Selasa, 20 April 2010

Uji UU Pemda: Permohonan Calon Bupati Bengkulu Selatan Tidak Diterima



Refly Harun, SH, MH., LLM (Tengah) selaku Kuasa Pemohon Dirwan Mahmud, seusai persidangan Pembacaan Putusan Uji Materiil UU Pemerintahan Daerah di Ruang Sidang Pleno MK, selasa (20/04).
Jakarta, MK Online - Permohonan Dirwan Mahmud yang mempersoalkan syarat-syarat calon kepala daerah dan wakil kepala daerah berakhir dinyatakan tidak diterima. Dirwan Mahfud adalah calon Bupati Bengkulu Selatan terpilih dalam Pemilukada Bengkulu Selatan Tahun 2008 untuk periode 2009-2014 yang dinyatakan batal demi hukum oleh Mahkamah Konstitusi (MK) karena terbukti yang bersangkutan tidak memenuhi syarat yakni “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”.
MK dalam putusan pengujian UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No.12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) menyatakan permohonan pengujian terkait pasal Pasal 58 huruf f tidak dapat diterima, sedangkan terkait Pasal 58 huruf h mengenai syarat  ”mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya” ditolak, Selasa (20/4) di Gedung MK. Putusan Nomor 120/PUU-VII/2009 ini dibacakan oleh sembilan Hakim Konstitusi secara bergantian.
Dalam konklusi putusan, Mahfud menjelaskan bahwa MK menyatakan bahwa Substansi permohonan beserta alasan-alasan atas pengujian Pasal 58 huruf f UU 32/2004 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU 12/2008 adalah sama dengan permohonan yang telah diputus dalam Perkara Nomor 4/PUUVII/2009 tanggal 24 Maret 2009. “Dalil-dalil Pemohon sepanjang mengenai pengujian konstitusionalitas Pasal 58 huruf h UU 32/2004 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU 12/2008 tidak beralasan hukum,” jelasnya.
Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar menjelaskan bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa setelah ada putusan MK 4/PUU-VII/2009 tanggal 24 Maret 2009, yang bersifat final, berlaku umum dan mengikat secara umum telah mengecualikan Pemohon dari keterikatan sifat putusan tersebut. Mahkamah telah mengecualikan keikutsertaan Pemohon dalam pemungutan suara ulang sebagaimana disebutkan dalam putusan MK No.57/PHPU.D-VI/2008 tanggal 8 Januari 2009 oleh karena pada saat itu secara administratif merujuk pada Pasal 58 huruf f UU 32/2004 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU 12/2008, Pemohon telah tidak memenuhi persyaratan sebagai Calon Kepala Daerah dalam Pemilukada Kabupaten Bengkulu Selatan. “Artinya Pemilukada Kabupaten Bengkulu Selatan telah dibatalkan keabsahannya oleh Mahkamah dan oleh karena sifat putusan Mahkamah adalah final dan mengikat dan putusan tersebut bukan merupakan putusan sela,” jelas Akil.

Tidak Dapat Menjadi “Novum”
Berdasarkan putusan MK No.4/PUU-VII/2009 tanggal 24 Maret 2009, lanjut Akil, telah terdapat tafsir baru atas Pasal 58 huruf f UU 32/2004 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU 12/2008 yang bersifat konstitusional bersyarat. Akil menjelaskan dalam salah satu pertimbangan hukumnya MK menyatakan bahwa karena putusan Mahkamah bersifat final dan mengikat sesuai ketentuan Pasal 24C UUD 1945 maka putusan tersebut tidak dapat dijadikan sebagai bukti baru (novum) bagi Pemohon untuk dinyatakan memenuhi syarat dalam sengketa Pemilukada Bengkulu Selatan, sehingga kedua putusan Mahkamah tersebut tidak saling bertentangan karena sifat dari kedua putusan tersebut berbeda, yakni putusan terhadap kasus konkret dan putusan terhadap pengujian norma. “Dengan demikian, Putusan Nomor 4/PUU-VII/2009 tanggal 24 Maret 2009 tidak dapat menjadi alasan hukum untuk mengubah putusan Mahkamah dalam Perkara Nomor 57/PHPU.D-VI/2008 tanggal 8 Januari 2009,”paparnya.
Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa karena Pemohon telah memenuhi persyaratan formal sesuai dengan putusan MK No.4/PUU-VII/2009 tanggal 24 Maret 2009, jelas Akil, maka seharusnya Pemohon dapat ditetapkan sebagai Bupati Bengkulu Selatan Periode 2009-2014 berdasarkan putusan Mahkamah yang bersifat retroaktif. Dalam putusa MK No.57/PHPU.D-VI/2008 tanggal 8 Januari 2009, amarnya memerintahkan pemungutan suara ulang selambat-lambatnya satu tahun sejak putusan ini diucapkan, yakni 8 Januari 2010. “Menurut Mahkamah, sepanjang rezim Pasal 58 huruf f UU 32/2004 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU 12/2008 masih berlaku (sesuai dengan tanggal Putusan 8 Januari 2009) maka Pemohon atau siapa saja yang terkena ketentuan administratif tersebut tidak memenuhi syarat untuk menjadi calon kepala daerah,” ujarnya.
Sedangkan mengenai konstitusionalitas Pasal 58 huruf f UU 32/2004 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU 12/2008 pun sudah final dan mengikat yakni tetap konstitusional sepanjang dimaknai sebagaimana putusan No.4/PUU-VII/2009 tanggal 24 Maret 2009. “Dengan demikian, permohonan yang mempersoalkan konstitusionalitas pasal a quo menjadi kehilangan relevansinya karena meskipun menggunakan alasan konstitusional yang berbeda tetapi Mahkamah tidak menemukan alasan hukum yang tepat untuk menguji kembali konstitusionalitas pasal a quo,” tukasnya.
Sedangkan terkait pengujian syarat harus ”mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya” menurut Mahkamah adalah wajar dan rasional apabila dipersyaratkan bahwa calon kepala daerah dan wakil kepala daerah harus orang yang kenal dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya. “Rumusan pasal a quo justru diperlukan agar jangan sampai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah calon yang dipaksakan kehadirannya tanpa perlu mengenal dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya seperti praktik pemilihan kepala daerah pada masa berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Terlebih lagi hal tersebut bukan persoalan konstitusionalitas norma, tetapi merupakan pilihan kebijakan dari pembentuk Undang-Undang.” tegas hakim konstitusi.

Alasan dan Pendapat Berbeda
Dalam putusan ini, Wakil Ketua MK Ahmad Sodiki mengajukan alasan berbeda (concurring opinion). Menurut Sodiki, jika KPU Kabupaten Bengkulu Selatan menyelenggarakan Pemilukada sesuai dengan persyaratan administratif ketentuan Pasal 58 huruf f UU 32/2004 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU 12/2008 dalam putusan No.4/PUU-VII/2009 tetap sah. Hal itu, lanjut Sodiki, karena hal itu sebagai amanat Undang-Undang c.q. Putusan No.4/PUU-VII/2009. Di samping itu tentu banyak faktor yang sudah berubah, jumlah pemilih yang berhak memilih, calon kepala daerah baru yang memungkinkan diusulkan oleh partai-partai, ketentuan baru atas dasar Putusan Mahkamah mengenai Pengawas Pemilu. “Jika hal tersebut dipertimbangkan, hal itu objektif dan lebih baik daripada kembali kepada persyaratan lama, yaitu Pasal 58 huruf f UU 32/2004 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU 12/2008,” tutur Sodiki.
Sedangkan Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi yang mengajukan Pendapat Berbeda (dissenting opinion). Menurut Arsyad, perkara yang diujikan nyata-nyata memiliki latar belakang dan alasan konstitusional yang berbeda sehingga karenanya pengujian Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemda sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah meskipun telah dilakukan pengujian di hadapan Mahkamah sebanyak dua kali yakni dalam perkara No.14-17/PUU-V/2007 tanggal 11 Desember 2007 dan dalam perkara No.4/PUU-VII/2009 tanggal 24 Maret 2009. “Akan tetapi, perkara a quo tidak dapat dikualifikasi sebagai nebis in idem atau dengan kata lain Mahkamah tetap berwenang memeriksa, mengadili dan memutus permohonan a quo,” tandasnya. (Lulu Anjarsari)

Tidak Penuhi "Legal Standing", Permohonan Korban "Bailout" Bank Century Tidak Diterima

Ikhtisar Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 145/PUU-VII/2009

Pemohon:
Sri Gayatri, Adhie M. Massardi, Agus Wahid, Agus Joko Pramono, Halim Dat Kui, M. Hatta Taliwang.
Pokok Perkara:
Pengujian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang juncto Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (UU 6/2009) dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (Perpu 4/2008).
Norma yang diuji:
Pasal 11 ayat (4) dan ayat (5) UU 6/2009, serta Perpu 4/2008
Norma UUD 1945 sebagai penguji:
Pasal 1 Ayat (3), Pasal 23 Ayat (1), Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28G Ayat (1), Pasal 28H Ayat (2), Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945.
Amar Putusan:
Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima.
Tanggal Putusan:
20 April 2010


Sri Gayatri dkk. adalah nasabah Bank Century (BC) yang menyimpan uang di BC dalam bentuk deposito. Oleh pengelola dan/atau atas perintah dari pihak yang terafiliasi dengan BC, deposito tersebut dialihkan ke dalam bentuk Discretionary Fund PT Antaboga Delta Sekuritas Indonesia (ADS) yang nota bene adalah pemilik saham BC.
Pengalihan simpanan deposito tersebut dilakukan oleh pegawai dan/atau direksi BC, dan diproses di kantor BC. Mereka meyakinkan bahwa Discretionary Fund tersebut merupakan produk BC. Hal ini diperkuat dengan putusan Pengadilan Arbitrase Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Yogyakarta, yang menyatakan bahwa Bank Mutiara (semula Bank Century) bersalah dan harus mengembalikan uang konsumen nasabah BC dan/atau PT ADS.
Namun setelah BC diambil alih dan menerima bailout dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) berdasarkan Perpu 4/2008, BC tidak pernah memenuhi kewajibannya kepada nasabah, termasuk Sri Gayatri. Padahal BC sudah mendapat bailout sebesar Rp 6,7 triliun. Padahal, Pemohon sebagai nasabah pada Bank yang mengikuti program penjaminan simpanan nasabah bank oleh LPS, baik secara langsung maupun tidak langsung Pemohon ikut membayar premi penjaminan simpanan nasabah di LPS.
Implikasi dari Perpu 4/2008 yang diberlakukan terhadap BC, selanjutnya BC berganti pemegang saham, berganti direksi, dan berganti nama menjadi Bank Mutiara. Namun pergantian-pergantian tersebut justru mengaburkan dan menghilangkan hak-hak Sri Gayatri sebagai nasabah BC sehingga berpotensi menderita kerugian Rp. 69.000.000.000,- (enam puluh sembilan miliar rupiah).

Dalil Permohonan
Pemohon mendalilkan, berlakunya UU 6/2009 juncto UU 3/2004, khususnya Pasal 11 ayat (4) dan ayat (5), yang selanjutnya oleh Pemerintah (Presiden) digunakan sebagai dasar untuk menerbitkan Perpu 4/2008, menyebabkan hak-hak konstitusionalnya telah dilanggar dan dirugikan sebagaimana telah dijamin oleh UUD 1945, khususnya Pasal 28D ayat (1) Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (2).
Pasal 11 ayat (4) dan ayat (5) UU 6/2009 juncto UU 3/2004, berbunyi: ayat (4) “Dalam hal suatu Bank mengalami kesulitan keuangan yang berdampak sistemik dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan, Bank Indonesia dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat yang pendanaannya menjadi beban Pemerintah”.
Kemudian ayat (5) “Ketentuan dan tata cara pengambilan keputusan mengenai kesulitan keuangan Bank yang berdampak sistemik, pemberian fasilitas pembiayaan darurat dan sumber pendanaan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diatur dalam Undang-Undang tersendiri”;
Pemerintah menerbitkan Perpu 4/2008 pada tanggal 15 Oktober 2008 yang ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengantisipasi kemungkinan situasi krisis keuangan yang berdampak sistemik dan mengantisipasi krisis keuangan global. Namun faktanya justru dengan keluarnya Perpu ini telah berdampak luas dan merugikan kepentingan para Pemohon, karena justru uang simpanan Sri Gayatri tidak dibayar oleh BC (Bank Mutiara).
Dalam Sidang Paripurna DPR RI pada tanggal 18 Desember 2008, DPR RI telah membuat keputusan bahwa Perpu 4/2008 tidak diterima. Dengan demikian, maka Perpu 4/2008 telah terbukti ditolak dan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat dan harus dicabut. Namun faktanya, Pemerintah tetap menganggap Perpu 4/2008 tidak atau belum pernah ditolak oleh DPR RI, dengan alasan bahwa DPR RI tidak secara nyata menyatakan menolak, karena sebagian fraksi ada yang menyatakan menolak, sebagian yang lain menyatakan menerima, bahkan ada fraksi yang menyatakan belum menerima.
Menurut Pemohon, norma Pasal 29 Perpu 4/2008 dapat mempersulit kontrol publik dan cenderung mengarah kepada penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan sempit, dan berpotensi merugikan para Pemohon, sehingga para perumus Perpu ini yakni Gubernur Bank Indonesia (BI), Menteri Keuangan, dan Presiden harus bertanggung jawab secara hukum.
Keberadaan Pasal 29 Perpu 4/2008 telah memberikan kewenangan berlebihan, karena akan melindungi para pembuat dan pengambil kebijakan (Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia) dari jeratan hukum, sehingga mengandung cacat konstitusional. Hal ini terbukti dengan telah dikucurkannya dana talangan (bailout) kepada BC yang semestinya tidak layak menerima. Hal mana kebijakan bailout tersebut telah merugikan hak-hak konstitusional dan kepentingan para Pemohon;
Selain itu, dalam Pasal 5 Perpu 4/2008 juga diatur mengenai pembentukan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang keanggotaannya terdiri dari Menteri Keuangan sebagai Ketua merangkap anggota dan Gubernur BI sebagai Anggota. Hal ini tentu dapat mengaburkan independensi BI, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU 3/2004 yang menyebutkan bahwa ”Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-undang ini”.

Legal Standing tidak Terpenuhi
Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 11 ayat (4) dan ayat (5) UU 6/2009 juncto UU 3/2004 dan Perpu 4/2008, khususnya dalam Pasal 29 yang memberikan kekebalan hukum (imunitas) terhadap KSSK yaitu Menteri Keuangan dan Gubernur BI atas tindakannya membuat keputusan atau kebijakan penyelamatan perbankan, sama sekali tidak berkaitan dengan hak konstitusional para Pemohon yang termaktub dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Selanjutnya, Mahkamah berpendapat, kerugian yang didalilkan oleh para Pemohon tidak bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, serta tidak ada hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian yang didalilkan dengan berlakunya Pasal 11 ayat (4) dan ayat (5) UU 6/2009 juncto UU 3/2004 dan Pasal 29 Perpu 4/2008 yang dimohonkan pengujian.
Selain itu, menurut Mahkamah, tidak terdapat jaminan dengan dikabulkannya permohonan a quo, kerugian konstitusional seperti yang didalilkan oleh para Pemohon tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Sehingga Mahkamah berpendapat, para Pemohon tidak memenuhi syarat-syarat kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK dan Putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan MK Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007, untuk mengajukan permohonan, sehingga pokok permohonan para Pemohon tidak perlu dipertimbangkan.
Dalam putusannya Majelis Hakim Konstitusi menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima. Sidang Pleno Pengucapan Putusan perkara Nomor 145/PUU-VII/2009 ini dilakukan oleh Hakim Konstitusi yang terdiri Moh. Mahfud MD, selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, M. Akil Mochtar, Maria Farida Indrati, Harjono, Muhammad Alim, M. Arsyad Sanusi, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Hamdan Zoelva, masing-masing sebagai Anggota. (Nur Rosihin Ana)

Permohonan Korban Bailout Bank Century Tidak Diterima

Panitera MK Zainal Arifin Hoesein memberikan salinan Putusan kepada Kuasa Pemohon M. Farhat Abbas, seusai Sidang Pengucapan Putusan Pengujian UU Bank Indonesia dan JPSK, Selasa (20/04) di Ruang sidang Pleno MK.
Jakarta, MK Online - Mahkamah Konstitusi (MK) dalam amar putusannya menyatakan permohonan tidak dapat diterima atas uji materi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang, dan Perpu Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK), Selasa (20/4/2010), di ruang pleno gedung MK.
Para Pemohon, Sri Gayatri (korban dari bailout Bank Century) dan pemohon lainnya sebagai warga negara dirugikan hak konstitusionalnya oleh berlakunya Pasal 11 ayat (4) dan ayat (5) UU 6/2009, serta Perpu 4/2008 karena bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Dalam Pasal 11 ayat (4) dinyatakan, “Dalam hal suatu Bank mengalami kesulitan keuangan yang berdampak sistemik dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan, Bank Indonesia dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat yang pendanaannya menjadi beban Pemerintah”. Kemudian ayat (5) menyatakan,“Ketentuan dan tata cara pengambilan keputusan mengenai kesulitan keuangan Bank yang berdampak sistemik, pemberian fasilitas pembiayaan darurat dan sumber pendanaan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diatur dalam Undang-Undang tersendiri”

Berwenang Adili Perpu
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar, Mahkamah berpendapat, "Terhadap permohonan pengujian Undang-Undang in casu UU 6/2009, sesuai ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK juncto Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo," kata Akil di depan persidangan.
Sedangkan terhadap permohonan pengujian Perpu in casu Perpu 4/2008, lanjut Akil Mochtar, Mahkamah dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 tanggal 8 Februari 2010 dalam pertimbangan hukum paragraf [3.13], Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, ”Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”.
Hak membuat peraturan sebagai pengganti UU tidak diberikan kepada DPR karena pembuatan peraturan di DPR memerlukan waktu yang cukup lama, melalui rapat-rapat di DPR sehingga kalau harus menunggu keputusan DPR kebutuhan hukum secara cepat mungkin tidak dapat terpenuhi.
"Pembuatan Perpu memang di tangan Presiden yang artinya tergantung kepada penilaian subjektif Presiden, namun demikian tidak berarti bahwa secara absolut tergantung kepada penilaian subjektif Presiden karena sebagaimana telah diuraikan di atas penilaian subjektif Presiden tersebut harus didasarkan kepada keadaan yang objektif yaitu adanya tiga syarat sebagai parameter adanya kegentingan yang memaksa," kata Akil Mochtar saat membacakan pertimbangan hukum putusan MK 138/PUU-VII/2009 tanggal 8 Februari 2010.
Adapun ketiga syarat tersebut, lanjut Akil, adalah sebagai berikut, “(i) adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; (ii) Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai; (iii) kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan,” tandas Akil.
Karena yang diujikan oleh para Pemohon adalah Perpu 4/2008 maka pertimbangan hukum Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 tanggal 8 Pebruari 2010 di atas, menurut Mahkamah, mutatis mutandis juga berlaku bagi pengujian Perpu yang diajukan oleh para Pemohon;

Tidak Ada Kerugian Spesifik dan Aktual
Namun berkenaan dengan legal standing (kedudukan hukum), pendapat Mahkamah yang dibacakan bergantian oleh Hakim Konstitusi Harjono dan Maria Farida Indrati menyatakan, kerugian yang didalilkan para Pemohon tidak bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, serta tidak ada hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian yang didalilkan dengan berlakunya pasal yang diujikan tersebut.
Di samping itu, tidak terdapat jaminan dengan dikabulkannya permohonan, kerugian konstitusional seperti yang didalilkan oleh para Pemohon tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat, para Pemohon tidak memenuhi syarat-syarat kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan, sehingga menurut Mahkamah, pokok permohonan para Pemohon tidak perlu dipertimbangkan.
Sidang pengucapan putusan untuk perkara Nomor 145/PUU-VII/2009 ini dilakukan oleh Sembilan hakim konstitusi dan dihadiri Pemohon dan kuasanya, Pemerintah, dan DPR. (Nur Rosihin Ana)
 

Minggu, 11 April 2010

MK Tolak Permohonan Uji UU Penodaan Agama

Ketua Majelis Hakim Mahfud MD mengetuk palu sebagai tanda telah diputuskannya Pengujian UU Penodaan Agama, Senin (19/04) di ruang Sidang Pleno MK.
Jakarta, MK Online - Setelah melalui proses persidangan yang panjang akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak permohononan uji materi UU 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (UU Penodaan Agama), Senin (11/04), di ruang sidang pleno MK. Pembacaan putusan ini dibacakan oleh sembilan Majelis Hakim Konstitusi yang diketuai oleh Moh. Mahfud MD.
Pendapat MK yang dibacakan dalam persidangan menyatakan bahwa negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan masyarakat diberikan hak untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah serta ajaran agamanya masing-masing sesuai dengan kepercayaannya. Negara sesuai amanat konstitusi juga turut bertanggung jawab meningkatkan ketakwaan dan akhlaq mulia. Domain agama adalah konsekuensi penerimaan ideologi Pancasila.
"Dalam negara Pancasila tidak boleh diadakan kegitan yang menjauhkan nilai religiusitas dan keagamaan. Jadi negara tidak memberikan peluang untuk menodai agama lain. Kebebasan agama adalah hak mendasar yang telah disepakati oleh kesepakatan dunia dan dilindungi oleh negara demi harkat martabat manusia," tutur Hakim Arsyad Sanusi.
Meskipun demikian, Arsyad juga menegaskan bahwa negara juga boleh membatasai kebebasan sesuai dengan UUD dan tunduk kepada pembatasan atas penghormatan hak asasi orang lain berdasarkan nilai agama dan sesuai dengan bentuk negara demokratis. Negara memberikan kewajiban dasar atas tegaknya HAM. Secara integral UUD mengatur setiap elemen negara dan masyarakat untuk menghormati HAM itu sendiri. Hal itu harus berlaku dan dilaksanakan dan tanpa melukai yang lainnya.
"Pembatasan tidak boleh diartikan perlakuan diskriminasi karena ada hak asasi maupun kewajiban asasi yang lainnya. Liberalisme, Orientalisme dan faham lainnya harus dikembalikan ke konstitusi sebagai kesepakan bersama negara Idonesia," katanya.
MK berpendapat bahwa pada hakikatnya ide pengujian konstitusionalitas oleh Pemohon adalah mencari tafsir kebebasan beragama di Indonesia kepada MK dan bagaimana bentuk pencegahan atas penodaan terhadap agama. Selain itu, pengujian UU ini secara substansi dimohonkan ke MK apakah relevan saat dibentuknya UU ini apabila dikontekskan dengan kondisi sosial masyarakat saat ini. 
MK menilai bahwa UU pencegahan agama masih tetap sah secara formil, MK tak sependapat kalau UU yang dibuat pada masa demokrasi terpimpin semua tidak sah dan cacat dalam proses pembentukannya. MK juga tidak sependapat dengan pendapat UU Penodaan Agama cacat formal dan tidak sesuai dengan UUD 1945. MK memberikan pandangannya bahwa pasal 1 UU Penodaan Agama ini memberikan kepastian setiap orang dilarang dengan sengaja menyebarkan dan menganjurkan untuk melakukan penafsiran terhadap kegiatan yang menyimpang dari pokok agama.
"UU Penodaan Agama ini tidak membatasi kebebasan beragama dan penafsiran terhadap agama, UU ini menurut MK adalah untuk membatasi penyimpangan dan  penodaan agama. Jadi yang melakukan dengan sengaja dimuka umum mengajarkan agama yang menyimpang terhadap pokok ajaran agama dan menganjurkan penodaan itu yang dilarang. Oleh sebab itu pembatasan ini sesuai dengan UUD diperbolehkan untuk menjaga ketertiban umum dan menghormati hak asasi orang lain," tutur Hakim Konstitusi Fadlil Sumadi.
Fadlil menambahkan bahwa UU Penodaan Agama ini diperlukan dan tidak melanggar HAM. UU Penodaan Agama bukan merupakan UU kebebasan beragama. UU ini mencegah untuk melakukan tindakan anarki. Jadi ketika timbul permasalahan dapat diselesaikan dengan pendekatan hukum. Ini merupakan perlindungan preventif karena agama merupkan isu sensitif dalam masyarakat.
"Pemohon juga mempermasalahkan mengenai formalitas UU Pencegahan Penodaan Agama yang secara historis dibentuk dalam keadaan darurat revolusi, maka MK berpendapat bahwa secara materiil UU Pencegahan Penodaan Agama adalah masih tetap dibutuhkan sebagai pengendali ketertiban umum dalam rangka kerukunan umat beragama," tutur Hakim Konstitusi dari pengadilan agama ini.
MK menimbang bahwa terhadap kepentingan masyarakat penganut kepercayaan yang sudah lama hidup di Indonesia, MK berpendapat, masyarakat penganut kepercayaan adalah masyarakat yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam meyakini kepercayaannya sesuai dengan jaminan yang diberikan dalam Pasal 28E ayat (2) UUD 1945. Praktik diskriminasi yang dialami oleh masyarakat penganut kepercayaan adalah bentuk dari kesalahan penerapan norma dalam hukum administrasi dan bukan merupakan permasalahan pertentangan norma UU Pencegahan Penodaan Agama terhadap UUD 1945. Oleh sebab itu dalil para Pemohon tidak beralasan hukum
Dalam kesimpulannya, MK menyatakan permohonan Pemohon tidak berdasar. "Dalil pemohon baik fomil maupun materil tidak berdasarkan hukum," tegas Moh. Mahfud MD.

Alasan dan Pendapat Berbeda
Dalam putusan ini, terdapat concurring opinion (alasan berbeda) dari Hakim Konstitusi Harjono. Harjono berpendapat hak asasi manusia memang tidak bisa dibatasi namun dalam memanivestasikan dalam agama dapat dibatasi terutama menyangkut aspek forum externum dan harus ditetapkan oleh UU dengan menjamin kebebasan orang lain. Pengujian UU yang diujikan Pemohon setelah perubahan UUD adalah tentang perlindungan agama yang tidak berdasarkan hanya pada agama tertentu saja.
"Rumusan Pasal 1 apabila ada kekurangan maka bisa dilakukan revisi oleh lembaga yang berwenang. Namun untuk mencegah kondisi yang tidak dikehendaki dalam masyarakat UU ini masih tetap konstitusional," tutur Harjono.
Sementara itu, dissenting opinion (pendapat berbeda) disampaikan oleh Hakim Konstitusi Maria Farida, bahwa Penyempurnaan terhadap UU ini harus dilakukan dengan pandangan dan nilai baru yang sesuai dengan kondisi saat ini.
"Kebebasan beragama di indonesia dilandasi dengan hukum dan negara wajib menjamin kebebasan beragama. Ada dua aspek yang diperhatikan yakni internum dan externum. Pasal 1 dan penjelasannya terdapat ketidak-sesuaian karena agama hanya terbatas enam yang diakui. Selanjutnya, untuk aliran kepercayaan cenderung diarahkan kepada salah satu agama yang kemudian menyentuh eksistensi setiap kepercayaan agar diarahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa," tutur Hakim Konstitusi perempuan pertama ini.
Selain itu, ketentuan Pasal 2 tidak konsisten antara penyebutan barang siapa yang dalam bahasa hukum adalah orang dan badan hukum, tapi kemudian terdapat pula penjelasan hanya menyebut organisasi. Begitu juga rumusan pasal 3 ada perbedaan alamat subjek hukum yang dituju. Eksistensi UU ini perlu ditinjau kembali karena sering menimbulkan berbagai permasalahan dalam prakteknya karena hanya mengakui enam agama saja. Dampak langsung bisa dilihat pada contoh pencatatan perkawinan, KTP dan pembuatan surat kematian.
"UU Penodaan Agama terdapat permasalahan mendasar dan harus dicabut karena dalam pelaksanaannya cenderung represif terhadap agama tidak resmi. Bahwa dengan terjadinya berbagai permasalahan yang seringkali menimbulkan adanya tindakan yang sewenang-wenang dalam pelaksanaan Undang-Undang a quo dan adanya pertentangan dalam ketentuan pasal-pasalnya terhadap beberapa pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 28E, Pasal 28I, dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945, saya berkesimpulan bahwa permohonan para Pemohon seharusnya dikabulkan," terang Maria Farida.
Perkara No.140/PUU-VII/2009 ini dimohonkan tujuh Pemohon badan hukum (organisasi non pemerintah), yakni Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Perkumpulan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), Perkumpulan Pusat Studi Hak Asasi Manusia dan Demokrasi (Demos), Perkumpulan Masyarakat Setara, Yayasan Desantara (Desantara Foundation), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan tiga Pemohon perorangan, yakni, (Alm) K.H. Abdurahman Wahid, Prof. DR. Musdah Mulia, Prof. M. Dawam Rahardjo, dan KH. Maman Imanul Haq. (RN Bayu Aji)