat maju sebagai pasangan Capres. Sebab sistem demokrasi tidak membolehkan terjadinya diskriminasi
terhadap suku, agama, ras, dan antar golongan. Untuk dapat terpilih sebagai Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden, yang diperlukan adalah seseorang tersebut memenuhi syarat-syarat sebagaimana telah diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 5 UU 42/2008 yang di dalamnya sama sekali tidak ada rumusan yang pada pokoknya tidak menghalang-halangi dan tidak pula mengistimewakan suku, agama, ras, dan golongan tertentu untuk menjadi Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden.

Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, Perumus UUD 1945 telah menentukan bahwa Pilpres didasarkan atas perolehan suara mayoritas bersyarat dan one man one vote serta tidak terbukti bahwa para Perumus UUD 1945 mendasarkan mekanisme pembobotan suara sebagaimana diajukan para Pemohon. “Pasal 159 ayat (1) sampai dengan ayat (5) UU 42/2008 telah sesuai dan tidak bertentangan dengan Pasal 6A, Pasal 18B ayat (2), dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 sehingga permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” tandas Harjono. (Nur Rosihin Ana)

Kamis, 03 Januari 2013

Raden Bung Hatta Cabut Permohonan Uji Materi UUPA dan UU Kehutanan


Pencabutan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan) yang diajukan oleh Raden Bung Hatta, akhirnya secara resmi ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang pengucapan ketetapan yang digelar pada Kamis (3/1/2013), siang bertempat di ruang sidang pleno gedung MK.

Mahkamah dalam ketetapannya menyatakan mengabulkan penarikan kembali permohonan yang diajukan oleh Raden Bung Hatta. “Mengabulkan permohonan penarikan kembali permohonan Pemohon,” kata Ketua Pleno Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD didampingi delapan Anggota Pleno yaitu Achmad Sodiki, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, Harjono, M. Akil Mochtar, Maria Farida Indrati, Hamdan Zoelva, dan Anwar Usman.

Mahkamah dalam ketetapannya juga menyatakan bahwa Raden Bung Hatta tidak dapat lagi mengujikan pasal-pasal dalam UU tersebut ke MK. Kemudian, Mahkamah memerintahkan kepada Panitera MK untuk menerbitkan Akta Pembatalan Registrasi Permohonan dan mengembalikan berkas permohonan kepada Raden Bung Hatta.

Permohonan tersebut diajukan Raden Bung Hatta ke Kepaniteraan MK pada 11 Oktober 2012, dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi pada tanggal 18 Oktober 2012 dengan Nomor 105/PUU-X/2012 dalam perkara Permohonan Pengujian Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Pasal 4, Pasal 50 ayat (3), Pasal 78 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan terhadap terhadap UUD 1945.

Menindaklanjuti permohonan, MK telah menerbitkan Ketetapan Ketua MK Nomor 534/TAP.MK/2012 tentang Pembentukan Panel Hakim untuk memeriksa permohonan Nomor 105/PUU-X/2012 bertanggal 18 Oktober 2012, dan Ketetapan Ketua Panel Hakim MK Nomor
535/TAP.MK/2012 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama untuk Pemeriksaan Pendahuluan, bertanggal 18 Oktober 2012. MK pun menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan pada 6 November 2012.

Syahdan, pada 12 November 2012 Kepaniteraan MK menerima surat dari Raden Bung Hatta yang merupakan Ketua Umum Lembaga Bantuan Hukum Yayasan Darul Hidayah. Inti surat berisi permohonan pencabutan permohonan Nomor 105/PUU-X/2012. Permohonan pencabutan atau penarikan kembali tersebut ditetapkan dalam Rapat Pleno Permusyawaratan Hakim (RPH) pada Selasa, tanggal 27 November 2012. RPH menetapkan permohonan penarikan kembali permohonan Nomor 105/PUU-X/2012 beralasan menurut hukum. (Nur Rosihin Ana)