Jakarta, MKOnline - Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya memutuskan Pengujian UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama - Perkara No. 30/PUU-IX/2011 – tidak dapat diterima. “Amar putusan mengadili, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” demikian dibacakan Majelis Hakim yang diketuai Moh. Mahfud MD pada sidang Pleno MK, Senin (27/6) sore.
Seperti diberitakan sebelumnya, Pemohon adalah Suryani, seorang buruh asal Serang, Banten. Pemohon menganggap sebagai warga negara yang beragama Islam yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya Pasal 49 Ayat (1) UU Peradilan Agama karena merasa dibatasi kebebasannya untuk melaksanakan ajaran Islam secara menyeluruh dan lengkap.
Sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah mengutip Pasal 54 UU MK yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada MPR, DPR, DPD, dan/atau Presiden.” Karena pasal tersebut menggunakan kata “dapat” maka Mahkamah tidak harus mendengar keterangan MMPR, DPR, DPD, dan/atau Presiden dalam melakukan pengujian atas suatu Undang-Undang.
Dengan kata lain Mahkamah dapat meminta atau tidak meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada MPR, DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden, tergantung pada urgensi dan relevansinya. Oleh karena permasalahan hukum dalam permohonan a quo sudah jelas, maka Mahkamah memandang tidak ada urgensi dan relevansinya untuk meminta keterangan dan/atau risalah rapat dari MPR, DPR, DPD, dan/atau Presiden, sehingga Mahkamah langsung memutus permohonan a quo.
Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama permohonan Pemohon, ternyata norma yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo, alasan-alasan Pemohon, pasal-pasal UUD 1945 yang dijadikan batu uji, juga Pemohonnya persis sama dengan permohonan yang telah diputus oleh Mahkamah dalam putusan No.19/PUU-VI/2008, bertanggal 12 Agustus 2008, yang amarnya menolak permohonan untuk seluruhnya;
Selanjutnya, menimbang bahwa Pasal 60 UU MK menyatakan, “Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali”, dan Pasal 42 Ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi No.06/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Pengujian Undang-Undang (PMK 06/2005) yang menyatakan, “Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali”, maka permohonan a quo adalah menguji norma yang sama, alasan-alasan yang sama, batu uji yang sama, bahkan Pemohon yang sama.
Menurut Mahkamah, memang ketentuan Pasal 42 Ayat (2) PMK 06/2005 yang menyatakan, “Terlepas dari ketentuan ayat (1) di atas, permohonan pengujian UU terhadap muatan ayat, pasal, dan/atau bagian yang sama dengan perkara yang pernah diputus oleh Mahkamah dapat dimohonkan pengujian kembali dengan syarat-syarat konstitusionalitas yang menjadi alasan permohonan yang bersangkutan berbeda“ memungkinkan pengujian kembali terhadap norma atau pasal yang diuji dengan syarat ada alasan konstitusional baru. Namun karena dalam permohonan a quo ternyata tidak terdapat alasan konstitusional yang baru, sebagaimana dipertimbangkan di atas maka permohonan a quo harus dinyatakan ne bis in idem.(Nano Tresna A.)
0 komentar:
Posting Komentar