Rabu, 06 Juni 2012

Penjelasan Pasal 10 UU Kementerian Negara Sumber Kekacauan Jabatan Wakil Menteri

Timbulnya kekacauan implementasi atau masalah legalitas di dalam hukum kepegawaian dan birokrasi pemerintahan, khususnya menyangkut jabatan wakil menteri (wamen), bersumber dari ketentuan Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (UU Kementerian Negara). “Yang dimaksud dengan "Wakil Menteri" adalah pejabat karir dan bukan merupakan anggota kabinet.”  Demikian bunyi Penjelasan Pasal 10 UU Kementerian Negara yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (5/6/2012) siang, dalam sidang pengucapan putusan Nomor 79/PUU-IX/2011.

Mahkamah dalam amar putusan menyatakan mengabulkan sebagian permohonan  Adi Warman, Ketua Umum Gerakan Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (GN-PK) dan H. TB. Imamudin, Sekretaris Jenderal GN-PK. Mahkamah menyatakan Penjelasan Pasal 10 UU Kementerian Negara bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Mahkamah berpendapat, ketentuan Pasal 17 UUD 1945 hanya menyebutkan menteri-menteri negara, tanpa menyebutkan wamen. Menurut Mahkamah, kalau menteri dapat diangkat oleh Presiden, logikanya Presiden pun tentu dapat mengangkat wamen. Sebab, UUD 1945 hanya mengatur hal-hal yang pokok, sedangkan pelaksanaan lebih lanjut diatur dengan UU. Berdasarkan ketentuan konstitusi, pengangkatan wamen itu adalah bagian dari kewenangan Presiden untuk melaksanakan tugas-tugasnya.

Tidak adanya perintah maupun larangan di dalam UUD 1945 memberi arti berlakunya asas umum di dalam hukum bahwa “sesuatu yang tidak diperintahkan dan tidak dilarang itu boleh dilakukan” dan dimasukkan di dalam UU sepanjang tidak berpotensi melanggar hak-hak konstitusional atau ketentuan-ketentuan lain di dalam UUD 1945. Sehingga, dari sudut substansi, tidak terdapat persoalan konstitusionalitas dalam konteks ini.

Orang yang dapat diangkat sebagai wamen menurut Mahkamah, dapat berasal dari pegawai negeri sipil (PNS), anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Republik Indonesia, bahkan warga negara biasa.


Norma Baru yang Rancu

Pasal 10 UU Kementerian Negara menyatakan, “Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat wakil Menteri pada Kementerian tertentu”.

Kewenangan Presiden mengangkat wamen dalam rangka menangani beban kerja yang semakin berat, tidak bertentangan dengan konstitusi jika dipandang dari sudut pengutamaan tujuan yang hendak dicapai (doelmatigheid) atau nilai kemanfaatan dalam rangka memenuhi harapan dan kebutuhan masyarakat yang terus meningkat. Dengan demikian, Pasal 10 UU Kementerian Negara tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mengandung persoalan konstitusionalitas.

Akan tetapi, pengaturan yang terkandung dalam Penjelasan Pasal 10 UU Kementerian Negara dalam praktiknya telah menimbulkan persoalan legalitas yakni ketidakpastian hukum karena tidak sesuainya implementasi ketentuan tersebut dengan hukum kepegawaian atau peraturan perundang-undangan di bidang pemerintahan dan birokrasi. Terlebih lagi Penjelasan Pasal 10 ternyata berisi norma baru. Padahal menurut Putusan Mahkamah Nomor 011/PUU-III/2005, tanggal 19 Oktober 2005 yang kemudian dimuat pula di dalam Lampiran II angka 177 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234) dinyatakan, “Penjelasan ... tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisi norma”.

Presiden sebagai pemegang hak prerogatif dalam hal-hal tertentu, juga mempunyai kewajiban hukum untuk mentaati peraturan perundang-undangan sesuai dengan sumpah Presiden/Wakil Presiden yang menyatakan, “...memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya ...”

Carut Marut Jabatan Wamen

Persoalan legalitas yang muncul dalam pengangkatan wamen, antara lain, menurut Mahkamah adalah: Pertama, terjadi eksesifitas dalam pengangkatan wamen sehingga tampak tidak sejalan dengan dengan latar belakang dan filosofi pembentukan UU dimaksud (original intent). Salah satu latar belakang terpenting dari keharusan konstitusional untuk membentuk UU Kementerian Negara sebagaimana diatur di dalam Pasal 17 ayat (4) UUD 1945 dimaksudkan untuk membatasi agar dalam membentuk kementerian negara guna melaksanakan tugas-tugas pemerintahan, Presiden melakukannya secara efektif dan efisien.

Jabatan menteri dan kementerian tidak boleh diobral sebagai hadiah politik terhadap seseorang atau satu golongan, sekaligus tidak dapat sembarangan dibubarkan tanpa analisis yang mendalam bagi kepentingan negara dan bangsa seperti yang pernah terjadi di masa lalu. Pembentukan wamen yang terjadi berdasar fakta hukum sekarang, yakni pembentukan yang tanpa job analysis dan job specification yang jelas telah memberi kesan kuat bahwa jabatan wamen hanya dibentuk sebagai kamuflase politik dan membagi-bagi hadiah politik. Hal ini nyata-nyata tidak sesuai dengan filosofi dan latar belakang pembentukan UU Kementerian Negara yang dalam implementasinya menimbulkan persoalan legalitas.

Kedua, saat mengangkat wamen, Presiden tidak menentukan beban kerja secara spesifik bagi setiap wamen sehingga tak terhindarkan memberi kesan kuat sebagai langkah yang lebih politis daripada mengangkat pegawai negeri sipil (PNS) secara profesional dalam jabatan negeri. Apalagi seleksi jabatan wamen dilakukan secara sama dengan pengangkatan menteri yakni didahului dengan fit and proper test di tempat dan dengan cara yang sama dengan seleksi dan pengangkatan menteri. Hal tersebut menjadi sangat politis dan tidak sesuai dengan hukum kepegawaian yang sudah lama berlaku terutama jika dikaitkan dengan ketentuan dalam Penjelasan Pasal 10 UU Kementerian Negara.

Ketiga, menurut Penjelasan Pasal 10 UU Kementerian Negara, jabatan wamen adalah jabatan karier dari PNS. Namun dalam pengangkatannya tidaklah jelas apakah jabatan tersebut merupakan jabatan struktural ataukah jabatan fungsional. Seperti dinyatakan oleh pimpinan BKN di persidangan tanggal 7 Februari 2012, jabatan karier bagi PNS itu ada dua, yakni jabatan struktural dan jabatan fungsional.

Persoalannya, jika dianggap sebagai jabatan struktural maka yang bersangkutan haruslah menduduki jabatan Eselon IA yang berarti, sesuai dengan hukum kepegawaian, pembinaan kepegawaiannya di bawah pembinaan Sekretaris Jenderal. Akan tetapi jika jabatan wamen tersebut diperlakukan sebagai jabatan fungsional masalahnya menjadi aneh, sebab jabatan fungsional itu bersifat tertentu terhadap satu bidang dan bukan jenis profesi dan keahlian yang berbeda-beda yang kemudian dijadikan satu paket sebagai jabatan fungsional. Adalah tidak masuk akal kalau jabatan wamen yang sangat beragam bidang tugas, keahlian, dan unit kerjanya dianggap sebagai satu kelompok jabatan fungsional. Lagipula jabatan fungsional harus ditentukan lebih dahulu di dalam peraturan perundang-undangan dengan mengklasifikasi masing-masing jabatan fungsional ke dalam jenis tertentu.

Para wamen yang berasal dari perguruan tinggi misalnya, semuanya sudah mempunyai jabatan fungsional akademik. Pertanyaannya, kalau jabatan wamen dianggap sebagai jabatan karier fungsional maka bisakah seorang PNS memiliki dua jabatan fungsional sekaligus berdasar peraturan perundang-undangan?

Keempat, masih terkait dengan jabatan karier, jika seorang wamen akan diangkat dalam jabatan karier dengan jabatan struktural (Eselon IA) maka pengangkatannya haruslah melalui seleksi dan penilaian oleh Tim Penilai Akhir (TPA) yang diketuai oleh Wakil Presiden atas usulan masing-masing instansi yang bersangkutan. Tim Penilai Akhir tersebut kemudian mengusulkan pengangkatannya kepada Presiden dalam bentuk penerbitan Keputusan Presiden (Keppres) untuk kemudian dilantik oleh Menteri/Jaksa Agung/Kapolri dan pejabat yang setingkat sesuai dengan penempatan yang bersangkutan.

Menurut fakta di persidangan, para wamen diangkat tanpa melalui prosedur tersebut. Bahkan pelantikannya dilakukan oleh Presiden sendiri di istana negara sehingga prosedurnya menggunakan prosedur yang berlaku bagi menteri, bukan prosedur yang berlaku bagi PNS yang menduduki jabatan karier.

Kelima, nuansa politisasi dalam pengangkatan jabatan wamen tampak juga dari terjadinya perubahan Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara sampai dua kali menjelang (Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2011, tanggal 13 Oktober 2011) dan sesudah (Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2011, tanggal 18 Oktober 2011) pengangkatan wamen bulan Oktober 2011 yang oleh sebagian masyarakat dipandang sebagai upaya menjustifikasi orang yang tidak memenuhi syarat untuk diangkat menjadi wamen supaya memenuhi syarat tersebut. Perubahan-perubahan Perpres tersebut tampak dibuat secara kurang cermat sehingga mengacaukan sistem pembinaan pegawai sebagaimana telah diatur dengan peraturan perundang-undangan yang ada lebih dulu.

Keenam, komplikasi legalitas dalam pengangkatan wamen seperti yang berlaku sekarang ini, muncul juga terkait dengan berakhirnya masa jabatan. Jika wamen diangkat sebagai pejabat politik yang membantu menteri maka masa jabatannya berakhir bersama dengan periode jabatan Presiden yang mengangkatnya. Akan tetapi, jika wamen diangkat sebagai pejabat birokrasi dalam jabatan karier maka jabatan itu melekat terus sampai dengan tiba masa pensiunnya atau berakhir masa tugasnya berdasarkan ketentuan yang berlaku untuk jabatan karier sehingga tidak serta merta berakhir bersama dengan jabatan Presiden yang mengangkatnya.

Pertanyaannya, kapan berakhirnya masa jabatan wamen berdasarkan fakta hukum yang ada sekarang ini? Apakah bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan menteri yang dibantunya dan dalam periode Presiden yang mengangkatnya ataukah dapat berakhir sebelum atau sesudah itu? Di sinilah letak komplikasi legalitas tersebut.

Penjelasan yang Inkonstitusional

Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 yang menentukan bahwa wamen adalah pejabat karir dan bukan merupakan anggota kabinet adalah tidak sinkron dengan ketentuan Pasal 9 ayat (1) UU Kementerian Negara. Sebab menurut pasal tersebut, susunan organisasi kementerian terdiri dari unsur: pemimpin yaitu Menteri; pembantu pemimpin yaitu sekretariat jenderal; pelaksana tugas pokok, yaitu direktorat jenderal; pengawas yaitu inspektorat jenderal; pendukung, yaitu badan atau pusat; dan pelaksana tugas pokok di daerah dan/atau perwakilan luar negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Apabila wamen ditetapkan sebagai pejabat karir, sudah tidak ada posisinya dalam susunan organisasi kementerian, sehingga hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil, yang berarti bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Menurut Mahkamah, timbulnya kekacauan implementasi atau masalah legalitas di dalam hukum kepegawaian dan birokrasi pemerintahan itu terjadi karena bersumber dari ketentuan Penjelasan Pasal 10 UU Kementerian Negara.

Keberadaan Penjelasan tersebut justru menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil dalam pelaksanaan hukum dan telah membatasi atau membelenggu kewenangan eksklusif Presiden dalam hal mengangkat dan memberhentikan menteri/wakil menteri berdasarkan UUD 1945 sehingga Penjelasan tersebut harus dinyatakan inkonstitusional.

Oleh karena keberadaan wamen yang ada sekarang ini diangkat antara lain berdasar Pasal 10 dan Penjelasannya dalam UU Kementerian Negara, menurut Mahkamah posisi wamen perlu segera disesuaikan kembali sebagai kewenangan eksklusif Presiden menurut putusan Mahkamah ini. Oleh sebab itu, semua Keppres pengangkatan masing-masing wamen perlu diperbarui agar menjadi produk yang sesuai dengan kewenangan eksklusif Presiden dan agar tidak lagi mengandung ketidakpastian hukum. (Nur Rosihin Ana)

0 komentar:

Posting Komentar