Jakarta, MKOnline - Uji materiil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang dimohonkan oleh mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Susno Duadji ditolak seluruhnya oleh Mahkamah Konstitusi. Hal tersebut seperti dinyatakan dalam amar putusan dengan nomor perkara 42/PUU-VIII/2010.
“Menolak Permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD saat membacakan amar putusan yang dibacakan pada sidang pleno terbuka untuk umum, Jum’at (24/9), di ruang sidang pleno MKRI.
Sebelumnya, Pemohon, menyatakan bahwa Pasal 10 ayat (2) UU Perlindungan Saksi dan Korban bertentangan dengan konstitusi karena telah merugikan hak-hak konstitusionalnya. Pertentangan tersebut terjadi khususnya pada Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28G serta Pasal 28J Ayat (2). Adapun bunyi pasal yang diuji tersebut adalah “seorang saksi yang juga menjadi tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila dimaknai bahwa kedudukan sebagai tersangka ditetapkan terlebih dahulu sebelum saksi memberikan kesaksian dalam perkara tersebut”.
Namun terhadap dalil tersebut, Mahkamah berpendapat lain. Mahkamah menyatakan, ketentuan yang terdapat pada Pasal 10 ayat (2) UU 13 Tahun 2006 tersebut merupakan ketentuan yang dapat diartikan dengan sangat jelas dan tegas (expressis verbis) bahwa substansi normatifnya ialah memberikan penghargaan (reward) terhadap partisipasi saksi yang juga tersangka yang keterangannya telah membantu dalam pengungkapan tindak pidana dengan menjadikannya sebagai pertimbangan pengurangan pidana.
Berdasarkan ketentuan substantif itu, lanjut Mahkamah, negara melalui kekuasaan pembentuk undang-undang harus dianggap telah tidak mengabaikan partisipasi warga negara yang telah turut memberikan kontribusi dalam pengungkapan tindak pidana. Negara memberikan penghargaan berupa pengurangan pidana.
“Seberapa besar hal itu mengurangi pidananya diserahkan kepada kebijaksanaan hakim yang mengadilinya berdasarkan kontribusinya di dalam partisipasi mengungkap tindak pidana. Penghargaan merupakan pilihan cara menurut hukum (legal choice) yang dilakukan oleh negara dalam memberikan penghargaan kepada saksi yang juga tersangka, serta mendorong partisipasi masyarakat mengungkap tindak pidana,” ungkap salah satu Hakim Konstitusi saat membacakan pertimbangan hukum.
Selain itu, Mahkamah juga berpandangan bahwa sesuai dengan dengan nama UU 13 Tahun 2006 yaitu tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta judul bagian: Perlindungan dan Hak Saksi dan Korban, maka substansi norma Pasal 10 yang terdiri atas tiga ayat tersebut harus dimaknai sebagai ketentuan hukum untuk melindungi saksi, korban, dan pelapor, bukan saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama dan bukan pelapor yang tidak beritikad baik.
“Penghargaan oleh negara yang diberikan kepada saksi yang juga tersangka dimaksud harus dipandang sebagai keadilan karena di dalamnya terdapat keseimbangan (balancing) antara kontribusi pengungkapan kejahatan dan pengurangan pidana terhadap kesalahan. Oleh karena itu, tidak tepat bila ditafsirkan secara a contrario bahwa saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak mendapat perlindungan hukum, sehingga tidak mendapatkan apa-apa,” lanjutnya.
Kemudian, terkait dengan dalil bahwa pasal tersebut telah bertentangan dengan Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945, Mahkamah berpendapat, ketentuan Pasal 10 ayat (2) UU 13/2006 telah sejalan dengan semangat yang dikandung oleh konstitusi. “Ketentuan yang demikian bukan merupakan pembatasan, melainkan merupakan hal yang wajar berdasarkan keadilan dan merupakan prinsip yang dianut dalam sistem hukum pidana di Indonesia.” papar salah satu Hakim Konstitusi.
Pada putusan ini, Mahkamah juga menolak permohonan provisi Pemohon. Mahkamah memiliki tiga alasan. Salah satunya Mahkamah berpendapat, dalam Pengujian Undang-Undang (judicial review), putusan Mahkamah hanya menguji norma abstrak, tidak mengadili kasus konkret seperti penyidikan atau pencegahan dalam kasus pidana terhadap Pemohon. Oleh karena permohonan provisi Pemohon sudah masuk ke kasus konkret maka Mahkamah tidak dapat mengabulkannya.
Dalam putusan tersebut, seorang Hakim Konstitusi, Hamdan Zoelva, mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion). Menurut Hamdan, seharusnya Mahkamah memberikan putusan yang menyatakan pasal yang diuji adalah konstitusional bersyarat.(Dodi)
Sumber:
0 komentar:
Posting Komentar