Rabu, 13 Oktober 2010

UU Pengamanan Barang Cetakan Melanggar Konstitusi

Kuasa Pemohon sedang mendengarkan putusan pengujian Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Barang-Barang Cetakan yang dibacakan oleh Majelis Hakim Konstitusi, (13/10).
Jakarta, MKOnline - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Barang-Barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Demikian amar putusan MK Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010 ini dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD didampingi delapan hakim konstitusi, Rabu (13/10), di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan ini diujikan oleh  10 Pemohon baik perseorangan maupun lembaga, yakni Darmawan, Muhammad Chozzin Amirullah, Adhel Setiawan, Eva Irma Muzdalifah, Syafrimal Akbar Dalimunthe, Muhiddin M. Dahlan, Institut Sejarah Sosial Indonesia, I Gusti Agung Ayu Ratih, dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri.

Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Wakil Ketua MK Achmad Sodiki,  Mahkamah berpendapat penyitaan barang-barang cetakan yang dilakukan oleh Kejaksaan, Kepolisian, dan alat negara lain yang mempunyai wewenang memelihara ketertiban umum, seperti ketentuan Pasal 6 UU No.4/PNPS/1963, tanpa ada izin dari ketua pengadilan negeri setempat, merupakan suatu ketentuan yang bertentangan dengan Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). ”Sehingga antara ketentuan Pasal 6 UU Nomor 4/PNPS/1963 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menimbulkan ketidakpastian hukum yang melanggar ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” ujarnya.

Selain itu, lanjut Sodiki, penyitaan buku-buku sebagai salah satu barang cetakan tanpa melalui proses peradilan, sama dengan pengambilalihan hak milik pribadi secara sewenang-wenang yang amat dilarang oleh Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Menurut Mahkamah, tindakan pengambilalihan barang cetakan tanpa prosedur yang benar menurut hukum, terutama tanpa melalui proses peradilan, merupakan suatu eksekusi tanpa peradilan (extra judicial execution) yang sangat ditentang dalam suatu negara hukum yang menghendaki due process of law. “Adapun seperti penyitaan buku berjudul “Enam Jalan Menuju Tuhan” karangan Darmawan (Pemohon perkara Nomor 6/PUU-VIII/2010), menurut Mahkamah merupakan kasus konkret yang berdasarkan due process of law, penegak hukum harus menindaklanjutinya melalui instrumen hukum yang sudah tersedia seperti Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama dan/atau KUHP,” urainya.
 
Mengenai kasus jika adanya suatu barang cetakan yang isinya melanggar suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku, misalnya seperti penyitaan buku berjudul, “Enam Jalan Menuju Tuhan sebagaimana disebutkan di atas, aparatur negara yang berwenang dapat saja melakukan penyitaan setelah mendapat izin dari ketua pengadilan negeri setempat atau menyita terlebih dahulu dalam hal yang mendesak. Lalu, lanjut Sodiki, meminta izin persetujuan penyitaan dari ketua pengadilan negeri setempat dilanjutkan dengan penyidikan, penuntutan dan penyidangan oleh instansi yang berwenang. Semua penegakan hukum pada akhirnya ditentukan dalam putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. “Tak hanya bisa melarang, menyita, menahan, memenjarakan bahkan menjatuhkan pidana mati sekalipun diperbolehkan asal melalui proses peradilan, bukan melalui keputusan Jaksa Agung,” jelasnya.
 
Sodiki juga menjelaskan  karena permohonan para Pemohon tentang Pasal 1 sampai dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 dikabulkan dan pasal-pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, maka Pasal 10 yang menyatakan, “Semua ketentuan yang isinya bertentangan atau telah diatur dalam Penetapan ini dinyatakan tidak berlaku lagi” dan Pasal 11 yang menentukan, “Penetapan Presiden ini mulai berlaku pada hari diundangkannya,” menjadi tidak bermakna sehingga keseluruhan Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
 
Oleh karena itu, dalam amar putusan yang dibacakan Ketua MK Moh. Mahfud MD, Mahkamah menyatakan tidak dapat menerima pengujian formil para Pemohon. “Dan mengabulkan permohonan pengujian materiil oleh para Pemohon dikabulkan untuk sebagian,” ujarnya.
 
Sementara itu, Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva menyatakan dissenting opinion. Hamdan berpendapat  perampasan kemerdekaan seseorang adalah melanggar hak asasi manusia. Akan tetapi untuk kepentingan umum penahanan terhadap seseorang dibenarkan asal diperintahkan oleh undang-undang. Demikian juga pembatasan-pembatasan kebebasan individual dalam keadaan darurat dimungkin berdasarkan ketentuan undang-undang (Lihat UU Nomor 23 Prp Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya). Demikianlah halnya dengan hak dan kebebasan untuk mengeluarkan pendapat, hak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan segala informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia, serta jaminan atas hak milik pribadi dapat dibatasi untuk kepentingan keamanan dan ketertiban umum. “Akan tetapi untuk menghindari penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan oleh pemerintah, pembatasan demikian harus dengan undang-undang,” jelasnya.
 
Apalagi, jelas Hamdan, dalam konteks masyarakat Indonesia yang sangat plural, ancaman atas keamanan dan ketertiban umum  yang ditimbulkan oleh suku, ras dan agama masih menjadi persoalan yang belum bisa diatasi dengan baik. Akibat  sebuah tulisan dari barang cetakan yang menyinggung perasaan suku, agama dan ras atau kelompok tertentu dapat menimbulkan perkelahian, perang antar suku dan agama yang pasti mengancan keamanan dana ketertiban umum. Pemerintah yang memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk menjalankan public order tidak dapat diamputasi kewenangannya dalam menjalankan fungsinya menjamin keamanan dan ketertiban umum, karena alasan-alasan melanggar kebebasan individual. “Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, pelarangan peredaran barang cetakan yang mengganggu ketertiban umum berdasarkan perintah undang-undang dalam rangka fungsi pemerintah menjalankan  public order sebagimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 adalah norma yang tidak bertentangan dengan konstitusi,” tandasnya. (Lulu Anjarsari/mh)

0 komentar:

Posting Komentar