Permohonan judical review UU Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (UU
Keimigrasian) yang dimohonkan oleh Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, memasuki tahap akhir yang paling menentukan, yaitu pengucapan putusan
di Mahkamah Konstitusi. Mahkamah dalam amar putusan menyatakan mengabulkan
sebagian permohonan Yusril. “Amar Putusan, mengadili, menyatakan mengabulkan
permohonan Pemohon untuk sebagian,” kata Ketua Pleno Hakim Konstitusi Moh Mahfud MD. saat
mengucapkan putusan Nomor 64/PUU-IX/2011 dalam persidangan yang digelar di MK, Rabu
(20/6/2012) siang.
Masih dalam amar putusan, Mahkamah menyatakan Pasal 97
ayat (1) UU Keimigrasian sepanjang frasa “setiap kali” adalah bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selanjutnya bunyi Pasal
97 ayat (1) UU Keimigrasian menjadi “Jangka waktu Pencegahan berlaku paling
lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan”. Selain
itu, memerintahkan pemuatan putusan dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Terakhir, menyatakan menolak permohonan Yusril untuk selain dan selebihnya.
Latar belakang diajukannya permohonan ini karena
Yusril dicegah ke luar negeri selama 6 (enam) bulan berdasarkan Keputusan Jaksa
Agung RI Nomor Kep-201/D/Dsp.3/06/2011 tanggal 27 Juni 2011 tentang “Pencegahan
Dalam Perkara Pidana”. Alasan utama pencegahan terhadap Yusril, sebagaimana
tertuang dalam konsideran keputusan Jaksa Agung tersebut adalah “untuk
kepentingan operasi yustisi di bidang penyidikan”. Sebab Yusril diduga terlibat
dalam perkara pidana dan telah
dinyatakan sebagai tersangka sejak tanggal 24 Juni 2010.
Sebelumnya, Jaksa Agung telah menerbitkan Keputusan Nomor
Kep-212/D/Dsp.3/06/2010 tanggal 25 Juni 2010 yang diktumnya mencegah Yusril ke
luar negeri selama 1 (satu) tahun dengan alasan yang sama, yakni untuk
“kepentingan operasi yustisi di bidang penyidikan”. Pencegahan itu berlaku
sejak 25 Juni 2010 sampai 25 Juni 2011.
Dicekal UU Tak Berlaku
Jelang jangka waktu pencegahan berakhir, Jaksa Agung
kembali melakukan pencegahan kepada Yusril melalui Keputusan Nomor
Kep-195/D/Dsp.3/06/2011 tanggal 24 Juni 2011 untuk jangka waktu (1) tahun hingga
25 Juni 2012. Alasan yang digunakan pun sama, yakni “untuk operasi yustisi di
bidang penyidikan”. Padahal, salah satu dasar hukum yang digunakan untuk
melakukan pencegahan itu ialah UU Nomor 9 Tahun 1992 yang telah dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku lagi berdasarkan Pasal 142 UU 6 Tahun 2011 sejak
tanggal 5 Mei 2011.
Yusril melakukan perlawanan terhadap Keputusan Jaksa
Agung tersebut dengan melakukan gugatan ke PTUN Jakarta. Wakil Jaksa Agung
Darmono, pada awalnya berkeras mengatakan bahwa keputusan yang menggunakan UU
yang telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku itu, sebagai “keputusan yang
sah dan sudah benar”. Hal ini memicu polemik antara Yusril dengan jajaran Kejagung,
Menteri Hukum dan HAM dan beberapa pejabat Ditjen Imigrasi. Namun, ketika
gugatan telah didaftarkan di PTUN Jakarta, Jaksa Agung tiba-tiba mencabut
Keputusan Nomor 195/D/Dsp.3/06/2011 tanggal 24 Juni 2011 dan menerbitkan
Keputusan Pencegahan yang baru, yakni Keputusan Nomor Kep-201/D/Dsp.3/06/2011
tanggal 27 Juni 2001. Diktum Keputusan ini intinya mencegah Yusril ke luar
negeri selama 6 (enam) bulan, sesuai jangka waktu maksimum yang diberikan oleh
Pasal 97 ayat (1) UU Keimigrasian yang dijadikan sebagai salah satu dasar hukum
dalam konsideran keputusan tersebut. Sedangkan alasan pencegahan tetap sama,
yakni “untuk kepentingan operasi yustisi di bidang penyidikan.
Sampai Kiamat
Pasal 97 ayat (1) UU Keimigrasian menyatakan, ”Jangka
waktu Pencegahan berlaku paling lama 6 (enam) bulan dan setiap kali dapat
diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan”. Menurut Yusril, frasa “dan setiap
kali dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan”, dapat menyebabkan
terjadinya perpanjangan pencegahan ke luar negeri terhadap seorang warga negara
pada masa penyidikan tanpa kepastian batas waktu bahkan ilâ yaumil qiyâmah
(sampai datangnya hari kiamat). Hal ini menciptakan ketidakpastian hukum yang
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dan bertentangan dengan hak
warga negara untuk memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta hak untuk kembali sebagaimana dijamin oleh Pasal 28E
ayat (1) UUD 1945.
Mahkamah
berpendapat, pencegahan ke luar negeri diatur dalam Pasal 91 sampai dengan
Pasal 97 UU Keimigrasian. Pasal 91 mengatur bahwa yang berwenang melakukan pencegahan
adalah Menteri Hukum dan HAM. Pencegahan dilakukan berdasarkan hasil pengawasan
Keimigrasian, Keputusan Menteri Keuangan dan Jaksa Agung, permintaan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia, perintah Ketua Komisi Pemberantasan
Korupsi, permintaan Kepala Badan Narkotika Nasional, dan keputusan, perintah,
atau permintaan pimpinan kementerian/ lembaga lain yang berdasarkan Undang-Undang
memiliki kewenangan pencegahan. Pasal 16 ayat (1) UU Keimigrasian mengatur
bahwa apabila seseorang berada dalam daftar pencegahan, atau diperlukan untuk
kepentingan penyidikan atas permintaan pejabat yang berwenang, maka Pejabat
Imigrasi dapat menolak orang tersebut untuk keluar Wilayah Indonesia. “Dengan demikian,
salah satu tujuan pencegahan adalah untuk kepentingan penyidikan, yaitu untuk
mencegah seseorang yang disangka melakukan tindak pidana menghindar dari proses
hukum dengan melarikan diri keluar dari wilayah Indonesia,” kata Hakim
Konstitusi Anwar Usman membacakan pendapat Mahkamah.
Menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 97 ayat (1) UU Keimigrasian
khususnya frasa “dan setiap kali dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan”
di satu sisi dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bagi tersangka karena tidak
dapat memastikan sampai kapan penyidikan berakhir dan sampai kapan pula pencegahan
ke luar negeri berakhir. Pada sisi lain dapat menimbulkan kesewenang-wenangan
aparat negara yaitu Jaksa Agung, Menteri Hukum dan HAM, dan pejabat lainnya
yang berwenang untuk melakukan pencegahan kepada tersangka tanpa batas waktu. Kejadian
seperti ini pernah dialami oleh A.M. Fatwa. Saat bersaksi di persidangan MK,
A.M. Fatwa berkisah dicegah tanpa batas waktu dan tanpa surat pencegahan pada
masa pemerintahan Orde Baru yang sangat menyakitkan.
Akibat selanjutnya adalah tidak jelasnya
penyelesaian suatu perkara pidana yang justru merugikan penegakan keadilan, karena
keadilan yang ditunda-tunda dapat menimbulkan ketidakadilan (justice delayed
is justice denied). Apalagi dengan adanya pencegahan ke luar negeri terhadap
seorang tersangka tanpa batas waktu, mengakibatkan ketidakbebasan bagi
tersangka dalam waktu yang tidak terbatas pula, dengan tanpa mendapat
pengurangan pidana jika pada akhirnya tersangka dijatuhi pidana oleh pengadilan
seperti halnya tersangka/terdakwa yang dikenai penahanan kota sebagaimana
diatur dalam KUHAP. (Nur Rosihin Ana)