|
Jakarta, MK Online - Setelah melalui proses persidangan yang panjang akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak permohononan uji materi UU 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (UU Penodaan Agama), Senin (11/04), di ruang sidang pleno MK. Pembacaan putusan ini dibacakan oleh sembilan Majelis Hakim Konstitusi yang diketuai oleh Moh. Mahfud MD.
Pendapat MK yang dibacakan dalam persidangan menyatakan bahwa negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan masyarakat diberikan hak untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah serta ajaran agamanya masing-masing sesuai dengan kepercayaannya. Negara sesuai amanat konstitusi juga turut bertanggung jawab meningkatkan ketakwaan dan akhlaq mulia. Domain agama adalah konsekuensi penerimaan ideologi Pancasila.
"Dalam negara Pancasila tidak boleh diadakan kegitan yang menjauhkan nilai religiusitas dan keagamaan. Jadi negara tidak memberikan peluang untuk menodai agama lain. Kebebasan agama adalah hak mendasar yang telah disepakati oleh kesepakatan dunia dan dilindungi oleh negara demi harkat martabat manusia," tutur Hakim Arsyad Sanusi.
Meskipun demikian, Arsyad juga menegaskan bahwa negara juga boleh membatasai kebebasan sesuai dengan UUD dan tunduk kepada pembatasan atas penghormatan hak asasi orang lain berdasarkan nilai agama dan sesuai dengan bentuk negara demokratis. Negara memberikan kewajiban dasar atas tegaknya HAM. Secara integral UUD mengatur setiap elemen negara dan masyarakat untuk menghormati HAM itu sendiri. Hal itu harus berlaku dan dilaksanakan dan tanpa melukai yang lainnya.
"Pembatasan tidak boleh diartikan perlakuan diskriminasi karena ada hak asasi maupun kewajiban asasi yang lainnya. Liberalisme, Orientalisme dan faham lainnya harus dikembalikan ke konstitusi sebagai kesepakan bersama negara Idonesia," katanya.
MK berpendapat bahwa pada hakikatnya ide pengujian konstitusionalitas oleh Pemohon adalah mencari tafsir kebebasan beragama di Indonesia kepada MK dan bagaimana bentuk pencegahan atas penodaan terhadap agama. Selain itu, pengujian UU ini secara substansi dimohonkan ke MK apakah relevan saat dibentuknya UU ini apabila dikontekskan dengan kondisi sosial masyarakat saat ini.
MK menilai bahwa UU pencegahan agama masih tetap sah secara formil, MK tak sependapat kalau UU yang dibuat pada masa demokrasi terpimpin semua tidak sah dan cacat dalam proses pembentukannya. MK juga tidak sependapat dengan pendapat UU Penodaan Agama cacat formal dan tidak sesuai dengan UUD 1945. MK memberikan pandangannya bahwa pasal 1 UU Penodaan Agama ini memberikan kepastian setiap orang dilarang dengan sengaja menyebarkan dan menganjurkan untuk melakukan penafsiran terhadap kegiatan yang menyimpang dari pokok agama.
"UU Penodaan Agama ini tidak membatasi kebebasan beragama dan penafsiran terhadap agama, UU ini menurut MK adalah untuk membatasi penyimpangan dan penodaan agama. Jadi yang melakukan dengan sengaja dimuka umum mengajarkan agama yang menyimpang terhadap pokok ajaran agama dan menganjurkan penodaan itu yang dilarang. Oleh sebab itu pembatasan ini sesuai dengan UUD diperbolehkan untuk menjaga ketertiban umum dan menghormati hak asasi orang lain," tutur Hakim Konstitusi Fadlil Sumadi.
Fadlil menambahkan bahwa UU Penodaan Agama ini diperlukan dan tidak melanggar HAM. UU Penodaan Agama bukan merupakan UU kebebasan beragama. UU ini mencegah untuk melakukan tindakan anarki. Jadi ketika timbul permasalahan dapat diselesaikan dengan pendekatan hukum. Ini merupakan perlindungan preventif karena agama merupkan isu sensitif dalam masyarakat.
"Pemohon juga mempermasalahkan mengenai formalitas UU Pencegahan Penodaan Agama yang secara historis dibentuk dalam keadaan darurat revolusi, maka MK berpendapat bahwa secara materiil UU Pencegahan Penodaan Agama adalah masih tetap dibutuhkan sebagai pengendali ketertiban umum dalam rangka kerukunan umat beragama," tutur Hakim Konstitusi dari pengadilan agama ini.
MK menimbang bahwa terhadap kepentingan masyarakat penganut kepercayaan yang sudah lama hidup di Indonesia, MK berpendapat, masyarakat penganut kepercayaan adalah masyarakat yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam meyakini kepercayaannya sesuai dengan jaminan yang diberikan dalam Pasal 28E ayat (2) UUD 1945. Praktik diskriminasi yang dialami oleh masyarakat penganut kepercayaan adalah bentuk dari kesalahan penerapan norma dalam hukum administrasi dan bukan merupakan permasalahan pertentangan norma UU Pencegahan Penodaan Agama terhadap UUD 1945. Oleh sebab itu dalil para Pemohon tidak beralasan hukum
Dalam kesimpulannya, MK menyatakan permohonan Pemohon tidak berdasar. "Dalil pemohon baik fomil maupun materil tidak berdasarkan hukum," tegas Moh. Mahfud MD.
Alasan dan Pendapat Berbeda
Dalam putusan ini, terdapat concurring opinion (alasan berbeda) dari Hakim Konstitusi Harjono. Harjono berpendapat hak asasi manusia memang tidak bisa dibatasi namun dalam memanivestasikan dalam agama dapat dibatasi terutama menyangkut aspek forum externum dan harus ditetapkan oleh UU dengan menjamin kebebasan orang lain. Pengujian UU yang diujikan Pemohon setelah perubahan UUD adalah tentang perlindungan agama yang tidak berdasarkan hanya pada agama tertentu saja.
"Rumusan Pasal 1 apabila ada kekurangan maka bisa dilakukan revisi oleh lembaga yang berwenang. Namun untuk mencegah kondisi yang tidak dikehendaki dalam masyarakat UU ini masih tetap konstitusional," tutur Harjono.
Sementara itu, dissenting opinion (pendapat berbeda) disampaikan oleh Hakim Konstitusi Maria Farida, bahwa Penyempurnaan terhadap UU ini harus dilakukan dengan pandangan dan nilai baru yang sesuai dengan kondisi saat ini.
"Kebebasan beragama di indonesia dilandasi dengan hukum dan negara wajib menjamin kebebasan beragama. Ada dua aspek yang diperhatikan yakni internum dan externum. Pasal 1 dan penjelasannya terdapat ketidak-sesuaian karena agama hanya terbatas enam yang diakui. Selanjutnya, untuk aliran kepercayaan cenderung diarahkan kepada salah satu agama yang kemudian menyentuh eksistensi setiap kepercayaan agar diarahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa," tutur Hakim Konstitusi perempuan pertama ini.
Selain itu, ketentuan Pasal 2 tidak konsisten antara penyebutan barang siapa yang dalam bahasa hukum adalah orang dan badan hukum, tapi kemudian terdapat pula penjelasan hanya menyebut organisasi. Begitu juga rumusan pasal 3 ada perbedaan alamat subjek hukum yang dituju. Eksistensi UU ini perlu ditinjau kembali karena sering menimbulkan berbagai permasalahan dalam prakteknya karena hanya mengakui enam agama saja. Dampak langsung bisa dilihat pada contoh pencatatan perkawinan, KTP dan pembuatan surat kematian.
"UU Penodaan Agama terdapat permasalahan mendasar dan harus dicabut karena dalam pelaksanaannya cenderung represif terhadap agama tidak resmi. Bahwa dengan terjadinya berbagai permasalahan yang seringkali menimbulkan adanya tindakan yang sewenang-wenang dalam pelaksanaan Undang-Undang a quo dan adanya pertentangan dalam ketentuan pasal-pasalnya terhadap beberapa pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 28E, Pasal 28I, dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945, saya berkesimpulan bahwa permohonan para Pemohon seharusnya dikabulkan," terang Maria Farida.
Perkara No.140/PUU-VII/2009 ini dimohonkan tujuh Pemohon badan hukum (organisasi non pemerintah), yakni Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Perkumpulan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), Perkumpulan Pusat Studi Hak Asasi Manusia dan Demokrasi (Demos), Perkumpulan Masyarakat Setara, Yayasan Desantara (Desantara Foundation), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan tiga Pemohon perorangan, yakni, (Alm) K.H. Abdurahman Wahid, Prof. DR. Musdah Mulia, Prof. M. Dawam Rahardjo, dan KH. Maman Imanul Haq. (RN Bayu Aji)
0 komentar:
Posting Komentar