Timbulnya
kekacauan implementasi atau masalah legalitas di dalam hukum kepegawaian dan
birokrasi pemerintahan, khususnya menyangkut jabatan wakil menteri (wamen),
bersumber dari ketentuan Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (UU Kementerian Negara). “Yang
dimaksud dengan "Wakil Menteri" adalah pejabat karir dan bukan
merupakan anggota kabinet.” Demikian
bunyi Penjelasan Pasal 10 UU Kementerian Negara yang dinyatakan bertentangan
dengan UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (5/6/2012) siang, dalam
sidang pengucapan putusan Nomor 79/PUU-IX/2011.
Mahkamah dalam amar putusan menyatakan mengabulkan
sebagian permohonan Adi Warman, Ketua
Umum Gerakan Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (GN-PK) dan H. TB.
Imamudin, Sekretaris Jenderal GN-PK. Mahkamah menyatakan Penjelasan Pasal 10 UU
Kementerian Negara bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat.
Mahkamah
berpendapat, ketentuan Pasal 17 UUD 1945 hanya menyebutkan menteri-menteri
negara, tanpa menyebutkan wamen. Menurut Mahkamah, kalau menteri dapat diangkat
oleh Presiden, logikanya Presiden pun tentu dapat mengangkat wamen. Sebab, UUD
1945 hanya mengatur hal-hal yang pokok, sedangkan pelaksanaan lebih lanjut
diatur dengan UU. Berdasarkan ketentuan konstitusi, pengangkatan wamen itu adalah
bagian dari kewenangan Presiden untuk melaksanakan tugas-tugasnya.
Tidak adanya perintah maupun larangan di dalam UUD
1945 memberi arti berlakunya asas umum di dalam hukum bahwa “sesuatu yang tidak
diperintahkan dan tidak dilarang itu boleh dilakukan” dan dimasukkan di dalam UU sepanjang tidak
berpotensi melanggar hak-hak konstitusional atau ketentuan-ketentuan lain di
dalam UUD 1945. Sehingga, dari sudut substansi, tidak terdapat persoalan
konstitusionalitas dalam konteks ini.
Orang yang dapat
diangkat sebagai wamen menurut Mahkamah, dapat berasal dari pegawai negeri
sipil (PNS), anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Republik
Indonesia, bahkan warga negara biasa.
Norma Baru yang Rancu
Pasal 10 UU Kementerian
Negara menyatakan, “Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan
secara khusus, Presiden dapat mengangkat wakil Menteri pada Kementerian
tertentu”.
Kewenangan
Presiden mengangkat wamen dalam rangka menangani beban kerja yang semakin berat,
tidak bertentangan dengan konstitusi jika dipandang dari sudut pengutamaan
tujuan yang hendak dicapai (doelmatigheid) atau nilai kemanfaatan dalam
rangka memenuhi harapan dan kebutuhan masyarakat yang terus meningkat. Dengan
demikian, Pasal 10 UU Kementerian Negara tidak bertentangan dengan UUD 1945
dan tidak mengandung persoalan konstitusionalitas.
Akan tetapi,
pengaturan yang terkandung dalam Penjelasan Pasal 10 UU Kementerian Negara dalam
praktiknya telah menimbulkan persoalan legalitas yakni ketidakpastian hukum
karena tidak sesuainya implementasi ketentuan tersebut dengan hukum kepegawaian
atau peraturan perundang-undangan di bidang pemerintahan dan birokrasi.
Terlebih lagi Penjelasan Pasal 10 ternyata berisi norma baru. Padahal menurut
Putusan Mahkamah Nomor 011/PUU-III/2005, tanggal 19 Oktober 2005 yang kemudian
dimuat pula di dalam Lampiran II angka 177 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234) dinyatakan,
“Penjelasan ... tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisi norma”.
Presiden sebagai
pemegang hak prerogatif dalam hal-hal tertentu, juga mempunyai kewajiban hukum
untuk mentaati peraturan perundang-undangan sesuai dengan sumpah Presiden/Wakil
Presiden yang menyatakan, “...memegang teguh Undang-Undang Dasar dan
menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya ...”
Carut Marut Jabatan Wamen
Persoalan legalitas
yang muncul dalam pengangkatan wamen, antara lain, menurut Mahkamah adalah: Pertama,
terjadi eksesifitas dalam pengangkatan wamen sehingga tampak tidak sejalan
dengan dengan latar belakang dan filosofi pembentukan UU dimaksud (original
intent). Salah satu latar belakang terpenting dari keharusan konstitusional
untuk membentuk UU Kementerian Negara sebagaimana diatur di dalam Pasal 17 ayat
(4) UUD 1945 dimaksudkan untuk membatasi agar dalam membentuk kementerian
negara guna melaksanakan tugas-tugas pemerintahan, Presiden melakukannya secara
efektif dan efisien.
Jabatan menteri
dan kementerian tidak boleh diobral sebagai hadiah politik terhadap seseorang
atau satu golongan, sekaligus tidak dapat sembarangan dibubarkan tanpa analisis
yang mendalam bagi kepentingan negara dan bangsa seperti yang pernah terjadi di
masa lalu. Pembentukan wamen yang terjadi berdasar fakta hukum sekarang, yakni
pembentukan yang tanpa job analysis dan job specification yang
jelas telah memberi kesan kuat bahwa jabatan wamen hanya dibentuk sebagai
kamuflase politik dan membagi-bagi hadiah politik. Hal ini nyata-nyata tidak
sesuai dengan filosofi dan latar belakang pembentukan UU Kementerian Negara
yang dalam implementasinya menimbulkan persoalan legalitas.
Kedua, saat mengangkat wamen, Presiden
tidak menentukan beban kerja secara spesifik bagi setiap wamen sehingga tak
terhindarkan memberi kesan kuat sebagai langkah yang lebih politis daripada
mengangkat pegawai negeri sipil (PNS) secara profesional dalam jabatan negeri.
Apalagi seleksi jabatan wamen dilakukan secara sama dengan pengangkatan menteri
yakni didahului dengan fit and proper test di tempat dan dengan cara
yang sama dengan seleksi dan pengangkatan menteri. Hal tersebut menjadi sangat
politis dan tidak sesuai dengan hukum kepegawaian yang sudah lama berlaku
terutama jika dikaitkan dengan ketentuan dalam Penjelasan Pasal 10 UU
Kementerian Negara.
Ketiga, menurut Penjelasan Pasal 10 UU
Kementerian Negara, jabatan wamen adalah jabatan karier dari PNS. Namun dalam
pengangkatannya tidaklah jelas apakah jabatan tersebut merupakan jabatan
struktural ataukah jabatan fungsional. Seperti dinyatakan oleh pimpinan BKN di
persidangan tanggal 7 Februari 2012, jabatan karier bagi PNS itu ada dua, yakni
jabatan struktural dan jabatan fungsional.
Persoalannya, jika
dianggap sebagai jabatan struktural maka yang bersangkutan haruslah menduduki
jabatan Eselon IA yang berarti, sesuai dengan hukum
kepegawaian, pembinaan kepegawaiannya di bawah pembinaan Sekretaris Jenderal.
Akan tetapi jika jabatan wamen tersebut diperlakukan sebagai jabatan fungsional
masalahnya menjadi aneh, sebab jabatan fungsional itu bersifat tertentu
terhadap satu bidang dan bukan jenis profesi dan keahlian yang berbeda-beda
yang kemudian dijadikan satu paket sebagai jabatan fungsional. Adalah tidak
masuk akal kalau jabatan wamen yang sangat beragam bidang tugas, keahlian, dan
unit kerjanya dianggap sebagai satu kelompok jabatan fungsional. Lagipula
jabatan fungsional harus ditentukan lebih dahulu di dalam peraturan
perundang-undangan dengan mengklasifikasi masing-masing jabatan fungsional ke
dalam jenis tertentu.
Para wamen yang berasal dari perguruan tinggi
misalnya, semuanya sudah mempunyai jabatan fungsional akademik. Pertanyaannya,
kalau jabatan wamen dianggap sebagai jabatan karier fungsional maka bisakah
seorang PNS memiliki dua jabatan fungsional sekaligus berdasar peraturan
perundang-undangan?
Keempat, masih terkait
dengan jabatan karier, jika seorang wamen akan diangkat dalam jabatan karier
dengan jabatan struktural (Eselon IA) maka pengangkatannya haruslah melalui
seleksi dan penilaian oleh Tim Penilai Akhir (TPA) yang diketuai oleh Wakil
Presiden atas usulan masing-masing instansi yang bersangkutan. Tim Penilai
Akhir tersebut kemudian mengusulkan pengangkatannya kepada Presiden dalam
bentuk penerbitan Keputusan Presiden (Keppres) untuk kemudian dilantik oleh
Menteri/Jaksa Agung/Kapolri dan pejabat yang setingkat sesuai dengan penempatan
yang bersangkutan.
Menurut fakta di persidangan, para wamen diangkat
tanpa melalui prosedur tersebut. Bahkan pelantikannya dilakukan oleh Presiden
sendiri di istana negara sehingga prosedurnya menggunakan prosedur yang berlaku
bagi menteri, bukan prosedur yang berlaku bagi PNS yang menduduki jabatan
karier.
Kelima, nuansa
politisasi dalam pengangkatan jabatan wamen tampak juga dari terjadinya
perubahan Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan
Organisasi Kementerian Negara sampai dua kali menjelang (Peraturan Presiden
Nomor 76 Tahun 2011, tanggal 13 Oktober 2011) dan sesudah (Peraturan Presiden
Nomor 77 Tahun 2011, tanggal 18 Oktober 2011) pengangkatan wamen bulan Oktober
2011 yang oleh sebagian masyarakat dipandang sebagai upaya menjustifikasi orang
yang tidak memenuhi syarat untuk diangkat menjadi wamen supaya memenuhi syarat
tersebut. Perubahan-perubahan Perpres tersebut tampak dibuat secara kurang
cermat sehingga mengacaukan sistem pembinaan pegawai sebagaimana telah diatur
dengan peraturan perundang-undangan yang ada lebih dulu.
Keenam, komplikasi
legalitas dalam pengangkatan wamen seperti yang berlaku sekarang ini, muncul
juga terkait dengan berakhirnya masa jabatan. Jika wamen diangkat sebagai
pejabat politik yang membantu menteri maka masa jabatannya berakhir bersama
dengan periode jabatan Presiden yang mengangkatnya. Akan tetapi, jika wamen
diangkat sebagai pejabat birokrasi dalam jabatan karier maka jabatan itu melekat
terus sampai dengan tiba masa pensiunnya atau berakhir masa tugasnya
berdasarkan ketentuan yang berlaku untuk jabatan karier sehingga tidak serta
merta berakhir bersama dengan jabatan Presiden yang mengangkatnya.
Pertanyaannya, kapan berakhirnya masa jabatan wamen
berdasarkan fakta hukum yang ada sekarang ini? Apakah bersamaan dengan
berakhirnya masa jabatan menteri yang dibantunya dan dalam periode Presiden
yang mengangkatnya ataukah dapat berakhir sebelum atau sesudah itu? Di sinilah
letak komplikasi legalitas tersebut.
Penjelasan yang Inkonstitusional
Penjelasan Pasal
10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 yang menentukan bahwa wamen adalah pejabat
karir dan bukan merupakan anggota kabinet adalah tidak sinkron dengan ketentuan
Pasal 9 ayat (1) UU Kementerian Negara. Sebab menurut pasal tersebut, susunan
organisasi kementerian terdiri dari unsur: pemimpin yaitu Menteri; pembantu
pemimpin yaitu sekretariat jenderal; pelaksana tugas pokok, yaitu direktorat
jenderal; pengawas yaitu inspektorat jenderal; pendukung, yaitu badan atau
pusat; dan pelaksana tugas pokok di daerah dan/atau perwakilan luar negeri
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Apabila wamen ditetapkan sebagai pejabat karir,
sudah tidak ada posisinya dalam susunan organisasi kementerian, sehingga hal
tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil, yang berarti bertentangan
dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Menurut Mahkamah, timbulnya kekacauan
implementasi atau masalah legalitas di dalam hukum kepegawaian dan birokrasi pemerintahan
itu terjadi karena bersumber dari ketentuan Penjelasan Pasal 10 UU Kementerian
Negara.
Keberadaan Penjelasan tersebut justru menimbulkan
ketidakpastian hukum yang adil dalam pelaksanaan hukum dan telah membatasi atau
membelenggu kewenangan eksklusif Presiden dalam hal mengangkat dan
memberhentikan menteri/wakil menteri berdasarkan UUD 1945 sehingga Penjelasan
tersebut harus dinyatakan inkonstitusional.
Oleh karena keberadaan wamen
yang ada sekarang ini diangkat antara lain berdasar Pasal 10 dan Penjelasannya
dalam UU Kementerian Negara, menurut Mahkamah posisi wamen perlu segera
disesuaikan kembali sebagai kewenangan eksklusif Presiden menurut putusan
Mahkamah ini. Oleh sebab itu, semua Keppres pengangkatan masing-masing wamen
perlu diperbarui agar menjadi produk yang sesuai dengan kewenangan eksklusif
Presiden dan agar tidak lagi mengandung ketidakpastian hukum. (Nur Rosihin Ana)
0 komentar:
Posting Komentar