Tamatan pendidikan nonformal berhak memperoleh kesempatan yang sama untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah. Ketentuan Pasal 58 huruf c UU Pemda dimaksudkan untuk memberi kesempatan bagi calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah yang latar belakang jalur pendidikannya berbeda (formal, nonformal, dan informal) asalkan telah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.
“Menurut Mahkamah, justru menjadi tidak adil apabila hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, dalam hal ini hak untuk mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah atau calon wakil kepala daerah, hanya diberikan kepada warga negara yang berlatar belakang pendidikan formal saja.”
Demikian Pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Muhammad Alim dalam sidang pengucapan Putusan Nomor 26/PUU-X/2012, Selasa (15/1/2013) di ruang sidang pleno lt. 2 gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Persidangan dilaksanakan sembilan Hakim Konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD (Ketua Pleno), Achmad Sodiki, Hamdan Zoelva, Akil Mochtar, Harjono, Muhammad Alim, Maria Farida Indrati, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Anwar Usman.
Permohonan pengujian materi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) ini diajukan oleh Mozes Kallem. Materi yang diujikan yaitu frasa "dan/atau sederajat" pada Pasal 58 huruf c UU Pemda yang menyatakan, "Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah warga negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat: c. berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan atas dan/atau sederajat."
Dalam amar putusan, Mahkamah menyatakan menolak permohonan Mozes Kallem. “Amar putusan, mengadili, menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua Panel Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD membacakan amar putusan.
Mozes Kallem mendalilkan tidak mendapatkan keadilan akibat berlakunya frasa "dan/atau sederajat" dalam Pasal 58 huruf c UU Pemda. Sebabnya, Mozes yang tamatan pendidikan formal, disamakan dan harus berkompetisi dalam Pemilukada dengan seseorang calon tamatan pendidikan nonformal Paket B atau Paket C. Pendidikan nonformal tersebut ditafsirkan sederajat dengan pendidikan formal dan memenuhi syarat untuk berkompetisi dalam Pemilukada.
Mahkamah dalam pertimbangannya merujuk ketentuan Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.” dan Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 menyatakan, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.”
Tindak lanjut dari ketentuan di atas, Pemerintah dan DPR membentuk Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang di dalam Bagian Menimbang huruf c menyatakan, “bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaruan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.”
Kemudian, untuk menjamin pemerataan kesempatan pendidikan tersebut, Pemerintah menciptakan jalur, jenjang, dan jenis pendidikan [vide Pasal 1 angka 7, Pasal 1 angka 8, Pasal 1 angka 9, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 UU Sisdiknas. Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan (Pasal 1 angka 7 UU Sisdiknas) yang terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya [Pasal 13 ayat (1) UU Sisdiknas].
Pasal 26 ayat (3) UU Sisdiknas menyatakan, “Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.” Penjelasan Pasal 26 ayat (3) UU Sisdiknas menyatakan, “....Pendidikan kesetaraan adalah program pendidikan nonformal yang menyelenggarakan pendidikan umum setara SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA yang mencakup program paket A, paket B, dan paket C....”. Selanjutnya, dalam Pasal 26 ayat (6) UU Sisdiknas dinyatakan, “Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.”
Memberikan kesempatan hanya kepada calon kepala daerah atau wakil kepala daerah yang berpendidikan formal berarti tidak menghormati keberagaman sistem pendidikan. Selain itu, berarti pula menghalangi hak konstitusional warga negara yang lebih luas, yaitu untuk memperoleh sosok kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berintegritas dan mampu mengemban amanah rakyat dengan sebaik-baiknya. “Bisa jadi, mereka berlatar belakang jalur pendidikan nonformal atau informal,” tandas Muhammad Alim membacakan pendapat Mahkamah yang termaktub dalam naskah Putusan Nomor 26/PUU-X/2012. (Nur Rosihin Ana)
0 komentar:
Posting Komentar