Jakarta, MKOnline - Tiga permohonan judicial review terhadap Undang-Undang No. 18/2003 tentang Advokat diputus oleh Mahkamah Konstitusi, Senin (27/6) di Ruang Sidang Pleno MK. Tiga perkara tersebut adalah perkara No. 66/PUU-VIII/2010, 71/PUU-VIII/2010, dan 77/PUU-VIII/2010. Terhadap perkara 66, MK menyatakan bahwa permohonan para Pemohon sebagian ne bis in idem dan sebagian tidak terbukti. Dalam amar putusannya MK menyatakan, permohonan para Pemohon sepanjang mengenai pengujian Pasal 28 ayat (1) dan Pasal 32 ayat (4) UU Advokat tidak dapat diterima. ”Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya,” ujar Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD.
Sedangkan terhadap dua perkara lainnya, perkara 71 dan 77, MK menyatakan, tidak dapat diterima. ”Permohonan para Pemohon ne bis in idem untuk seluruhnya,” tegas Mahfud. Untuk diketahui, ne bis in idem adalah asas hukum yang menyatakan bahwa perkara yang sama yang telah diputus dan berkekuatan hukum tetap tidak dapat diperkarakan kembali.
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah berpendapat, Pengujian konstitusionalitas atas Pasal 28 ayat (1) dan Pasal 32 ayat (4) UU Advokat telah dimohonkan pengujiannya dan telah diputus dalam putusan MK No. 014/PUU-IV/2006, tanggal 30 November 2006. ”Sepanjang mengenai pasal-pasal yang telah diuji mutatis mutandis dengan batu uji yang sama menjadi pertimbangan pula dalam putusan a quo,” tulis MK dalam salah satu pertimbangannya. Dalam putusan tersebut, MK menyatakan permohonan para Pemohon ditolak untuk seluruhnya.
Sedangkan terkait pengujian Pasal 30 ayat (2) UU Advokat yang menyatakan, “Setiap Advokat yang diangkat berdasarkan Undang-Undang ini wajib menjadi anggota Organisas Advokat”, menurut Mahkamah, merupakan konsekuensi logis dari ketentuan Pasal 28 ayat (1) UU Advokat. ”Sehingga pengujian norma ini harus dinyatakan tidak beralasan hukum,” tegas MK.
Mengenai pengujian Pasal 32 ayat (4) UU Advokat, MK berpendapat, pasal ini juga telah pernah dimohonkan pengujian dan telah diputus oleh MK dalam putusan yang sama. Pada putusan bertanggal 30 November 2006 tersebut, dalam salah satu pertimbangan hukumnya MK menyatakan, “Bahwa Pasal 32 ayat (3) dan ayat (4) UU Advokat sesungguhnya merupakan pasal yang sudah selesai dilaksanakan dengan telah berlalunya tenggat dua tahun dan dengan telah terbentuknya PERADI sebagai Organisasi Advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat, sehingga tidak relevan lagi untuk dipersoalkan konstitusionalitasnya.”
Begitu pula terhadap perkara No. 71/PUU-VIII/2010, yang menguji Pasal 28 ayat (1), Pasal 30 ayat (2) dan Pasal 32 ayat (4) UU Advokat dengan batu uji yakni Pasal 28, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 28J ayat (1) UUD 1945. Menurut MK, selain batu uji Pasal 28 UUD 1945, juga telah digunakan dan diputus MK dalam putusan No. 014/PUU-IV/2006 dan No. 66/PUUVIII/2010. ”Sehingga berdasarkan Pasal 60 UU MK seharusnya tidak dapat diajukan permohonan lagi, sebab pada hakikatnya diajukan berdasarkan alasan pokok yang sama,” ujar salah satu Hakim Konstitusi.
Terkait belum disumpahnya kandidat Advokat Kongres Advokat Indonesia (KAI) oleh Pengadilan Tinggi sehingga mengakibatkan tidak diperkenankannya mengikuti acara di pengadilan, menurut MK, hal tersebut tidak berkaitan dengan konstitusionalitas norma yang dimohonkan pengujian. ”Melainkan masalah penerapan dari Pasal 4 ayat (1) UU Advokat yang telah dipertimbangkan dan diputus dalam putusan Mahkamah Nomor 101/PUU-VII/2009, tanggal 30 Desember 2009,” tulis MK. Berdasarkan pertimbangan ini, akhirnya MK memutuskan untuk mengeyampingkan permohonan para Pemohon.
Berkaitan dengan konstitusionalitas frasa “satu-satunya” yang menurut para Pemohon bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1) UUD 1945, MK berpendapat, wadah tunggal Organisasi Advokat, pada intinya, sama sekali tidak menghalangi setiap orang untuk mengembangkan diri memenuhi kebutuhan dasarnya. ”Frasa ’satu-satunya’ juga tidak menyebabkan perlakuan yang bersifat diskriminatif,” tegas MK. ”Menjadi Advokat yang secara sadar dipilih oleh para Pemohon adalah pilihan menurut hati nurani, sehingga secara sadar pula harus terikat dengan ketentuan yang bertalian dengan profesi pilihan tersebut yaitu menjadi anggota dari satu-satunya Organisasi Advokat.”
Para Pemohon dalam perkara ini terdiri dari para advokat secara perorangan maupun yang mewakili beberapa organisasi advokat yang ada di Indonesia. Untuk perkara 66, diantaranya dimohonkan oleh Frans Hendra Winarta, Maruli Simorangkir, Nursyahbani Katjasungkana, dkk (Peradin). Untuk perkara 71, oleh H.F. Abraham Amos, Togar Efdont Sormin, Harisan Aritonang, dkk. Sedangkan perkara 77, dimohonkan oleh para advokat KAI yang belum disumpah, diantaranya: Husen Pelu, Andrijana, Abdul Amin Monoarfa, dkk. (Dodi/mh)
Sedangkan terhadap dua perkara lainnya, perkara 71 dan 77, MK menyatakan, tidak dapat diterima. ”Permohonan para Pemohon ne bis in idem untuk seluruhnya,” tegas Mahfud. Untuk diketahui, ne bis in idem adalah asas hukum yang menyatakan bahwa perkara yang sama yang telah diputus dan berkekuatan hukum tetap tidak dapat diperkarakan kembali.
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah berpendapat, Pengujian konstitusionalitas atas Pasal 28 ayat (1) dan Pasal 32 ayat (4) UU Advokat telah dimohonkan pengujiannya dan telah diputus dalam putusan MK No. 014/PUU-IV/2006, tanggal 30 November 2006. ”Sepanjang mengenai pasal-pasal yang telah diuji mutatis mutandis dengan batu uji yang sama menjadi pertimbangan pula dalam putusan a quo,” tulis MK dalam salah satu pertimbangannya. Dalam putusan tersebut, MK menyatakan permohonan para Pemohon ditolak untuk seluruhnya.
Sedangkan terkait pengujian Pasal 30 ayat (2) UU Advokat yang menyatakan, “Setiap Advokat yang diangkat berdasarkan Undang-Undang ini wajib menjadi anggota Organisas Advokat”, menurut Mahkamah, merupakan konsekuensi logis dari ketentuan Pasal 28 ayat (1) UU Advokat. ”Sehingga pengujian norma ini harus dinyatakan tidak beralasan hukum,” tegas MK.
Mengenai pengujian Pasal 32 ayat (4) UU Advokat, MK berpendapat, pasal ini juga telah pernah dimohonkan pengujian dan telah diputus oleh MK dalam putusan yang sama. Pada putusan bertanggal 30 November 2006 tersebut, dalam salah satu pertimbangan hukumnya MK menyatakan, “Bahwa Pasal 32 ayat (3) dan ayat (4) UU Advokat sesungguhnya merupakan pasal yang sudah selesai dilaksanakan dengan telah berlalunya tenggat dua tahun dan dengan telah terbentuknya PERADI sebagai Organisasi Advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat, sehingga tidak relevan lagi untuk dipersoalkan konstitusionalitasnya.”
Begitu pula terhadap perkara No. 71/PUU-VIII/2010, yang menguji Pasal 28 ayat (1), Pasal 30 ayat (2) dan Pasal 32 ayat (4) UU Advokat dengan batu uji yakni Pasal 28, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 28J ayat (1) UUD 1945. Menurut MK, selain batu uji Pasal 28 UUD 1945, juga telah digunakan dan diputus MK dalam putusan No. 014/PUU-IV/2006 dan No. 66/PUUVIII/2010. ”Sehingga berdasarkan Pasal 60 UU MK seharusnya tidak dapat diajukan permohonan lagi, sebab pada hakikatnya diajukan berdasarkan alasan pokok yang sama,” ujar salah satu Hakim Konstitusi.
Terkait belum disumpahnya kandidat Advokat Kongres Advokat Indonesia (KAI) oleh Pengadilan Tinggi sehingga mengakibatkan tidak diperkenankannya mengikuti acara di pengadilan, menurut MK, hal tersebut tidak berkaitan dengan konstitusionalitas norma yang dimohonkan pengujian. ”Melainkan masalah penerapan dari Pasal 4 ayat (1) UU Advokat yang telah dipertimbangkan dan diputus dalam putusan Mahkamah Nomor 101/PUU-VII/2009, tanggal 30 Desember 2009,” tulis MK. Berdasarkan pertimbangan ini, akhirnya MK memutuskan untuk mengeyampingkan permohonan para Pemohon.
Berkaitan dengan konstitusionalitas frasa “satu-satunya” yang menurut para Pemohon bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1) UUD 1945, MK berpendapat, wadah tunggal Organisasi Advokat, pada intinya, sama sekali tidak menghalangi setiap orang untuk mengembangkan diri memenuhi kebutuhan dasarnya. ”Frasa ’satu-satunya’ juga tidak menyebabkan perlakuan yang bersifat diskriminatif,” tegas MK. ”Menjadi Advokat yang secara sadar dipilih oleh para Pemohon adalah pilihan menurut hati nurani, sehingga secara sadar pula harus terikat dengan ketentuan yang bertalian dengan profesi pilihan tersebut yaitu menjadi anggota dari satu-satunya Organisasi Advokat.”
Para Pemohon dalam perkara ini terdiri dari para advokat secara perorangan maupun yang mewakili beberapa organisasi advokat yang ada di Indonesia. Untuk perkara 66, diantaranya dimohonkan oleh Frans Hendra Winarta, Maruli Simorangkir, Nursyahbani Katjasungkana, dkk (Peradin). Untuk perkara 71, oleh H.F. Abraham Amos, Togar Efdont Sormin, Harisan Aritonang, dkk. Sedangkan perkara 77, dimohonkan oleh para advokat KAI yang belum disumpah, diantaranya: Husen Pelu, Andrijana, Abdul Amin Monoarfa, dkk. (Dodi/mh)
0 komentar:
Posting Komentar